dc.description.abstract | Seiring berkembang teknologi masyarakat di tuntut untuk selalu mengikuti
perkembangannya yang semakin berkembang pesat, Internet menjadi salah satu
teknologi yang paling sering digunakan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.
Sehingga menjadikan Indonesia sasaran bagi banyak perusahaan berbasis Financial
Technology. Financial Techology atau bisa disebut dengan Fintech merupakan
bisnis yang tujuannya untuk menyediakan jasa finansial dengan menggunakan
perangkat lunak dan teknologi modern Dalam kaitannya Fintech di Indonesia
banyak sekali yang menggunakan dengan jenis Peer to Peer Lending dan juga
sudah ada berbagai penyelenggara Fintech peer to peer lending yaitu investree,
Modalku, Koinworks, Amartha. Peer to peer lending adalah transaksi yang
melibatkan kreditur yang meminjamkan uangnya secara langsung kepada debitur
tanpa proses dan struktur konvensional, yang biasanya dilakukan oleh lembaga
keuangan konvensional, melainkan melalui situs online dengan mencocokan
kreditur dan debitur, sederhanannya seperti marketplace yang merupakan tempat
berkumpulnya penjual dan pembeli dalam sebuah situs website, dimana Peer to
Peer Lending mempertemukan pihak debitur dengan pihak kreditur. Banyak
kemudahan yang didapatkan contohnya adalah tidak adanya jaminan yang harus
diberikan. Akan tetapi sistem tanpa jaminan memungkinkan terjadinya kredit macet
hingga bisa mengalami kegagalan pembayaran. Kepastian hukum yang kurang jelas
menjadikan terancamnnya perlindungan terhadap dana kreditur, dikarenakan
jumlah yang diinvestasikan sangatlah besar. Ditambah dengan Otoritas Jasa
Keuangan yang belum berencana membuat aturan tentang batasan suku bunga
didalam Peer to peer lending karena dianggap hal itu merupakan kesepakatan yang
secara terbuka dapat dilihat para pihak, yang dianggap mekanisme pasarlah yang
akan menetapkan suku bunga. Hingga saat ini belum ada payung hukum untuk
kegiatan Peer to Peer Lending. Sehingga penulis tertarik dan menganalisis
permasalahan menjadi sebuah karya ilmiah dalam bentuk skripsi dengan judul “
Perlindungan Hukum Terhadap Kreditur Financial Technology (Fintech) dalam
Perusahaan Peer to Peer Lending”. Rumusan masalah yang dikemukakan alam
skripsi ini adalah kesatu pengaturan tentang Peer to peer lending di Indonesia,
kedua upaya penyelesaian yang dapat ditempuh oleh kreditur yang mengalami
kerugian dalam mekanisme peer to peer lending.
Penyusunan skirpsi ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami
pengaturan tentang peer to peer lending di Indonesia, dan mengetahui dan
memahami upaya penyelesaian yang dapat ditempuh oleh kreditur yang mengalami
kerugian dalam mekanisme peer to peer lending. Metode penelitian dalam skripsi
ini menggunakan tipe penelitian yuridis normatif. Pendekatan masalah yang
digunakan pendekatan undang-undang dan pendekatan konseptual. Selanjutnya,
bahan hukum yang dilakukan adalah bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder. Hasil dari tersebut dianalisis menggunakan metode yang sistematis.
Pengaturan Peer to Peer Lending di Indonesia telah ada peraturan yang
sudah menaunginya dan bisa dibilang jelas dan dapat dijadikan landasan hukum
para kreditur, debitur, maupun penyedia jasa Peer to Peer Lending. Telah jelas
adanya berdasarkan pasal 1 peraturan Bank Indonesia No.19/12/PBI/2017 dapat
ditarik secara garis besar bahwa Peer to Peer Lending termasuk dalam kategori
Financial Technology (fintech) karena berkarakteristik sama yaitu merupakan
pengunaan teknologi dalam sistem keuangan dimana dapat memaksimalkan
pengunaan proses transaksi keuangan yang lebih praktis, aman serta modern. Peer
to Peer Lending sendiri juga telah dibuatkan aturan khusus oleh pemerintah di
Indonesia melalui Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/P.OJK.01/2016
yang didalamnya mengatur banyak hal seperti hak dan kewajiban para pihak, tata
cara pelaksanaannya, bahkan cara menyelesaikan perselisihan akibat kesalahan
penyelenggara. Serta dalam pelaksanaan Peer to Peer Lending perjanjian yang
terdapat tidak terlepas dari syarat sah perjanjian berdasarkan pasal 1320 KUH
perdata,uniknya dalam Peer to peer lending ini dimana perjanjian antara Kreditur
dan Debitur di tuangkan kedalam Dokumen elektronik sesuai dengan Pasal 1 angka
8 P.OJK 77/01/2016 yang dimana sesuai dengan pasal 5 UU ITE dokumen eletronik
merupakan perluasan dari alat bukti yang sah dan sesuai dengan Hukum Acara yang
berlaku di Indonesia. Upaya penyelesaian yang dapat ditempuh oleh kreditur yang
mengalami kerugian dalam mekanisme peer to peer lending berdasarkan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam
Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi dalam peraturan ini terdapat
beberapa poin-poin terkhusus mengenai tentang perlindungan pengguna yaitu
Mitigasi Risiko, Tata Kelola Sistem Teknologi Informasi, Edukasi dan
Perlindungan Pengguna Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi
Informasi, Prinsip dan Teknis pengenalan Nasabah. dahulu menyelesaikan sengketa
melalui Lembaga Jasa Keuangan (LJK) apabila tidak mencapai kesepakatan pula
maka penyelesaian sengketa diluat persidangan dapat melalui Lembaga Alternatif
Penyelesaian Sengketa (LAPS) antara lain melalui Mediasi, Ajudikasi dan
Arbitrase.
Saran penulis dengan adanya pengaturan yang belum jelas terutama
mengenai upaya hukum kerugian kreditur maka diharapkan kedepannya akan ada
aturan yang lebih jelas mengenai Peer to Peer Lending sehingga di zaman yang
serba modern ini dapat meminimalisir terjadinya sengketa antar pihak dalam Peer
to Peer Lending.Sesungguhnya banyak berbagai upaya hukum yang dapat
ditempuh Kreditur dalam Peer to Peer Lending apabila dirugikan akan tetapi masih
belum dapat dikatakan menjamin uang yang kreditur pinjamkan, diharapkan
kedepannya ditingkatkan lagi keamanan dalam bertransaksi layanan Peer to Peer
Lending dalam era digital ini. Konsumen selaku Pengguna jasa Peer to Peer
Lending perlu bersikap hati-hati dan teliti dalam memberikan ataupun menerima
uang pinjaman yang terdapat di platform Penyelenggara, sehingga meminimalisir
terjadinya kredit macet dan gagal bayar | en_US |