Kedudukan Hukum Hak Milik Atas Tanah Yang Hibahnya Ditarik Kembali Oleh Pemberi Hibah Dalam Perspektif Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Abstract
Berdasarkan hasil kesimpulan diperoleh hasil bahwa Pertama Meskipun suatu penghibahan sebagaimana halnya dengan suatu perjanjian pada umunya, tidak dapat ditarik kembali secara sepihak tanpa persetujuan pihak lawan, namun undang-undang memberikan kemungkinan bagi si pemberi hibah untuk dalam halhal tertentu menarik kembali atau menghapuskan hibah yang telah diberikan kepada orang lain. Demikian seperti yang sudah disebutkan di dalam Pasal 1688 KUH Perdata tentang penarikan kembali dan penghapusan hibah, berupa 3 (tiga) hal yaitu : (1) Karena tidak dipenuhi syarat-syarat dengan mana penghibahan telah dilakukan, (2) Jika si penerima hibah telah bersalah melakukan atau membantu melakukan kejahatan yang bertujuan mengambil jiwa si penghibah atau suatu kejahatan lain terhadap si penghibah dan (3) Jika ia menolak memberikan tunjangan nafkah kepada si penghibah, setelah orang ini jatuh dalam kemiskinan. Akibat hukum yang timbul terhadap harta hibah yang dimohonkan pembatalan hibah pada Pengadilan dengan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap menjadikan objek sengketa yang telah diberikan dalam penghibahan berlaku surut dankembali pada keadaan semula. Artinya,seluruh harta hibah yang telah dihibahkan penghibah kepada si penerima hibah kembali menjadi milik sendiri pemberi hibah secara keseluruhan. Pengembalian harta hibah ini harus bebas dari segala beban yang diletakkan penerima hibah atas barang tersebut. Apabila objek sengketa tersebut telah di sertifikatkan atas nama penerima hibah maka dengan putusan Pengadilan mengenai pembatalan hibah itu dapat menyatakan sertifikat tersebut menjadi batal dan tidak berlaku lagi. Dengan demikian objek sengketa
dapat kembali diatasnamakan pemberi hibah. Penghapusan hibah dilakukan dengan menyatakan kehendaknya kepada si penerima hibah disertai penuntutan kembali barang-barang yang telah dihibahkan dan apabila itu tidak dipenuhi secara sukarela, maka penuntutan kembali barang-barang itu diajukan kepada pihak pengadilan. Tentang penarikan kembali hibah, jika si pemberi hibah sudah menyerahkan barangnya, dan ia menuntut kembali barang tersebut, maka si penerima hibah diwajibkan mengembalikan barang yang dihibahkan tersebut dengan hasil-hasilnya terhitung mulai diajukannya gugatan, atau jika barang yang sudah dijualnya, mengembalikan harganya pada waktu dimasukkannya gugatan, dan disertai hasilhasil sejak saat itu. Selain itu, si penerima hibah diwajibkan memberikan ganti rugi kepada si pemberi hibah, untuk hipotik-hipotik dan beban-beban lainnya yang telah diletakkan olehnya di atas benda-benda tak bergerak, juga sebelum gugatan dimasukkan. Pencabutan dan pembatalan hibah ini, hanya dapat dimintakan oleh penghibah dengan jalan menuntut pembatalan hibah yang diajukan ke pengadilan negeri, supaya hibah yang telah diberikan itu dibatalkan dan dikembalikan kepadanya. Tuntutan hukum tersebut, gugat dengan lewat waktu 1 (satu) tahun, terhitung mulai dari hari terjadinya peristiwa yang menjadi alasan tuntutan, dimana hal unu dapat diketahuioleh penghibah, tuntutan tersebut tidak dapat diajukan oleh penghibah terhadap ahli waris penerima hibah atau ahli waris benda yang dihibahkan itu adalah miliknya sendiri. Jika sebelumnya tuntutan ini sudah diajukan oleh penghibah atau jika penghibah itu telah meninggal dunia dalam waktu 1 (satu) tahun setelah terjadinya peristiwa yang ditiadakan. Bertitik tolak kepada permasalahan yang ada dan dikaitkan dengan kesimpulan yang telah dikemukakan di atas, maka dapat saya berikan saran : Hibah dalam hukum Islam secara lisan adalah sah dan dapat dilaksanakan atau dapat secara tertulis, sedangkan dalam KUH Perdata wajib dibuat dalam akta otentik notaris. Keberadaan hibah dengan akta notaris mengandung unsur positif manakala di kemudian hari ada persengketaan menyangkut objek hibah yang dituntut oleh pihak lain. Sengketa tersebut biasanya terjadi karena ada pihak-pihak yang keberatan atau akan mengganggu keberadaan harta atau benda hibah tersebut. Keberadaan akta notaris dalam hal ini bermanfaat dalam mencegah adanya sengketa melalui bukti otentik. Selain itu ketentuan dalam KUH Perdata terkait masalah hibah disebutkan bahwa hibah orang tua pada anak dapat diperhitungkan sebagai waris (Pasal 211), Hibah tidak dapat ditarik kembali, kecuali hibah orang tua pada anaknya (Pasal 212), dan hibah yang diberikan pada saat kematian harus mendapatkan persetujuan ahli waris. Keberadaan dan pelaksanaan hibah sebagai bentuk amal harus senantiasa dilestarikan dalam kehidupan masyarakat untuk kemaslahatan bersama. keberadaan hibah saat ini hendaknya dilakukan secara prosedur yang berlaku dalam KUH Perdata karena mengandung unsur positif dalam mencegah adanya sengketa atau permusuhan di kemudian hari karena adanya perselisihan menyangkut benda yang dihibahkan oleh si penghibah yang meninggal suatu saat.
Collections
- UT-Faculty of Law [6214]