dc.description.abstract | Penguasaan hak milik atas tanah secara individu ataupun kelompok
diamini oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
menjadikan manusia selalu berupaya semaksimal mungkin untuk memiliki dan
menguasai tanah demi memenuhi kebutuhan hidupnya dan kesejahteraanya. Cara
yang paling sering ditempuh guna mendapatkan hak milik atas tanah adalah
dengan peralihan hak atas tanah salah satunya melalui jual beli. Selanjutnya PPAT
sebagai pejabat umum yang diberi kewenangan oleh perundang-undangan untuk
membuat alat bukti mengenai perbuatan hukum terkait hak atas tanah, yang
kemudian alat bukti dimaksud selanjutnya akan dijadikan sebagai dasar telah
dilakukannya transaksi peralihan hak atas tanah salah satunya dengan jual beli.
Namun PPAT bukan satu-satunya pejabat umum. Notaris juga merupakan pejabat
umum yang keduanya memiliki kewenangan yang sama yaitu membuat akta
otentik terkait dengan pertanahan. Disamping itu seringnya kelalaian yang
dilakukan PPAT dalam pembuatan akta menjadikan akta terdegradasi.
Berdasarkan uraian diatas maka dirumuskan masalah sentral prinsip kepastian
hukum pelaksanaan tugas dan wewenang PPAT dalam peralihan hak atas tanah
dengan jual beli. Rumusan masalah sentral tersebut kemudian dibagi menjadi 2
(dua) sub rumusan masalah yaitu: pertama, pembuatan akta peralihan hak atas
tanah yang dilakukan oleh PPAT yang dibuat tidak sesuai dengan prosedur
pembuatan akta, kedua prinsip kepastian hukum pelaksanaan tugas dan wewenang
PPAT.
Adapun tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk mengetahui dan
memahami peralihan hak atas tanah oleh PPAT terhadap akta yang dibuat tidak
sesuai prosedur pembuatan akta. Serta untuk mengetahui dan memahami prinsip
kepastian hukum pelaksanaan tugas dan wewenang PPAT. Metode penelitian
yang digunakan dalam skripsi ini adalah yuridis normatif. Dengan menggunakan
pendekatan undang-undang (statute approach) dan pendekatan konseptual
(conceptual approach). Bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer
dan bahan hukum sekunder.
Dari penelitian tersebut dapat diambil kesimpulan: prosedur pembuatan
akta harus diperhatikan dan ditaati oleh PPAT berdasarkan ketentuan peraturan
perundang undangan yang berlaku seperti Peraturan Pendaftaran Tanah dan
Peraturan Jabatan PPAT dan peraturan perundangan lainnya yang bersangkutan
agar akta tersebut menjadi akta otentik dan dapat menjamin kepastian hukum,
ketertiban hukum dan perlindungan hukum bagi semua pihak. Jika pembuatan
akta tidak sesuai dengan prosedur dapat mengakibatkan akta tersebut batal demi
hukum dan akan mengakibatkan akta jual beli tersebut dapat terdegradasi
kekuatan pembuktiannya menjadi akta di bawah tangan karena tidak memenuhi
persyaratan yang ditentukan oleh undang-undang dan atau peraturan-peraturan
lain, dan kepastian hukun pelaksanaan tugas dan wewenang PPAT berbenturan
dengan Notaris, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang keduanya
merupakan pejabat umum yang diberikan kewenangan membuat akta otentik
tertentu. Yang membedakan adalah landasan hukum berpijak yang mengatur
keduanya. PPAT adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998
dan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006,
sedangkan Notaris adalah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004. Namun dalam
ketentuan Pasal 15 Ayat (1) huruf f Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004
semakin mengukuhkan apa yang sudah menjadi kewenangan Notaris dalam
membuat akta-akta mengenai pertanahan yang bukan akta-akta yang dibuat oleh
PPAT, khususnya akta perjanjian jual beli tanah. Sebagaimana yang dimaksud
dalam Pasal 15 Ayat (1) yang menyatakan bahwa Notaris berwenang membuat
akta otentik mengenai semua perbuatan perjanjian dan ketetapan yang diharuskan
oleh peraturan perundang-undangan. Semuanya itu sepanjang pembuatan akta itu
tidak ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang
ditetapkan oleh undang-undang. Penjelasan pasal ini dinyatakan cukup jelas
bahwa masih ada pejabat umum lain yang juga membuat akta otentik yang
diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dalam hal ini pejabat umum lain
yang dimaksud adalah PPAT. Hal ini tentu menimbulkan ketidakpastian bagi
masyarakat tentang otensitas dari akta peralihan hak atas tanah yang dibuatnya.
Saran dari penulis dalam skripsi ini adalah PPAT dalam menjalankan
tugasnya melakukan pembuatan akta jual beli hendaknya memiliki prinsip kehatihatian dalam pembuatan akta PPAT. Hal tersebut diperlukan agar akta yang
dibuat oleh PPAT tidak menjadi cacat hukum dan merugikan masyarakat. Serta
ketidakjelasan dari ruang lingkup dalam ketentuan Pasal 15 Ayat (2) huruf f
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 beserta dalam penjesannya yang hanya
dikatakan cukup jelas sehingga tidak mengadakan perubahan pada ketentuan
hukum yang berlaku bagi kewenangan para notaris untuk membuat akta-akta
pertanahan. Pada akhirnya ketentuan Pasal 15 Ayat (2) huruf f Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2004, harus diberi batasan bahwa Notaris mempunyai
kewenangan di bidang pertanahan, yang bukan sepanjang kewenangan yang
selama ini telah menjadi tugas dan wewenang PPAT. | en_US |