dc.description.abstract | Islam diyakini sebagai agama yang membawa misi Rahmatan Lil-
Alamin (kasih sayang kepada seluruh alam semesta). Salah satu bentuk
Rahmat tersebut adalah dengan disyariatkannya suatu perkawinan.
Perkawinan merupakan aspek yang penting dalam suatu kehidupan
manusia, disamping kelahiran dan kematian. Al-Qur’an menyebutkan
kurang lebih 70 (tujuh puluh) ayat yang membahas masalah keluarga dan
perkawinan. Keseluruhan ayat tersebut memberikan tuntunan kepada
manusia dalam membina keluarga (rumah tangga) agar tercipta kehidupan
keluarga (rumah tangga) yang sakinah, mawaddah, warahmah yang diridhai
Allah SWT. Seperti halnya dalam salah satu Firman Allah SWT berikut ini :
“Dan diantara tanda – tanda kebesaran dan kekuasaan Allah ialah
diciptakan untukmu pasangan hidup dari jenismu sendiri supaya kamu
mendapatkan ketenangan hati dan dijadikanNya rasa kasiih sayang
diantara kamu. Sesungguhnya yang demikian itu menjadi tanda – tanda
kebesaranNya bagi orang – orang yang berpiki.r (Q.S. Ar – Ruum : 21)
Salah satu bentuk dari perkawinan yang berlaku dalam Islam adalah
poligami, yang dilakukan oleh seorang suami terhadap beberapa isteri
dalam waktu yang bersamaan. Laki – laki yang melakukan poligami disebut
poligam, sedangkan kebalikan dari poligami adalah monogami, yaitu
seorang suami hanya memiliki seorang isteri pada waktu tertentu. Dalam
realita yang terjadi dalam masyarakat, monogamilah yang banyak dianut,
karena dianggap lebih sesuai dengan tabiat manusia.
Sebenarnya pada saat Islam datang, hal tersebut masih menjadi
fenomena yang terjadi pada masyarakat Arab. Praktik poligami yang ada
dianggap tidak mencerminkan adanya keadilan dan dapat merusak keluarga,
oleh karena itu, agama Islam menentapkan aturan – aturan dan ketentuan –
ketentuan untuk menjaga dan menghilangkan akibat buruk dari poligami.
Pada dasarnya perkawinan poligami diperbolehkan bagi laki – laki
muslim yang dianggap sanggup berbuat adil terhadap isteri – isterinya.
Namun apabila khawatir tidak bisa berbuat adil, maka ia hanya dibolehkan
mempunyai seorang isteri saja.
Poligami boleh dilaksanakan dengan persyaratan tertentu, yang
dianggap cukup berat, demikian juga permohonan ijin poligami harus
diajukan melalui sidang Pengadilan Agama. Hal ini dilakukan karena
poligami bukan sesuatu yang mudah untuk dijalani. Karena dalam sebuah
perkawinan terdapat masalah yang sangat kompleks, tidak hanya
menyangkut hubungan suami isteri saja, namun juga berhubungan dengan
keluarga dari kedua belah pihak serta anak – anak hasil dari perkawianan
mereka. Maka persyaratan poligami diperberat yang dimaksudkan agar
pemohon poligami dalam melaksanakan poligami benar – benar dengan
pertimbangan yang matang, sehingga nantinya bisa mewujudkan tujuan dari
perkawinan. Sehingga sudah selayaknya bagi seorang laki – laki yang tidak
mampu memenuhi persyaratan tersebut tidak boleh melaksanakan poligami.
Pengadilan Agama sebagai pihak yang menerima, memeriksa dan
memutus permohonan yang diajukan kepadanya akan memutus dengan
pertimbangan – pertimbangan yang matang. Demikian juga dalam masalah
pengajuan ijin poligami. Pengadilan Agama akan memberikan suatu ijin
dengan melihat alasan – alasan yang diajukan dan terpenuhi atau tidaknya
persyaratan – persyaratan poligami baik secara agama maupun undang –
undang.
Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk mengkaji secara
lebih dalam mengenai hal – hal tersebut, sehingga penulis mengangkat judul
“PERMOHONAN ITSBAT NIKAH TERHADAP PERKAWINAN
POLIGAMI TANPA IJIN DARI ISTERI”
Rumusan masalah yang dibahas adalah Bagaimana tindakan hukum
yang diberikan oleh Pengadilan Agama, apabila permohonan istbat nikah
tidak disetujui oleh isteri terdahulu, serta Apa upaya hukum yang dapat
dilakukan bila Pengadilan Agama tidak memberikan ijin atas permohonan
itsbat. Metode penelitian meliputi tipe penelitian yang bersifat yuridis
normatif. Pendekatan masalah adalah pendekatan perundang-undangan
(statute approach). Sumber bahan hukum, penyusunan skripsi ini
menggunakan bahan hukum primer, serta bahan hukum sekunder. Analisis
bahan hukum dengan beberapa tahapan yang kemudian diuraikan dalam
pembahasan guna menjawab permasalahan yang diajukan hingga sampai
pada kesimpulan.
Berdasarkan analisa dan pembahasan permasalahan yang telah
dilakukan, maka kesimpulan dapat ditarik sebagai berikut : Tindakan
Pengadilan Agama dalam menyikapi suatu permohonan Itsbat Nikah
poligami yang tidak disetujui oleh isteri terdahulu haruslah dengan tegas
menolak permohonan tersebut, sebab dalam pasal 5 ayat (1) Undang –
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dengan tegas
menyatakan salah satu syarat seorang suami dapat melakukan perkawinan
poligami hanya dengan seijin isteri, meskipun dalam pasal 5 ayat (2)
memberikan suatu celah untuk mengesampingkan ijin dari isteri terdahulu,
namun hal itu dapat dilaksanan hanya apabila isteri tidak dapat dijadikan
pihak dalam suatu perjanjian, dimana hal itu berarti isteri dalam keadaan
dibawah suatu pengampuan, isteri tidak memberikan kabar selama –
lamanya 2 (dua) tahun, dan sebab lain yang perlu mendapat penilaian dari
hakim. Sebab jika permohonan tersebut dikabulkan, maka akan timbul suatu
permasalahan baru yaitu suatu ketidak adilan bagi isteri. Pemohon dapat
menolak atau tidak merima keputusan yang diberikan oleh Pengadilan
Agama baik berupa putusan maupun berupa penetapan. Upaya Hukum lain
dapat ditempuh sehubungan penolakan penetapan tersebut, upaya hukum
lain tersebut yang dapat diajukan antara lain upaya hukum Banding maupun
upaya hukum Kasasi, dimana upaya hukum tersebut diajukan kepada
Pengadilan Tinggi Agama maupun Mahkamah Agung sesuai dengan
prosedur yang ada. | en_US |