Kewenangan Menteri Dalam Negeri Dalam Membatalkan Peraturan Daerah Provinsi (Studi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XIV/2016)
Abstract
Tujuan penelitian ini terdiri dari tujuan umum dan tujuan khusus. Secara umum penelitian ini bertujuan untuk melatih diri penulis dalam menerapkan ilmu pengetahuan hukum yang diperoleh, serta memenuhi dan melengkapi tugas sebagai persyaratan pokok yang bersifat akademis guna mencapai gelar Sarjana Hukum sesuai dengan ketentuan kurikulum Fakultas Hukum Universitas Jember. Secara khusus bertujuan untuk untuk mengkaji, menganalisis, dan mengetahui pengaturan tentang pembatalan Peraturan Daerah Provinsi sebelum dan sesudah dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XIV/2016 dan untuk mengkaji, menganalisis, dan mengetahui akibat hukum adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XIV/2016. Tipe penelitian yang dipergunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah yuridis normatif. Pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini yaitu pendekatan perundang-undangan (statue approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian skripsi ini yaitu bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang selanjutnya dilakukan analisa hukum guna menjawab semua rumusan masalah diatas. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dijelaskan penulis memperoleh bahwa sebelum dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUUXIV/2016, pembatalan Peraturan Daerah Provinsi dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri dengan mengeluarkan suatu Keputusan Menteri berdasarkan pada Pasal 251 ayat (1) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Selain itu Pasal 130 ayat (3) dan ayat (4) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum juga
menguatkan kewenangan yang dimiliki Menteri Dalam Negeri tersebut. Kemudian pembatalan Peraturan Daerah Provinsi sesudah dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XIV/2016 dilakukan oleh Mahkamah Agung berdasarkan pada Pasal 24A ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan semakin diperkuat dengan ketentuan Pasal 20 ayat (2) huruf b, dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman junto Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung, serta Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Dari dua macam pengaturan pembatalan Peraturan Daerah Provinsi, penulis kurang sependapat dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XIV/2016 yang menyerahkan wewenang pembatalan Peraturan Daerah Provinsi sepenuhnya hanya kepada Mahkamah Agung dikarenakan Mahkamah Agung memiliki wewenang atributif langsung dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 untuk menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang. Dikarenakan dalam hal ini Mahkamah Agung memiliki banyak kekurangan dalam melakukan pengujian. Mahkamah Agung cenderung bersifat pasif dan kurang menjamin kepastian hukum Peraturan Daerah Provinsi yang sedang diuji karena tidak ditentukannya batas waktu pengujian peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang oleh Mahkamah Agung. Dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XIV/2016 juga mengakibatkan akibat hukum dimana Pasal 251 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sehingga tidak dapat berlaku kembali. Namun perlu diingat bahwa meskipun Menteri Dalam Negeri sudah tidak dapat lagi membatalkan Peraturan Daerah Provinsi yang sudah ditetapkan dan berlaku untuk umum (pengawasan represif), Menteri Dalam Negeri masih dapat melakukan pengawasan terhadap Peraturan Daerah Provinsi melalui pengawasan preventif, dimana Peraturan Daerah Provinsi belum ditetapkan dan belum berlaku untuk umum. Pengawasan yang sedemikian rupa diterapkan bertujuan untuk melakukan pengawasan berjenjang oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah untuk menjalankan otonomi daerah dikarenakan tanggung jawab akhir pemerintahan daerah akan tetap berada di tangan pemerintah pusat yaitu presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan berdasarkan pada Pasal 4 ayat (1) UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Collections
- UT-Faculty of Law [6214]