Pertanggungjawaban Pidana Dalam Tindak Pidana Penganiayaan (Putusan Nomor 552/Pid.B/PN.Byw)
Abstract
Dalam proses penuntutan Jaksa Penutut Umum merupakan tombak dari terciptanya
hukum yang bersih, adil, dam mempunyai kepastian hukum bagi para pencari keadilan.
Hal ini dikarenakan Jaksa Penuntut Umum mempunyai wewenang untuk membuat surat
dakwaan berdasarkan perbuatan materiil yang dilakukan pelaku tindak pidana. Surat
dakwaan yang dibuat oleh Jaksa Penuntut Umum agar pelaku tindak pidana bebas ataupun
lepas dari tuntutan. Jaksa Penuntut Umum harus membuatnya sesuai dengan syarat formil
maupun syarat materiil surat dakwaan. Dimana syarat formil yang berisikan identitas
pelaku tindak pidana (Pasal 143 ayat 2 huruf a KUHAP) dan syarat materiil yang berisikan
uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan (Pasal
143 ayat 2 huruf b KUHAP). Namun didalam fakta persidangan, tidak sedikit aparat
penegak hukum (Jaksa Penuntut Umum) dalam membuat suatu dakwaan tidak sesuai
dengan syarat formil dan syarat materiil dalam membuat suatu surat dakwaan. Berdasarkan
latar belakang yang sudah dianalisis di atas, penulis tertarik mengkaji lebih dalam dan
menganalisis masalah dan kasus tindak pidana penganiayaan tersebut
Permasalahan dalam skripsi ini yaitu ; (1) Apakah dakwaan tunggal Pasal 351 ayat
(1) sudah sesuai dengan perbuatan terdakwa dalam Putusan Nomor 552/Pid.B/2018/
PN.Byw ? dan (2) Apakah bentuk kesalahan terdakwa sebagai dasar untuk menentukan
adanya pertanggungjawaban pidana sebagaimana dalam Putusan Nomor 552/Pid.
B/2018/PN.Byw ? Metode penelitian dalam penulisan skripsi ini menggunakan jenis
penelitian yuridis normatif dengan pendekatan undang-undang (statute approach), dan
pendekatan konseptual (conceptual approach). Bahan hukum yang dipergunakan adalah
bahan hukum sekunder dan primer. Analisis bahan hukum yang dipergunakan adalah
analisis deduktif, yaitu cara melihat suatu permasalahan secara umum sampai dengan halhal
yang bersifat khusus untuk mencapai preskripsi atau maksud yang sebenarnya.
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh beberapa hasil pembahasan : Pertama,
Penuntut Umum tidak cermat dalam menyusun surat dakwaan sebagaimana syarat yang
disebutkan dalam Pasal 143 ayat (2) huruf b ke-1 KUHAP. Jika dakwaan cermat maka
seharusnya Jaksa Penuntut Umum menguraikan fakta sesuai dengan ketentuan Pasal yang
didakwakan sehingga nantinya pada saat pembuktian Jaksa Penuntut Umum dapat fokus
mengungkap fakta yang diuraikan dalam surat dakwaan. Dalam hal ini Penuntut Umum
seharusnya dalam dakwaannya menggunakan formulasi dakwaan dengan penganiayaan
yang mengakibatkan luka berdasarkan kualifikasi Pasal 351 ayat (1) ke-1 KUHP.
Berdasarkan uraian di atas, bahwasanya dakwaan Penuntut Umum dalam Putusan
Pengadilan Negeri Banyuwangi Nomor: 552/Pid.B/2018/PN. Byw adalah tidak sesuai
dengan formulasi Pasal 351 ayat (1) KUHP sehingga dakwaan Jaksa tidak memenuhi unsur
cermat dan teliti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 143 KUHAP terkait kualifikasi luka
akibat penganiayaan tersebut sebagai bentuk penganiayaan ringan. Kedua, Penjatuhan
pidana oleh hakim dalam Putusan Putusan Pengadilan Negeri Banyuwangi Nomor
552/Pid.B/2018/PN.Byw. dikaitkan dengan sistem pemidanaan adalah tidak sesuai,
khususnya dari segi dakwaan yang dibuat oleh Jaksa Penuntut Umum. Tindak pidana
penganiayaan yang mengakibatkan luka (Pasal 351 ayat (1) KUHP) sebagaimana
didasarkan pada dakwaan Jaksa Penuntut Umum, lebih tepat pada penganiayaan ringan
sebagaimana kualifikasi dalam Pasal 352 KUHP, berdasarkan fakta yang terungkap di persidangan, karena luka yang ditimbulkan tidak berpengaruh banyak pada kesehatan
korban.
Berdasarkan hal tersebut dapat dikemukakan saran bahwa : Seharusnya Jaksa
Penuntut Umum memperhatikan ketentuan Pasal 143 ayat (2) KUHAP terkait syarat formil
dan materiil dalam membuat surat dakwaan untuk memberikan keadilan bagi korban
tindak pidana. Hendaknya Hakim dalam menjatuhkan putusan harus cermat dan teliti
khususnya menyangkut penjatuhan vonis terhadap tindak pidana penganiayaan berencana.
Hakim adalah pelaksana undang-undang sehingga putusannya harus berdasarkan pada
hukum yang normatif yaitu hukum positif, sehingga penerapan ancaman pidana dalam
putusan hakim adalah sesuai atas legalitas. Hakim dalam menjatuhkan putusannya
selain berdasarkan hukum yang normatif juga berdasarkan rasa keadilan yaitu nilai-nilai
yang hidup di masyarakat dan juga pada hati nurani (keadilan objektif dan subjektif).
Collections
- UT-Faculty of Law [6214]