Pengkualifikasian Tindak Pidana Perdagangan Orang dalam Perspektif UU No. 21 Tahun 2007 dan UU No. 19 Tahun 2016 (Putusan Nomor 365/Pid.Sus/2018/PN.Smn)
Abstract
Tindak pidana kesusilaan dapat berkaitan dengan adanya tindakan perdagangan orang. Tindak pidana perdagangan orang diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Adapun cara-cara dalam tindak pidana perdagangan orang dapat dilakukan secara konvensional maupun dengan sarana informasi elektronik. Tindak pidana perdagangan orang melalui alat informasi elektronik dapat dilakukan dengan menggunakan sarana media sosial seperti twitter, instagram, whatsapp, blackberry messenger, website,dan lain sebagainya. Putusan Pengadilan Negeri Sleman Nomor 365/Pid.Sus/2018/PN.Smn dengan terdakwa DES merupakan salah satu contoh dari kasus perdagangan orang yang menggunakan sarana alat informasi elektronik, dalam pertimbangannya hakim menyatakan tidak ditemukan korban perdagangan orang atau korban eksploitasi dan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar ketentuan Pasal 296 KUHP dan dijatuhi pidana penjara selama 1 (satu) tahun. Berdasarkan uraian pada Putusan Nomor 365/Pid.Sus/2018/PN.Smn, maka penulis tertarik untuk menganalisis permasalahan yang meliputi dua hal yaitu, tentang kesesuaian pertimbangan hakim dengan fakta-fakta persidangan dan tentang perbuatan terdakwa dapat dituntut menurut UU ITE.
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis kesesuaian pertimbangan hakim dengan fakta-fakta persidangan dan untuk menganalisis perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa dalam Putusan Nomor 365/Pid.Sus/2018/PN.Smn dapat dituntut menurut UU ITE. Untuk menjawab isu hukum yang timbul, penulis menggunakan metode penulisan skripsi (legal research), adapun menggunakan dua pendekatan masalah yakni pendekatan undang-undang (statute approach) yang terdiri dari beberapa undang-undang antara lain adalah KUHP, KUHAP, UU PTPPO, dan UU ITE dan pendekatan konseptual (conceptual approach) berupa pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin dalam ilmu hukum yang akan melahirkan pengertian-pengertian hukum mengenai TPPO, tindak pidana ITE, konsep-konsep hukum, dan asas-asas hukum dalam menentukan suatu perbuatan tindak pidana, serta bahan hukum sekunder yang sesuai dengan tema skripsi.
Dalam pembahasan, penulis mengemukakan pertimbangan hakim pada Putusan Nomor 365/Pid.Sus/2018/PN.Smn tidak sesuai dengan fakta di persidangan, karena pengertian korban didalam Pasal 2 UU PTPPO bisa diartikan sebagai korban murni dan korban tidak murni, dilihat dari peranan korban, perbuatan yang dilakukan oleh saksi PD termasuk dalam akibat kejahatan yang merugikan korban merupakan kerjasama antara pelaku tindak kejahatan dengan korban dan kerugian atau penderitaan yang terjadi akibat tindak kejahatan tidak mungkin terjadi jika tidak ada provokasi korban, lalu dari tingkat kesalahannya, perbuatan yang dilakukan oleh saksi PD adalah sama salahnya dengan pelaku, dan dari jenis-jenis hubungan korban dengan kejahatan, saksi PD termasuk dalam kategori provoactive victims dan self victimizing, sehingga lebih tepat menggunakan Pasal 2 UU PTPPO. Kedua, Globalisasi telah menjadi pendorong lahirnya era perkembangan teknologi informasi. Perkembangan teknologi informasi membawa pengaruh positif dan negatif dan menyebabkan kejahatan baru di bidang cybercrime juga muncul. UU ITE telah mengantisipasi sedemikian rupa atas pengaruh buruk dari pemanfaatan kemajuan teknologi ITE tersebut. Pada Putusan Nomor 365/Pid.Sus/2018/PN.Smn perbuatan terdakwa yang menggunakan sarana media online twitter dalam melaksanakan tindak pidana yang dilakukannya telah memenuhi unsur-unsur Pasal 27 ayat (1) UU ITE. Sehingga menurut penulis sangat tepat apabila Penuntut Umum mendakwa dengan dakwaan kumulatif, selain dengan menggunakan aturan dalam KUHP, tetapi juga menggunakan UU ITE sesuai dengan sarana yang digunakan terdakwa dalam melakukan tindak pidana.
Saran dari penulis terhadap permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini adalah pertama, untuk mengadili perkara yang berkaitan dengan keaktifan korban dalam tindak pidana, seyogianya para hakim yang menangani perkara di dalam pengadilan harus lebih cermat dan lebih teliti dalam memahami pengertian korban, peranan korban, tingkat kesalahan korban, dan jenis-jenis korban dalam suatu tindak pidana. Kedua, Penuntut Umum seyogianya dalam mendakwa suatu tindak pidana harus memperhatikan sarana yang digunakan oleh terdakwa terlebih dahulu. Untuk kedepannya Penuntut Umum tidak hanya menitikberatkan pada peraturan yang terdapat pada KUHP saja, tetapi juga menggunakan UU yang khusus, salah satunya yaitu UU ITE
Collections
- UT-Faculty of Law [6214]