Tinjauan Yuridis Pemberhentian Bupati Katingan Provinsi Kalimantan Tengah
Abstract
Seorang Bupati Katingan Kalimantan Tengah, Ahmad Yantenglie tidak memenuhi kewajiban seorang kepala daerah dan melanggar aturan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014. Selain itu, Ahmad Yantenglie melanggar Undang-Undang Perkawinan. Karena telah melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan maka Ahmad Yantenglie diberhentikan dari jabatannya. Permasalahan yang akan dibahas pada skripsi ini adalah 1. Apakah pemberhentian Bupati Katingan telah sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku? Serta 2. Apa pertimbangan hukum Mahkamah Agung mengabulkan pemberhentian Bupati Katingan?.
Tujuan penelitian merupakan arah atau sasaran yang hendak dicapai dengan diadakannya suatu penelitian. Penelitian skripsi ini memiliki dua tujuan, yaitu 1. untuk mengkaji, menganalisis, mengetahui, apakah pemberhentian Bupati Katingan telah sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku dan 2. untuk mengkaji, menganalisis, mengetahui, pertimbangan hukum Mahkamah Agung memberhentikan Bupati Katingan.
Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah Yuridis Normatif, yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah maupun norma-norma dalam hukum positif yang berlaku dengan pendekatan perundang-undangan (statue approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Bahan Hukum yang digunakan dalam skripsi ini meliputi bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Analisa bahan hukum dalam skripsi ini adalah metode deduktif. Metode deduktif dapat diartikan sebagai proses penarikan kesimpulan yang dilakukan dari pembahasan mengenai permasalahan yang bersifat umum menuju permasalahan yang bersifat khusus.
Kesimpulan pada skripsi ini adalah pertama, Proses pemberhentian Bupati Katingan Provinsi Kalimantan Tengah telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan putusan Mahkamah Agung Nomor 2 P/Khs/2017 menjelaskan bahwa Bupati Katingan terbukti melakukan pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Pelanggaran yang dilakukan berupa pelanggaran pada Pasal 78 ayat 2 huruf f menjelaskan tentang perbuatan tercela, Pasal 67 huruf d menjelaskan tentang menjaga etika dan norma dalam pelaksanaan urusan pemerintah yang menjadi kewenangan daerah, dan Pasal 61 ayat 2 menjelaskan tentang sumpah jabatan kepala daerah. Proses pemberhentian Bupati Katingan menggunakan alur yang terdapat pada Pasal 80 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014. Kedua, Mahkamah agung mempertimbangkan keputusan pengabulan pemberhentianBupati Katingan berdasarkan pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Katingan yang diajukan berdasarkan Pasal 80 ayat1 huruf c Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Pertimbangan-pertimbangannya ialah, pertama, bahwa Ahmad Yantengile secara implisit tidak membantah telah melakukan pelanggaran terhadap Pasal-Pasal yang ada di Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Namun yang bersangkutan merasa tidak bersalah karena menganggap bahan persoalan tersebut hanya persoalan pribadi. Kedua, cara berpikir Ahmad Yangtengile bersifat dichotomi yaitu tidak dapat memisahkan antara posisi pribadi dan posisi jabatannya, sehingga bertolak belakang dengan sumpah jabatan yang telah ia ucapkan. Ketiga, Ahmad Yantengile selaku Bupati Katingan terbukti melakukan pelanggaran terhadap Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yaitu tidak mencatatkan perkawinan keduanya. Pelanggaran terhadap Pasal 3 ayat 1 dan 2, Pasal 4 ayat 1 dan 2 huruf a,b,c, Pasal 9, dan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu terjadi perkawinan namun tidak mengajukan perkawinan ke pengadilan di daerah tempat tinggal. Keempat, karena tidak mematuhi peraturan perundang-undangan tentang perkawinan maka Ahmad Yangtengile diklasifikasikan telah melakukan perbuatan tercela, melanggar etika, dan peraturan perundang-undangan sebagaimana disebutkan ketentuannya pada Pasal 67 huruf b Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yaitu menaati dan menegakkan seluruh peraturan perundang-undangan dan menjaga etika serta norma. Bupati Katingan juga melanggar sumpah jabatan pada Pasal 61 ayat 2 juncto Pasal 76 ayat 1 huruf g Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yaitu tidak memenuhi kewajiban menjalankan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan beserta peraturan pelaksanaan. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut Mahkamah Agung mengabulkan permohonan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Katingan tanggal 14 Februari 2017.
Saran yang didapat dari penelitian ini adalah Pertama, Bentuk mekanisme pemberhentian Bupati Katingan menurut ketentuan Pasal 80 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menghendaki kejelasan pengaturan dari sisi mekanisme pemberhentiannya, sehingga dapat dijadikan acuan yang efektif dan tidak menimbulkan kesalahan dalam mekanisme pemberhentian kepala daerah. Walaupun mekanisme pemberhentian kepala daerah tetap mengacu pada substansi hukum, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tetap diberi kewenangan untuk melakukan inisiatif pemberhentian, untuk menunjukkan peran yang seimbang antara badan legislatif dan badan eksekutif dalam kerangkan check and balances. Kedua, Perlu adanya kajian terperinci mengenai tolak ukur pelanggaran etika, perbuatan tercela dan melanggar sumpah janji/jabatan kepala daerah. Tolak ukur pelanggaran etika, perbuatan tercela dan melanggar sumpah/janji jabatan menjadi celah bagi DPRD untuk subjektif dalam memberhentikan kepala daerah dalam masa jabatannya. Hal ini dibuktikan dengan adanya perbedaan perspektif dari Ahmad Yantengile dan DPRD Kabupaten Katingan dalam menafsirkan apa saja yang termasuk dalam pelanggaran etika, perbuatan tercela, dan melanggar sumpah/janji jabatan.
Collections
- UT-Faculty of Law [6214]