ANALISIS YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA SEDIAAN FARMASI TANPA IZIN EDAR (Putusan Nomor : 2008/K/Pid.Sus/2016)
Abstract
Masyarakat perlu dilindungi dari penggunaan obat, obat tradisional,
kosmetika, suplemen makanan, dan makanan yang secara ilmiah tidak memenuhi
persyaratan keamanan, mutu, dan manfaat. Produk obat, obat tradisional, kosmetik,
suplemen makanan dan makanan yang bersumber, mengandung atau berasal dari
bahan tertentu yang secara syariah mengandung unsur bahan tidak halal dan tidak
lazim digunakan oleh masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Untuk
melaksanakan pengawasan obat dan makanan perlu dilakukan pengaturan izin edar
terhadap produk obat, obat tradisional, kosmetik, suplemen makanan dan makanan
yang bersumber, mengandung atau berasal dari bahan tertentu dan atau
mengandung alkohol. Contoh kasus yang penulis analisis yaitu berdasarkan
Putusan Nomor 2008/K/Pid.Sus/2016.
Putusan permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini, Pertama adalah
apakah tepat pertimbangan hakim MA yang menjatuhkan sanksi pidana
berdasarkan Pasal 196 UU Kesehatan dalam Putusan No 2008/K/Pid.Sus/2016?
Permasalahan kedua adalah apakah saksi yang bekerja di apotek dapat dituntut
melakukan tindak pidana sebagaimana ketentuan dalam UU Kesehatan? Kedua
permasalahan tersebut akan dianalisis penulis dengan menggunakan metode yuridis
normatif melalui pendekatan undang-undang dan pendekatan konseptual. Yuridis
normatif yaitu penelitian yang dilakukan dengan mengkaji berbagai aturan hukum
yang bersifat formil seperti undang-undang, peraturan-peraturan serta literatur yang
berisi konsep-konsep teoritis yang kemudian dihubungkan dengan permasalahan
yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini. Sumber bahan hukum yang
digunakan dalam penulisan skripsi ini yaitu bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder. Analisis bahan hukum yang digunakan oleh penulis yaitu metode
deduktif dimana pengambilan kesimpulan dari pembahasan yang bersifat umum
menjadi kesimpulan yang bersifat khusus sehingga jawaban atas rumusan masalah
yang telah ditetapkan dan pada akhirnya penulis dapat memberikan preskripsi
mengenai apa yang seharusnya dan dapat diterapkan.
Kesimpulan Pertama, bahwa putusan hakim dalam Putusan Nomor
2008/K/Pid.Sus/2016 tidak tepat, karena terdapat ketidaksinkronan atau
ketidaksesuaian antara pertimbangan hukum hakim (ratio decidendi) dengan amar
putusan sehingga mengakibatkan putusan tersebut menjadi kabur atau tidak jelas,
atas ketidaksesuaian tersebut maka dapat dijadikan sebagai novum oleh terdakwa
dalam mengajukan upaya hukum peninjauan kembali (PK).Kedua, Terhadap saksi
F dan saksi A yang bertugas meracik obat, mengemas ulang, memberikan obat ke
pasien serta menyiapkan pesanan produk kosmetik di apotik, apabila ia memiliki
surat izin berpraktik dalam pekerjaan kefarmasian maka ia tidak dapat diduga
melakukan tindak pidana, namun apabila saksi atau pekerja tersebut tidak memiliki
surat izin praktik pekerjaan kefarmasian maka ia dapat melanggar ketentuan Pasal
198 UU Kesehatan.
Saran dari penulis yaitu Pertama, Majelis Hakim dalam menyatakan amar
putusan tingkat kasasi guna memeriksa, mengadili dan menjatuhkan putusan
kepada terdakwa seyogianya memperhatikan pertimbangan-pertimbangan hukum, agar terjadi kesesuaian antara pertimbangan hukum dan amar putusan. Kedua,
Kepada pihak yang memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan terhadap
apotek agar melakukan tugasnya sebagaimana telah diatur dalam peraturan
perundang-undangan agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang dan terjaminnya
kesehatan serta keselamatan masyarakat.
Collections
- UT-Faculty of Law [6214]