dc.description.abstract | Salah satu bentuk pembiayaan syariah yang menarik untuk dikaji adalah pembiayaan mudharabah. Pembiayaan mudharabah sangat bermanfaat untuk nasabah disaat kekurangan dana dan membutuhkan barang, dalam rangka meningkatkan kesejahteraan hidupnya atau peningkatan usaha. Guna merealisasikan pembiayaan mudharabah maka antara bank (shahibul maal) dengan nasabah (mudharib) melakukan akad. Pada umumnya antara bank syariah selaku shahibul maal dan nasabah selaku mudharib, sudah menyepakati tentang lamanya pembiayaan, besar keuntungan yang akan diambil, serta besarnya angsuran yang akan dibayar. Akan tetapi dengan adanya proses pembelian secara angsuran inilah, yang menyebabkan lahirnya dua hubungan hukum yaitu hutang piutang dan pinjam meminjam. Akad mudharabah digunakan oleh bank untuk memfasilitasi pemenuhan kebutuhan permodalan bagi nasabah guna menjalankan usaha atau proyek dengan cara melakukan penyertaan modal bagi usaha atau proyek yang bersangkutan. Orang yang berakad dalam akad mudharabah ada 2 (dua) yaitu pemilik modal (shahibul maal) dan pelaksana/ usahawan (mudharib). Terkait upaya bank untuk mengurangi atau meminimalisir resiko atas dana diperlukan adanya jaminan dalam pembiayaan. Jaminan dalam hukum Islam (fiqh) dibagi menjadi dua; jaminan yang berupa orang (personal guarancy) dan jaminan yang berupa harta benda. Yang pertama sering dikenal dengan istilah dlaman atau kafalah. Sedangkan yang kedua dikenal dengan istilah rahn. Terkait hal tersebut, dalam hal ini dilakukan kajian terhadap Putusan Nomor 2479 K/Pdt/2011, dengan : PT Bank BNI Syariah Cabang Makassar melawan Muhammad Ardy Said Termohon Kasasi dahulu sebagai Penggugat telah menggugat sekarang Pemohon Kasasi I dan Pemohon Kasasi II dan para Turut Termohon Kasasi dahulu sebagai Tergugat II, IV, V, VI/para Turut Tergugat di muka persidangan Pengadilan Negeri Makassar.
Rumusan masalah yang akan dibahas adalah : (1) Bagaimanakah kedudukan jaminan hak tanggungan dalam bisnis syariah pembiayaan mudharabah ; (2) Apakah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh kreditur apabila debitur wanprestasi dalam pembiayaan mudharabah tersebut, (3) Apakah pertimbangan hukum hakim mengabulkan permohonan kasasi pemohon dalam Putusan Nomor 2479 K/Pdt/2011. Tujuan umum penulisan ini adalah : untuk memenuhi syarat-syarat dan tugas guna mencapai gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jember, menambah wawasan ilmu pengetahuan dalam bidang hukum khususnya hukum lingkup hukum perdata. Metode penelitian dalam penulisan skripsi ini menggunakan tipe penelitian yuridis normatif, dengan pendekatan konseptual dan studi kasus. Bahan hukum terdiri dari bahan hukum primer, sekunder dan bahan non hukum. Analisa bahan penelitian dalam skripsi ini menggunakan analisis normatif kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa, Pertama Akad mudharabah menimbulkan hak dan kewajiban bagi bank syari`ah dan mudharib, mengingat akad pembiayaan ini memiliki resiko tinggi, sehingga bank syari`ah harus melaksanakan prinsip-prinsip kehati-hatian (prudential principle). Perjanjian jaminan dalam perbankan syariah merupakan al-aqd at-tabi` (perjanjian tambahan) mengingat pembiayaan mudharabah beresiko tinggi, maka diperbolehkan diikuti dengan perjanjian jaminan sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Perbankan Syariah, Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Nomor 6 Tahun 2000 dan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Nomor 115/DSN-MUI/IX/Tahun 2017 Tentang Akad Mudharabah. Pengikatan terhadap jaminan kebendaan dalam pembiayaan mudharabah dilaksanakan dengan prinsip-prinsip kehati-hatian (prudential principle) dengan menggunakan al-aqd at-tabi` (perjanjian tambahan). Kedua, Upaya hukum yang dilakukan oleh bank selaku kreditur apabila terjadi wanprestasi yang dilakukan oleh nasabah, biasanya dilakukan upaya non litigasi terlebih dahulu melalui musyawarah atau negosiasi dengan nasabah untuk penyelesaiannya. Apabila upaya penyelesaian secara non litigasi gagal, dalam hal ini bak syariah selaku kreditur mengajukan upaya hukum gugatan keperdataan adanya wanprestasi ke Pengadilan Agama. Ketiga, Berdasarkan pertimbangan hukum hakim dapat dikemukakan bahwa dengan adanya wanprestasi dalam pembiayaan syariah dengan sistem mudharabah akan membawa konsekwensi hukum adanya hak kreditur untuk melelang jaminan hak tanggungan sebagai pelunasan pembiayaan yang diberikan. Sehingga apabila Majelis Hakim Tingkat Pertama yang putusannya dikuatkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Makassar telah memutus membatalkan pelaksanaan lelang yang telah dilakukan oleh Tergugat III hanya oleh karena adanya kekeliruan pengetikan nomor akad pembiayaan oleh Tergugat I pada isi somasi yang ditujukan kepada Tergugat II dan Penggugat, padahal isi daripada somasi tersebut semuanya merupakan perincian jumlah hutang kewajiban Tergugat II dan Penggugat dan Penggugat juga telah menyadarinya, adalah merupakan pertimbangan yang keliru.
Bertitik tolak kepada permasalahan yang ada dapat diberikan beberapa saran, bahwa Kepada pemerintah hendaknya melakukan modifikasi dalam bidang muamalah sangat dimungkin kan asalkan sesuai dengan maqasid asy-syariah yang berisi maksud atau tujuan dari disyariatkan hal tersebut. Guna mencapai tujuan itu, syariat Islam ada yang bersifat dinamis dalam artian dapat berubah sesuai kebutuhan. Ketentuan tentang muamalah khususnya yang menyangkut masalah perbankan kemungkinan untuk diijtihadkan sesuai kebutuhan zaman. Kepada Bank syariah hendaknya tidak hanya dituntut untuk menghasilkan keuntungan melalui setiap transaksi komersial saja, tetapi juga dituntut untuk mengimplementasikan nilai-nilai syariah yang sesuai dengan Al Qur’an dan eksistensi bank syariah tidak bisa terlepas dari ketentuan perbankan pada umumnya seperti ketentuan tentang prinsip kehati-hatian, rahasia bank dan lembaga jaminan.. Bank syariah seharusnya menerapkan lembaga jaminan rahn sebagai salah satu lembaga jaminan disamping kafalah. Prinsip Kaffah juga harus diterapkan pada kembaga penyelesaian sengketa. Kepada nasabah pembiayaan mudharabah, hendaknya dapat memahami dengan penyertaan jaminan, Perbankan Syariah bukanlah dalam rangka mencari keuntungan dengan menjual aset jaminan. Pengadaan jaminan disertakan demi kebaikan bersama. Nasabah juga diharapkan menghindari moral yang negatif dalam menjalankan kerja-sama mengingat dana yang dikeluarkan untuk nasabah bukanlah dana Lembaga Keuangan Syariah pribadi. | en_US |