dc.description.abstract | Perkebunan di Indonesia diatur di dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun
2014 tentang Perkebunan (UU Perkebunan). Seorang pengusaha di bidang
perkebunan harus memenuhi beberapa persyaratan, salah satunya adalah
persyaratan pada Pasal 42 UU Perkebunan. Sebelum dilakukanya pengujian pada
pasal 42 oleh Mahkamah Konstitusi (MK), menyatakan bahwa Kegiatan usaha budi
daya Tanaman perkebunan dan/atau usaha Pengolahan Hasil perkebunan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) hanya dapat dilakukan oleh
Perusahaan Perkebunan apabila telah mendapatkan hak atas tanah dan/atau izin
Usaha perkebunan. Didalam pasal tersebut terdapat frasa “hak atas tanah dan/atau
izin usaha perkebunan” frasa tersebut dianggap bertentangan dengan Undangundang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945). Adanya
permasalahan tersebut MK melakukan pengujian kembali (judicial review)
terhadap pasal 42 UU Perkebunan. Dalam Putusan MK Nomor 138/PUUXIII/2015, majelis hakim MK mengubah bunyi frasa yang semula “dan/atau”
menjadi kata “dan” saja. Sehingga perusaan perkebunan baik yang sudah berdiri
maupun yang akan mendirikan perusahaan perkebunan wajib memiliki hak atas
tanah dan izin usaha perkebunan. Berdasarkan masalah tersebut penulis tertarik
untuk menganalisa dan menulis karya ilmiah dalam skripsi ini yang berjudul “
Kepastian Hukum Status Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit Pasca Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-XIII/2015.”
Rumusan masalah yang dikemukakan dalam skripsi ini adalah: Pertama,
Bagaimana pengaturan tentang Legalitas Perusahaan perkebunan kelapa sawit pra
dan pasca putusan Mahkamah Konstitusi 138/PUU-XIII/2015? ; kedua,Apa akibat
hukum bagi perkebunan kelapa sawit yang tidak memiliki hak atas tanah dan izin
usaha perkebunan pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUUXIII/2015?; dan ketiga, Apa pertimbangan hakim dalam putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 138/PUU-XIII/2015?.
Tujuan dari penelitian skripsi ini adalah untuk mengetahui dan mengkaji
pengaturan Legalitas Perusahaan perkebunan kelapa sawit pra dan pasca putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-XIII/2015, kemudian untuk mengetahui
dan mengkaji akibat hukum bagi perkebunan kelapa sawit yang tidak memiliki hak
atas tanah dan izin usaha perkebunan pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
138/PUU-XIII/2015 serta yang terakhir untuk mengetahui dan mengkaji
pertimbangan hakim dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUUXIII/2015.
Metode yang digunakan dalam penelitian skripsi ini adalah menggunakan
metode yuridis normatif (legal research). Pendekatan yang dilakukan pada
penulisan skripsi ini adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach)
dan pendekatan komparatif (comparative approach). Bahan hukum yang
digunakan untuk menyusun skripsi ini adalah bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder, dan bahan non hukum. Analisa bahan hukum yang digunakan pada
penulisan ini yaitu secara deduktif. Analisa deduktif tersebut berbentuk deduksi
yakni diawali dengan hal yang bersifat umum terlebih dahulu, lalu menuju ke hal
yang bersifat khusus. Tinjauan pustaka yang ditulis dalam skripsi ini adalah
mengenai Kedudukan, Tugas dan Kewenangan, serta Putusan Mahkamah
Konstitusi, kemudian Pengertian dan Tujuan Kepastian Hukum, kemudian Pengertian Perusahaan Perkebunan dan Izin usaha Perkebunan, dan yang terakhir
Pengertian dan Macam Hak atas tanah.
Hasil dari penelitian menunjukan bahwa pra dilakukanya pengujian kembali
pada pasal 42 UU Perkebunan oleh MK perusahaan perkebunan kelapa sawit yang
memiliki hak atas tanah atau izin usaha perkebunan dianggap legal. Setelah
dilakukanya pengujian oleh MK yang pasca di tetapkan dalam putusan nomor
138/PUU-XIII/2015, perusahaan perkebunan kelapa sawit wajib memiliki hak atas
tanah dan izin usaha perkebunan. Untuk mendapatkan hak atas tanah dan izin usaha
perkebunan persahaan perkebunan kelapa sawit harus memenuhi persyaratan sesuai
dengan ketentuan yang telah di tetapkan dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor
39 Tahun 2013 Tentang Pedoman Perizinan Perusahaan Perkebunan, Jo. Peraturan
Menteri Pertanian Nomor 29 Tahun 2016, Jo. Peraturan Menteri Pertanian Nomor
21 Tahun 2017. Jika hasil dari putusan MK tersebut tidak dipatuhi maka perusahaan
perkebunan kelapa sawit akan dikenakan sanksi sesuai dengan Pasal 105 UU
Perkebunan. | en_US |