Show simple item record

dc.contributor.advisorANGGONO, Bayu Dwi
dc.contributor.advisorINDRAYATI, Rosita
dc.contributor.authorFIRDAUS, Fahmi Ramadhan
dc.date.accessioned2019-08-23T03:27:19Z
dc.date.available2019-08-23T03:27:19Z
dc.date.issued2019-08-23
dc.identifier.nimNIM150710101012
dc.identifier.urihttp://repository.unej.ac.id/handle/123456789/92149
dc.description.abstractHak angket adalah hak melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan berdasarkan pasal 79 ayat (3) Undang-Undang No. 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD. Menurut penjelasan pasal tersebut subjek yang dapat diangket antara lain Presiden, Wakil Presiden, menteri, jaksa agung, Kapolri dan lembaga pemerintah non kementerian. Namun pada Pada 30 Mei 2017, dalam rapat paripurna DPR secara resmi mengetuk palu pengesahan pembentukan Panitia Khusus Hak Angket Komisi Pemberantasan Korupsi (Pansus Hak Angket KPK). Hak angket digulirkan agar KPK membuka rekaman pemeriksaan Miryam S. Haryani, anggota DPR yang saat ini jadi terpidana karena telah memberikan kesaksian palsu di persidangan dalam kasus korupsi E-KTP yang melibatkan beberapa anggota DPR. Pelaksanaan hak angket ini dinilai mengandung cacat prosedur dimana tidak sesuai mekanisme mulai dari pembentukan, pelaksanaan sampai pengambilan keputusan yang diatur dalam Undang-Undang MD3. Selain itu ada cacat substansi dimana KPK pada pasal 3 Undang-Undang KPK, merupakan lembaga negara independen dan bebas dari intervensi kekuasaan manapun. Sehingga tidak masuk kedalam rumpun eksekutif yang dapat diangket. Karena polemik yang timbul terhadap hak angket tersebut beberapa pihak mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Melalui putusan Mahkamah Konstitusi No.36/PUU-XV/2017, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa KPK merupakan lembaga eksekutif sehingga dapat dijadikan objek angket DPR. Namun putusan ini dinilai tidak konsisten karena sebelumnya Mahkamah Konstitusi sudah menerbitkan putusan yang menyinggung kedudukan KPK, dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006, 19/PUU-V/2007, 37-39/PUU-VIII/2010, dan Nomor 5/PUU-IX/2011 secara jelas menyebutkan kedudukan KPK sebagai lembaga negara independen yang bebas dari intervensi kekuasaan lain dalam menjalankan fungsi dan kewenangannya untuk memberantas korupsi. Sehingga putusan tersebut berimplikasi kepada lembaga negara independen lain yang berarti lembaga independen seperti Komnas HAM, KPPU, KPU dan KPI bisa dijadikan objek angket oleh DPR. Terdapat 2 (dua) rumusan masalah yang diangkat dalam skripsi ini, yang pertama bagaimana keabsahan hak angket yang digulirkan oleh DPR kepada KPK dan analisa konsistensi kedudukan KPK putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-XV/2017 terhadap putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012-016- 019/PUU-IV/2006, 19/PUU-V/2007, 37-39/PUU-VIII/2010, dan Nomor 5/PUUIX/2011.Adapun tujuan penulisan skripsi ini terdiri dari tujuan, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum skripsi ini ditulis untuk tanggung jawab pemenuhan pokok akademis guna meraih gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jember dan menjadi khasanah keilmuan yang lebih luas untuk mengembangkan cakrawala pemikiran masyarakat luas pada umumnya yang tertarik pada isu-isu ketatanegaraan. Sedangkan tujuan khususnya adalah untuk mengkaji keabsahan hak angket DPR terhadap KPK dan konsistensi putusan Mahkamah Konstitusi No.36/PUU-XV/2017 terhadap putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006, 19/PUU-V/2007, 37-39/PUUVIII/2010, dan Nomor 5/PUU-IX/2011 terkait kedudukan KPK. Tipe penelitian yang digunakan dalam skripsi adalah penelitian yuridis normatif (legal approach). Penulis menggunakan pendekatan Pendekatan Perundang-Undangan (statute approach) dan Pendekatan Konseptual (conseptual approach) serta Pendekatan Sejarah (historical approach). Hasil dari skripsi ini yang pertama untuk menegaskan bahwa hak angket DPR dalam pengajuan sampai pengambilan keputusannya harus sesuai dengan Undang-Undang MD3 mengingat Hak Angket DPR terhadap KPK terdapat cacat materiil dan formil sehingga dapat dikatakan batal demi hukum. Selain itu mengkaji konsistensi beberapa putusan Mahkamah Konstitusi yang berkaitan dengan kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam struktur ketatanegaraan Indonesia. Putusan Mahkamah Konstitusi No.36/PUU-XV/2017 menyatakan KPK merupakan lembaga eksekutif, hal ini bertentangan dengan putusan 012-016-019/PUU-IV/2006, 19/PUU-V/2007, 37- 39/PUU-VIII/2010, dan Nomor 5/PUU-IX/2011 yang menyebutkan KPK adalah lembaga negara independen. Kesimpulan dari skripsi ini antara lain, hak angket KPK dinilai tidak sesuai dengan penjelasan pasal 79 ayat (3) Undang-Undang MD3, karena KPK tidak termasuk kedalam lembaga yang menjadi subjek angket sesuai penjelasan. Hak Angket DPR terhadap KPK dinilai cacat secara formil dan materil, karena panitia tidak menjalankan pansus angket sesuai mekanisme ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Dalam segi materiil, KPK mempunyai kedudukan independen dalam perkembangan teori ketatanegaraan modern dan menjalani fungsi yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman namun bukan pelaku kekuasaan kehakiman, sehingga hak angket ini salah sasaran dan melanggar prinsip independensi KPK. Kemudian inkonsistensi Putusan Mahkamah Konstitusi No.36/PUU-XV/2017 menyebutkan KPK masuk kedalam cabang kekuasaan eksekutif, hal ini bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No.012-016-019/PUUIV/2006, 19/PUU-V/2007, 37-39/PUU-VIII/2010, dan No.5/PUU-IX/2011 yang menyatakan bahwa kedudukan KPK sebagai lembaga negara independen. Putusan tersebut berimplikasi pada lembaga negara independen lain yang kemungkinan akan dapat dijadikan objek angket kedepannya. Saran yang dihasilkan dari skripsi ini, mendorong DPR agar lebih berhatihari dalam menggunakan hak angketnya sebagai mekanisme pengawasan agar sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kemudian mendorong Mahkamah Konstitusi agar taat asas, mengingat sifat putusannya yang final dan binding. Sehingga Mahkamah Konstitusi sesungguhnya harus konsisten terhadap isi putusan yang sebelumnya pernah diputuskan.en_US
dc.language.isoiden_US
dc.relation.ispartofseries150710101012;
dc.subjectHak angketen_US
dc.subjecthak melakukan penyelidikanen_US
dc.subjectkehidupan bermasyarakat,en_US
dc.subjectberbangsaen_US
dc.subjectbernegaraen_US
dc.titleKeabsahan Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi Dalam Perkara Korupsi E-Ktp Validity of the Inquiry Rights of the House of Representatives of the Republic of Indonesia to the Corruption Eradication Commission in the Electronic Identity Card Corruption Caseen_US
dc.typeUndergraduat Thesisen_US


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record