Kedudukan Hukum Anak Luar Kawin Terhadap Hak Nafkah Dari Ayah Biologis Akibat Putusan Mahkamah Konstitusi NO.46/PUU-VIII/2010
Abstract
Di Indonesia hukum perkawinan diatur di dalam undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Salah satu tujuan perkawinan ialah untuk memperoleh keturunan atau anak. Anak merupakan generasi penerus bangsa, sehingga segala hak yang melekat pada anak harus dipenuhi tanpa harus meminta. Perkembangan dari budaya barat pada era modern membuat dampak yang besar bagi perkembangan budaya di Indonesia, selain dampak positif ada dampak negatif yang juga ikut masuk ke Indonesia. Salah satunya ialah pergaulan bebas yang mengakibatkan lahirnya seorang anak diluar perkawinan, akibatnya menimbulkan dampak tentang status dan kedudukan anak luar kawin terhadap ayah biologisnya. Pada pasal 43 ayat (1) Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwa anak luar kawin hanya memiliki hubungan keperdataan dari ibu dan saudara ibunya saja. Anak luar kawin tidak bisa mendapatkan hak-haknya dari ayah biologisnya, membuat kerugian tersendiri. Hak yang paling dibutuhkan anak yaitu hak nafkah, hak tersebut sangatlah penting untuk kelangsungan hidup anak. Setelah adanya putusan MK No.46/PUU-VII/2010 hak anak luar kawin mulai diperhatikan oleh hukum. Menurut putusan MK tersebut, anak luar kawin memiliki hubungan keperdataan dengan ayahnya namun harus terdapat adanya bukti berdasarkan ilmu pengetahuan dan/atau teknologi bahwa lelaki tersebut adalah ayah biologisnya. Persyaratan tersebut membuat langkah anak luar kawin semakin panjang untuk mendapatkan hak nafkah dari ayah biologisnya. Pasca putusan MK No.46/PUU-VIII/2010 belum ada peraturan lanjutan yang mengatur secara khusus tentang anak luar kawin, baik kedudukannya maupun akibat hukum bagi ayah biologis untuk menafkahi anak luar kawinnya.
Berdasarkan latar belakang tersebut, menimbulkan adanya permasalahan yang timbul yaitu Pertama, Apakah anak luar kawin mempunyai kedudukan hukum untuk meminta hak nafkah dari ayah biologis yang tidak mengakuinya setelah adanya putusan MK No.46/PUU-VIII/2010. Kedua, Apa akibat hukum dari ayah biologis yang tidak memberikan nafkah kepada anak luar kawin tersebut.
Tujuan dari penulisan skripsi ini yaitu untuk memenuhi dan melengkapi tugas akhir sebagai salah satu persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Hukum dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jember, Untuk mengembangkan dan menerapkan ilmu pengetahuan yang telah diperoleh diperkuliahan dengan kasus yang terjadi dalam kehidupan masyarakat.
Metode penelitian yang digunakan di dalam penulisan skripsi ini yaitu tipe penelitian yang bersifat yuridis normatif, yang mana mengkaji kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif. Pendekatan masalah yang digunakan diskripsi ini yaitu pendekatan undang-undang dan pendekatan konseptual. Penulis mempelajari kesesuaian antara undang-undang yang digunakan dalam memecahkan isu yang dihadapi serta mempelajari pandangan dan doktrin dalam ilmu hukum. Sumber bahan hukum yang digunakan yaitu sumber bahan hukum primer, bahan hukum sekunder. Hasil dari pembahasan dalam skripsi ini adalah Pertama, Pasca putusan MK No.46/PUU-VIII/2010 anak luar kawin memiliki kedudukan hukum untuk menuntut hak nafkah dari ayah biologisnya. Menurut putusan MK No.46/PUU-VIII/2010 anak luar kawin harus membuktikan adanya hubungan darah dengan ayah biologisnya. Pembuktian oleh anak luar kawin dapat dilakukan melalui tes DNA. Anak luar kawin dapat mengajukan bukti tes DNA kepada pengadilan untuk mengajukan permohonan pengakuan atau mengajukan gugatan nafkah ke pengadilan yang memiliki wewenang dalam perkara hak nafkah anak. Kedua, akibat hukum dalam perkara ini dapat diperoleh apabila anak luar kawin menuntut ayah biologis yang tidak mau menafkahinya ke pengadilan. Ayah biologis dapat dihukum oleh pengadilan untuk memberikan biaya pemeliharaan atau pendidikan sampai si anak dewasa. Teknis penyelesaian perkara ini dilakukan sesuai dengan prosedur perkara perdata di persidangan pada umumnya.
Rekomendasi yang diberikan pada skripsi ini yaitu Pertama, bagi pemerintah diharapkan untuk segera membuat peraturan khusus mengenai anak luar kawin terutama tentang kedudukan anak luar kawin sebagai peraturan lebih lanjut dari pasal 43 ayat (2) Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Serta dibuat adanya peraturan mengenai mekanisme pembuktian anak luar kawin dan akibat hukum dari ayah biologis yang tidak ingin untuk menafkahi anak luar kawin hingga prosedur pelaksanaan hukuman bagi ayah biologis yang menelantarkan anak luar kawin. Peraturan tersebut disarankan agar kedepannya hak anak luar kawin dapat terpenuhi dan tidak terjadi penelantaran terhadap anak luar kawin. Kedua, bagi anak luar kawin, diharapkan untuk meminta permohonan pengakuan dan/atau pengesahan atau mengajukan tuntutan ke pengadilan untuk meminta hak nafkah kepada ayah biologis. Pengajuan permohonan maupun tuntutan untuk ayah biologis bertujuan agar hak anak luar kawin terpenuhi, karena adanya putusan pengadilan yang memberikan hukuman atau kewajiban kepada ayah biologis untuk memenuhi hak anak luar kawin.
Collections
- UT-Faculty of Law [6214]