Asas Lex Specialis Derogat Legi Generalis Dalam Perkara Kepailitan
Abstract
Tujuan penulisan ini meliputi tujuan umum yang meliputi : pertama, memperoleh gelar Sarjana Hukum Fakultas Hukum Universitas Jember, kedua adalah Penggunaan serta pengembangan ilmu pengetahuan terkait penulisan, yang ketiga sebagai bentuk pemberian pendapat atas wawasan yang dimiliki dan dengan harapan bermanfaat bagi pembaca, sedangkan tujuan khususnya untuk mengetahui dan menganalisa penggunaan Asas Lex Specialis Derogat Legi Generalis dalam perkara kepailitan khususnya terkait penyitaan harta pailit. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian hukum yakni meliputi tipe penelitian Yuridis Normatif, dengan pendekatan Perundang-Undangan, pendekatan Konseptual, dan pendekatan Kasus. Bahan hukum untuk menunjang penelitian ini menggunakan bahan hukum primer yakni undang-undang, Peraturan Pemeritah, keputusan Presiden RI, Peraturan Mahkamah Agung, Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung, dan putusan Mahkamah Agung, dan bahan hukum sekunder meliputi buku-buku, jurnal, skripsi, dan internet, disertai analisis bahan hukum secara deduktif, yakni penalaran dari asumsi yang bersifat umum hingga diperoleh kesimpulan yang bermakna lebih khusus.
Tinjauan pustaka dari skripsi ini membahas mengenai beberapa substansi, yakni pertama terkait Kepailitan yang terdiri dari Pengertian Kepailitan,
Syarat-Syarat Permohonan Pernyataan Pailit, Pihak-Pihak Yang Berhak Mengajukan Kepailitan, dan Harta Debitor Pailit. Kedua, Asas Lex Specialis Derogat Legi Generalis , dan yang ketiga Hukum Acara Pengadilan Niaga yang terdiri dari Kewenangan Pengadilan Niaga, Proses Beracara di Pengadilan Niaga, serta Upaya Hukum Terhadap Putusan Pengadilan Niaga.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa hukum kepailitan yang berlaku di Indonesia telah menerapkan Asas Lex Specialis Derogat Legi Gerali dengan mengatur ketentua-ketentuan khusus terkait kepailitan. Beberapa asas seperti asas legalitas, asas lex superior derogat legi inferior, asas posterior derogat legi priori juga menguatkan prioritas hukum kepailitan yang lebih didahulukan dari pada peraturan yang bersifat umum terutama yang telah diatur di dalamnya. Artinya, Pasal 31 ayat (2) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU mengenyampingkan Pasal 39 ayat (2) KUHAP dalam hal penyitaan harta pailit. Berdasarkan hal tersebut, hasil analisis menunjukkan bahwa asas-asas ini telah digunakan dalam pertimbangan hakim melalui putusan Nomor 202 PK/Pdt.Sus/2012 dan Putusan Nomor 1533 K/Pdt.Sus-Pailit/2017, namun tidak digunakan dalam petimbangan hakim dalam Putusan Nomor 156 K/Pdt.Sus-Pailit-2015.
Kesimpulan dari skripsi ini adalah sebagai berikut, pertama, Asas Lex Specialis Derogat Legi Generalis dapat digunakan terhadap perkara kepailitan, sehingga terhadap perkara yang ada dalam skripsi ini berlaku sita umum kepailitan mengenyampingkan sita pidana agar nilai-nilai dasar hukum dapat terwujud. Kedua, pertimbangan majelis hakim dalam putusan No. 202 PK/Pdt.Sus/2012 dan Putusan Nomor 1533 K/Pdt.Sus-Pailit/2017 telah menerapkan asas hukum peraturan perundang-undangan yakni asas lex specialis derogat legi generalis, sedangkan pertimbangan Mahkamah Agung dalam Putusan Nomor 156 K/Pdt.Sus-Pailit-2015 tidak menerapkan asas hukum peraturan perundang-undangan tersebut.
Saran yang dapat penulis berikan yakni, pertama hendaknya Lembaga Legslatif mengkaji dan mengatur kembali dengan ketentuan-ketentuan yang lebih jelas berdasarkan nilai-nilai dasar hukum serta asas-asas peraturan perundang-undangan khususnya asas lex specialis derogat legi generalis. Kedua, hendaknya Mahkamah Agung mempetimbangkan keadilan dan kepastian hukum bagi para kreditor yang memiliki hak atas harta pailit dengan menerapkan Undang-Undang Kepailitan dan PKPU serta mengenyampingkan KUHAP. Ketiga, hendaknya Kejaksaan mengembalikan benda sitaan yang termasuk harta pailit kepada kurator yang berwenang agar eksekusi terhadap harta pailit dapat segera dilaksanakan, kejaksaan dengan mewakili negara dapat menjadi kreditor dengan hak istimewa untuk didahulukan serta mendapat surat keterangan sebagai bukti keberadaan benda dalam perkara pidana, dengan demikian Asas peradilan yang cepat, sederhana, dan biaya ringan dapat dicapai. Keempat, hendaknya Badan Reserse Kriminal Mabes Polri lebih mengetahui terkait adanya sita umum dalam perkara kepailitan, sehingga dapat mempertimbangkan kembali penyitaan yang akan dilakukan sebagai bukti dalam pemeriksaan perkara pidana. Kelima,hendaknya Kantor Pelayanan Negara Dan Lelang (KPKNL) menghapus pemblokiran atas pelaksanaan lelang agar eksekusi terhadap harta pailit dapat segera dilaksanakan.
Collections
- UT-Faculty of Law [6214]