dc.description.abstract | Pada bab 1 diuraikan latar belakang bahwa, suatu rumah tangga harus dibangun atas dasar komunikasi yang baik sehingga permasalahan dapat diselesaikan, karena jika tidak makan akan mengakibatkan terjadinya permasalahan, bahkan adanya perceraian. Pada mekanisme cerai gugat, hakim akan melakukan pemanggilan dan pemeriksaan kepada pihak suami atau istri setelah diterimanya surat gugatan. Hakim akan menawarkan kepada para pihak untuk menghendaki perdamaian atau tidak. Saat tidak menghendaki perdamaian, maka hakim akan memutuskan putusan gugatan perceraian tersebut yang dilakukan dalam sidang terbuka yang dapat dihadiri oleh umum, dihitung sejak saat pendaftaran putusan perceraian itu. Salah satu contoh kasus sebagaimana kajian dalam penyusunan skripsi ini adalah perkara cerai talak yang diajukan oleh suami dalam sidang gugatan perceraian sebagaimana Putusan Pengadilan Agama Banyuwangi Nomor 4064/ Pdt.G/2018/PA.Bwi. Rumusan masalah yang akan dibahas adalah : (1) Alasan isteri yang pemboros dan meminta nafkah lebih dari kemampuan suami apakah dapat dijadikan dasar untuk menjatuhkan talak dan (2) Pertimbangan hukum hakim mengabulkan talak suami sudah sesuai dengan hukum perkawinan dalam Islam. Metode penelitian dalam penulisan skripsi ini menggunakan tipe penelitian yuridis normatif, artinya permasalahan yang diangkat, dibahas dan diuraikan dalam penelitian ini difokuskan dengan menerapkan kaidahkaidah atau norma-norma dalam hukum positif. Pendekatan masalah menggunakan pendekatan undang-undang dan pendekatan konseptual dengan bahan hukum yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder dan bahan non hukum. Analisa bahan penelitian dalam skripsi ini menggunakan analisis normatif kualitatif. Guna menarik kesimpulan dari hasil penelitian yang sudah terkumpul dipergunakan metode analisa bahan hukum deduktif. Pada bab 2 menguraikan tentang tinjauan pustaka yang terdiri dari perkawinan, yang meliputi pengertian perkawinan dan dasar hukumnya, tujuan berikut rukun dan syarat sahnya perkawinan. Kedua tentang talak yang meliputi pengertian talak dan macam-macam talak dan kewenangan Pengadilan Agama dalam Perkara Perceraian. Pada bab 3 dikemukakan berdasarkan hasil pembahasan bahwa Pengajuan cerai talak oleh suami dengan alasan isteri selaku termohon meminta nafkah melebihi kemampuan suami dan boros sebagai alasan perceraian tidak dapat dipergunakan sebagai alasan perceraian, namun dalam hal ini alasan yang dipergunakan adalah adanya alasan bahwa antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Dengan demikian, secara limitatif pengajuan cerai dan talak pada prinsipnya harus mengacu pada ketentuan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pada bab 4 berdasarkan hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa, Pertama Pengajuan cerai talak oleh suami dengan alasan isteri selaku termohon meminta nafkah melebihi kemampuan suami dan boros sebagai alasan perceraian menurut Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dalam hal ini tidak dapat dipergunakan sebagai alasan perceraian, namun dalam hal ini alasan yang dipergunakan adalah adanya alasan bahwa antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Terkait alasan yang bisa disampaikan untuk mengajukan perceraian, adalah mengacu pada ketentuan Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Kedua, Pertimbangan hukum (ratio decidendi) hakim dalam Putusan Pengadilan Agama Banyuwangi Nomor 4064/Pdt.G/2018/PA.Bwi sudah sesuai dengan ketentuan hukum Islam, bahwa perkawinan adalah suatu ikatan lahir batin antara suami dan isteri yang sangat luhur dan suci (mitsaqan ghalizhan) yang mempunyai tujuan tercapainya rumah tangga yang bahagia dan saling cinta kasih (mawaddah wa rahmah) sebagaimana yang dikehendaki dalam Al Qur'an Surat Ar Ruum ayat 21 yang penjabarannya tercantum dalam Pasal 1 Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, tujuan mana tidak dapat diwujudkan dalam rumah tangga Pemohon dan Termohon terbukti di antarakeduanya sering terjadi perselisihan dan pertengkaran, oleh karenanya Majelis Hakim berpendapat bahwa kedamaian dan kerukunan rumah tangga Pemohon dan Termohon sudah tidak mungkin untuk dibina lagi dalam satu keluarga yang bahagia dan tidak ada harapan untuk hidup rukun kembali sehingga untuk menghindari madharat (bahaya) yang lebih besar jalan menuju perceraian sudah dapat ditempuh. Saran yang dapat diberikan bahwa, Pertama Kepada suami istri hendaknya dapat menyadari bahwa perkawinan sebagaimana telah disebutkan merupakan upaya positif dalam rangka hubungan lebih lanjut antara seorang laki-laki dan perempuan untuk membentuk suau keluarga yang sakinah dan mawaddah dihadapan Allah S.W.T. Oleh karena itu kiranya perkawinan harus dipertahankan dari adanya perpisahan atau perceraian. Dengan menikahnya seorang laki-laki dan seorang wanita, maka sejak saat itulah keduanya harus berbagi suka, duka dan kesetiaan hingga akhir hayatnya. Dengan adanya cinta dan kesetiaan yang melandasi bahtera rumah tangga maka biduk keluarga akan berjalan dengan baik dan bahagia sehingga riak-riak kecil seperti perselisihan dapat diatasi dengan baik, jangan sampai terpisahkan. Kedua kepada pihak masyarakat yang akan mengajukan gugatan dalam masalah perceraian harus mengajukan alasan yang tepat dan sesuai sehingga gugatan tersebut dapat diterima sebagai alasan hukum. Seringkali masyarakat menggunakan alasan yang tidak sesuai sehingga gugatan tersebut ditolak oleh hakim. | en_US |