Prinsip Independensi Hakim Terhadap Hak Keterbukaan Informasi Dalam Penayangan Persidangan Perkara Pidana DI Televisi
Abstract
Prinsip pemisahan kekuasaan (separation of power) menyatakan bahwa
para Hakim dapat bekerja secara independen dari pengaruh kekuasaan eksekutif
dan legislatif. Selama menjalankan tugasnya, Hakim tidak boleh dipengaruhi oleh
siapapun juga, baik karena kepentingan jabatan (politik) maupun kepentingan
uang (ekonomi). Pada perkembangannya, kemandirian peradilan sempat
mengalami hambatan pada era Pemerintahan Orde Lama. Pada masa itu, peradilan
tidak lagi bebas tapi sudah dicampuri dan dipengaruhi secara sadar oleh eksekutif.
Pada masa demokrasi terpimpin, dilakukan penghapusan doktrin pemisahan
kekuasaan dan mendudukkan Mahkamah Agung dan badan-badan pengadilan di
bawah lembaga eksekutif. Prinsip kemandirian peradilan mendapatkan tantangan
seiring dengan semakin berkembangnya masyarakat dan teknologi informasi.
Pada era milenial, kebutuhan akan informasi sedemikian tingginya, sehingga
muncul ide-ide keterbukaan informasi publik, sebagaimana telah diatur dalam
peraturan perundang-undangan. Salah satu informasi yang dibutuhkan oleh
masyarakat pada era milenial adalah kebutuhan akan informasi suatu perkara
pidana di persidangan. Informasi tersebut dapat diperoleh oleh masyarakat melalui
penyediaan konten berupa penayangan persidangan secara langsung (live) di
televisi. Pada faktanya, prinsip kemandirian telah mendapatkan ujian dari
pelaksanaan prinsip keterbukaan (transparansi). Munculnya pro dan kontra
terhadap penerapan prinsip publisitas atau keterbukaan proses peradilan menjadi
bahan yang sangat menarik untuk dibahas secara ilmiah. Pengaruh prinsip
keterbukaan (disclosure) dalam arti kebebasan mendapatkan informasi terhadap
prinsip kemandirian peradilan merupakan salah satu fakta yang muncul akibat
perkembangan teknologi informasi di seluruh dunia. Di Indonesia, tantangan
terhadap penerapan prinsip independensi peradilan terkait dengan penerapan
keterbukaan informasi memerlukan kejelasan dari segi peraturan. Untuk itu,
diperlukan politik hukum pidana yang dapat menjadi sumber hukum daripada
pembentukan kaidah yang tegas terkait hal tersebut. Berdasarkan uraian di atas,
permasalahan yang dibahas ad 2 (dua), yaitu: pertama, apa konsep fundamental
atas pembatasan kebebasan penayangan persidangan perkara pidana secara penuh
dan langsung (live) di televisi dengan tujuan untuk menunjang kekuasaan
kehakiman menurut UUD 1945?, kedua, Bagaimana kaidah dan konsep hukum
atas penerapan prinsip keterbukaan dalam hal persidangan perkara pidana
disiarkan secara langsung (live) di televisi?
Metode penulisan yang digunakan penulis adalah yuridis normatif.
Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan Undang-undang (statute
approach), pendekatan konseptual (conceptual approach), dan pendekatan
perbandingan (comparative approach). Bahan sumber hukum yang digunakan
adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Tujuan penelitian ini
adalah untuk meluruskan pandangan masyarakat tentang keluhuran kemandirian
Hakim dalam suatu persidangan dan untuk mengetahui serta memahami prosedur
dan konsep hukum terkait dengan proses persidangan yang terbuka untuk umum
dalam hal persidangan tersebut disiarkan secara langsung (live) di televisi.
xii
Hasil kajian yang diperoleh bahwa: Pertama. Pembatasan kebebasan atau
hak pers dalam penayangan proses persidangan secara langsung (live) melalui
media elektronik adalah sesuai dengan dasar filosofis dan yuridis konstitusional,
yaitu sesuai dengan ketentuan Pasal 28J UUD 1945. Kedua. Pembatasan
kebebasan atau hak pers dalam penayangan proses persidangan secara langsung
(live) melalui media elektronik perlu diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana dan ditegakkan secara hukum dalam konsep penindakan atas
“contempt of court” yang diatur dalam Pasal 328 dan Pasal 329 RUU KUHP
masih diperdebatkan oleh karena rumusan pasal yang multitafsir.
Berdasarkan hasil kajian tersebut penulis memberikan saran, antara lain:
pertama. Perlu sosialisasi bahwa pembatasan kebebasan atau hak pers dalam
penayangan proses persidangan secara langsung (live) melalui media elektronik
bukan merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Kebebasan
pada prinsipnya tidak boleh dimaknai sebagai kebebasan tanpa batas. Dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara, kebebasan boleh diterapkan dalam batasbatas
yang diperbolehkan oleh hukum. Kedua, Perlu dilakukan revisi terhadap
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara
Pidana, dengan cara menambahkan pasal antara pasal 153 dengan pasal 154,
dimana pasal tersebut menngatur tentang prosedur yang dapat dijalankan oleh
Pengadilan dalam membatasi hak pers dalam melakukan penayangan/publikasi
atas proses persidangan, serta dilakukan penajaman atas rumusan atas pasal
Collections
- MT-Science of Law [333]