Show simple item record

dc.contributor.advisorSOETIJONO, Iwan Rachmad
dc.contributor.authorFIRDAUSI, Ahmad Galih
dc.date.accessioned2019-08-30T07:24:19Z
dc.date.available2019-08-30T07:24:19Z
dc.date.issued2019-08-30
dc.identifier.nim140710101267
dc.identifier.urihttp://repository.unej.ac.id/handle/123456789/92335
dc.description.abstractPenguasaan hak milik atas tanah secara individu ataupun kelompok diamini oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. menjadikan manusia selalu berupaya semaksimal mungkin untuk memiliki dan menguasai tanah demi memenuhi kebutuhan hidupnya dan kesejahteraanya. Cara yang paling sering ditempuh guna mendapatkan hak milik atas tanah adalah dengan peralihan hak atas tanah salah satunya melalui jual beli. Selanjutnya PPAT sebagai pejabat umum yang diberi kewenangan oleh perundang-undangan untuk membuat alat bukti mengenai perbuatan hukum terkait hak atas tanah, yang kemudian alat bukti dimaksud selanjutnya akan dijadikan sebagai dasar telah dilakukannya transaksi peralihan hak atas tanah salah satunya dengan jual beli. Namun PPAT bukan satu-satunya pejabat umum. Notaris juga merupakan pejabat umum yang keduanya memiliki kewenangan yang sama yaitu membuat akta otentik terkait dengan pertanahan. Disamping itu seringnya kelalaian yang dilakukan PPAT dalam pembuatan akta menjadikan akta terdegradasi. Berdasarkan uraian diatas maka dirumuskan masalah sentral prinsip kepastian hukum pelaksanaan tugas dan wewenang PPAT dalam peralihan hak atas tanah dengan jual beli. Rumusan masalah sentral tersebut kemudian dibagi menjadi 2 (dua) sub rumusan masalah yaitu: pertama, pembuatan akta peralihan hak atas tanah yang dilakukan oleh PPAT yang dibuat tidak sesuai dengan prosedur pembuatan akta, kedua prinsip kepastian hukum pelaksanaan tugas dan wewenang PPAT. Adapun tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk mengetahui dan memahami peralihan hak atas tanah oleh PPAT terhadap akta yang dibuat tidak sesuai prosedur pembuatan akta. Serta untuk mengetahui dan memahami prinsip kepastian hukum pelaksanaan tugas dan wewenang PPAT. Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah yuridis normatif. Dengan menggunakan pendekatan undang-undang (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Dari penelitian tersebut dapat diambil kesimpulan: prosedur pembuatan akta harus diperhatikan dan ditaati oleh PPAT berdasarkan ketentuan peraturan perundang undangan yang berlaku seperti Peraturan Pendaftaran Tanah dan Peraturan Jabatan PPAT dan peraturan perundangan lainnya yang bersangkutan agar akta tersebut menjadi akta otentik dan dapat menjamin kepastian hukum, ketertiban hukum dan perlindungan hukum bagi semua pihak. Jika pembuatan akta tidak sesuai dengan prosedur dapat mengakibatkan akta tersebut batal demi hukum dan akan mengakibatkan akta jual beli tersebut dapat terdegradasi kekuatan pembuktiannya menjadi akta di bawah tangan karena tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh undang-undang dan atau peraturan-peraturan lain, dan kepastian hukun pelaksanaan tugas dan wewenang PPAT berbenturan dengan Notaris, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang keduanya merupakan pejabat umum yang diberikan kewenangan membuat akta otentik tertentu. Yang membedakan adalah landasan hukum berpijak yang mengatur keduanya. PPAT adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 dan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006, sedangkan Notaris adalah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004. Namun dalam ketentuan Pasal 15 Ayat (1) huruf f Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 semakin mengukuhkan apa yang sudah menjadi kewenangan Notaris dalam membuat akta-akta mengenai pertanahan yang bukan akta-akta yang dibuat oleh PPAT, khususnya akta perjanjian jual beli tanah. Sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 15 Ayat (1) yang menyatakan bahwa Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan. Semuanya itu sepanjang pembuatan akta itu tidak ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang. Penjelasan pasal ini dinyatakan cukup jelas bahwa masih ada pejabat umum lain yang juga membuat akta otentik yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dalam hal ini pejabat umum lain yang dimaksud adalah PPAT. Hal ini tentu menimbulkan ketidakpastian bagi masyarakat tentang otensitas dari akta peralihan hak atas tanah yang dibuatnya. Saran dari penulis dalam skripsi ini adalah PPAT dalam menjalankan tugasnya melakukan pembuatan akta jual beli hendaknya memiliki prinsip kehatihatian dalam pembuatan akta PPAT. Hal tersebut diperlukan agar akta yang dibuat oleh PPAT tidak menjadi cacat hukum dan merugikan masyarakat. Serta ketidakjelasan dari ruang lingkup dalam ketentuan Pasal 15 Ayat (2) huruf f Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 beserta dalam penjesannya yang hanya dikatakan cukup jelas sehingga tidak mengadakan perubahan pada ketentuan hukum yang berlaku bagi kewenangan para notaris untuk membuat akta-akta pertanahan. Pada akhirnya ketentuan Pasal 15 Ayat (2) huruf f Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004, harus diberi batasan bahwa Notaris mempunyai kewenangan di bidang pertanahan, yang bukan sepanjang kewenangan yang selama ini telah menjadi tugas dan wewenang PPAT.en_US
dc.language.isoiden_US
dc.subjectHukum pertanahanen_US
dc.subjectPeralihan hak tanahen_US
dc.subjectPejabat Pembuat Akta Tanahen_US
dc.titlePrinsip Kepastian Hukum Pelaksanaan Tugas Dan Wewenang Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam Peralihan Hak Atas Tanah dengan Jual Belien_US
dc.typeUndergraduat Thesisen_US


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record