Gugatan Pembayaran Santunan Anak Luar Kawin (Studi Putusan Pengadilan Tinggi Nomor 58/Pdt/2014/Ptr)
Abstract
Di Indonesia telah diatur tentang hukum-hukum perkawinan. Dalam hukum perkawinan telah diatur tentang status dari suatu anak, yakni anak sah yang dihasilkan dari hubungan perkawinan dan anak luar kawin. Menurut Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya memiliki status keperdataan dengan ibunya serta keluarga ibunya saja. Perkara antara penggugat dan tergugat yang diangkat dalam skripsi ini adalah anak luar kawin yang mana ayah biologis dari anak ini berjanji secara lesan pada penggugat untuk menafkahi anak tersebut hingga berumur 18 tahun, namun karena alasan tertentu ayahnya berhenti untuk menafkahi anaknya tersebut. Awalnya tergugat telah membiayai seluruh biaya persalinan penggugat serta menafkahi anak luar kawin ini hingga anak berumur 3,5 tahun. Adanya perjanjian yang telah diikat secara lesan oleh penggugat dan tergugat yakni membuat pihak tergugat merasa bahwa tergugat tidak memenuhi haknya karena telah berhenti memberi nafkah pada anak luar kawin mereka sebagaimana perjanjian yang telah terikat secara lesan diantara penggugat dan tergugat yakni hingga anak tersebut berumur 18 tahun. Perkara antara penggugat dan tergugat dalam skripsi ini sebelumnya telah diputus oleh Pengadilan Negeri. Pada tingkat Pengadilan Negeri, gugatan penggugat ditolak sehingga penggugat yang merasa tidak puas mengajukan banding pada tingkat Pengadilan Tinggi. Dengan diangkatnya perkara ini dalam sebuah skripsi, penulis berharap akan ada kejelasan tentang kekuatan hukum dari sebuah perjanjian yang dilakukan secara lesan.
Tipe penelitian dalam skripsi ini adalah yuridis-normatif dengan menggunakan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat autoritatif yang artinya mengikat dan mempunyai otoritas. Sedangkan bahan hukum sekunder adalah Bahan hukum yang berupa publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan undang-undang dan pendekatan konseptual. Pendekatan undang-undang merupakan cara penelitan dengan menggunakan hukum positif. Kedua adalah pendekatan konseptual dengan cara mengadopsi pendapat-pendapat para ahli/pakar yang dikutip dari media cetak.
Dalam KUHPer perjanjian diatur dalam Pasal 1313 yang menjelaskan bahwa perjanjian perbuatan mengikatkan diri antara satu orang atau lebih terhadap orang atau kelompok lain. Syarat sahnya suatu perjanjian telah diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata yang mana terdapat empat syarat yang harus dipenuhi oleh para pihak yang hendak melakukan suatu perjanjian. Adapun syarat yang dicantumkan dalam pasal 1320 KUHPer adalah kesepakatan para pihak; kecakapan para pihak; mengenai suatu hal tertentu; dan sebab yang halal. Pemenuhan unsur Pasal 1320 ini merupakan sebuah keharusan dalam suatu perjanjian. Selain itu terdapat pula Pasal 1330 yang menjelaskan terkait batasbatas usia minimal serta kondisi tertentu bagi para pihak yang membuat perjanjian. Dalam pemenuhan pasal 1320 dan pasal 1330 oleh penggugat maupun tergugat akan menjadi salah satu ratio decidendi hakim dalam memutus. Selain itu adapula proses pembuktian, pada sidang pembuktian di Pengadilan Negeri, pihak tergugat gagal meyakinkan hakim dalam eksepsinya yang tidak beralasan hukum. Namun pihak penggugat yang belum merasa puas dengan putusan dari Pengadilan Negeri mengajukan banding. Pada Pengadilan Tinggi pihak tergugat diputus bersalah dengan pertimbangan bahwa tergugat telah ingkar janji pada penggugat. Alasan penggugat yang menyatakan bahwa ia sedang mengalami krisis ekonomi sehingga belum bisa mengirimkan nafkah pada anak luar nikahnya dengan penggugat tidak dapat diterima oleh hakim. Hakim yang menilai bahwa eksepsi yang diajukan oleh tergugat tidaklah beralasan hukum. Hal ini tentunya akan lain cerita bila pada klausul perjanjian terdapat pernyataan yang menyatakan bahwa kondisi seperti yang dialami korban dikemudian hari akan menjadi toleransi. Hakim menilai bahwa dalam perjanjian tidak ada klausul yang mengatur demikian serta dalam pembuktian juga tidak ada dibahas mengenai hal tersebut, sehingga hakim mengambil kesimpulan bahwa eksepsi yang diajukan oleh tergugat tidak beralasan hukum. Dengan demikian maka pihak tergugat harus menafkahi anak luar nikahnya dengan pihak penggugat hingga umur 18 tahun sebagaimana yang tertera dalam amar putusan hakim.
Suatu perjanjian yang baik adalah perjanjian yang dilakukan secara tertulis, bila itu menyangkut hal-hal yang penting. Perjanjian yang dilakukan secara lesan akan sangat sulit untuk dibuktikan dimuka pengadilan. Dalam suatu pembuktian di persidangan perdata, alat bukti surat merupakan salah satu alat bukti yang digunakan dalam pembuktian dimuka pengadilan. Selain itu alat bukti yang bisa dihadirkan atau ditunjukkan secara langsung dan bersifat autentik akan lebih menguatkan kepercayaan hakim terhadap suatu pembuktian. Perjanjian yang dibuat secara lesan akan sangat sulit dibuktikan dipersidangan karena hakim perlu saksi yang melihat dan mendengar secara langsung saat perjanjian dilakukan diantara para pihak. Hal ini karena tidak ada aturan yang mengatur secara spesifik tentang perjanjian yang dilakukan secara lesan. Sehingga untuk pembuktiaan dipersidangan salah satu hal yang dapat digunakan oleh hakim untuk membuktikan kebenaran akan eksistensi suatu perjanjian baik secara formil maupun materiil adalah melalui bukti saksi serta bukti petunjuk. Dengan diangkatnya perkara ini dalam sebuah skripsi, penulis berharap hal ini bisa menjadi wacana bagi legislatif dalam menutupi kelemahan-kelemahan yang timbul dari perjanjian yang dibuat secara lesan.
Collections
- UT-Faculty of Law [6214]