dc.description.abstract | Hak angket adalah hak melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan
undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting,
strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
berdasarkan pasal 79 ayat (3) Undang-Undang No. 17 Tahun 2014 Tentang MPR,
DPR, DPD dan DPRD. Menurut penjelasan pasal tersebut subjek yang dapat
diangket antara lain Presiden, Wakil Presiden, menteri, jaksa agung, Kapolri dan
lembaga pemerintah non kementerian. Namun pada Pada 30 Mei 2017, dalam
rapat paripurna DPR secara resmi mengetuk palu pengesahan pembentukan
Panitia Khusus Hak Angket Komisi Pemberantasan Korupsi (Pansus Hak Angket
KPK). Hak angket digulirkan agar KPK membuka rekaman pemeriksaan Miryam
S. Haryani, anggota DPR yang saat ini jadi terpidana karena telah memberikan
kesaksian palsu di persidangan dalam kasus korupsi E-KTP yang melibatkan
beberapa anggota DPR. Pelaksanaan hak angket ini dinilai mengandung cacat
prosedur dimana tidak sesuai mekanisme mulai dari pembentukan, pelaksanaan
sampai pengambilan keputusan yang diatur dalam Undang-Undang MD3. Selain
itu ada cacat substansi dimana KPK pada pasal 3 Undang-Undang KPK,
merupakan lembaga negara independen dan bebas dari intervensi kekuasaan
manapun. Sehingga tidak masuk kedalam rumpun eksekutif yang dapat diangket.
Karena polemik yang timbul terhadap hak angket tersebut beberapa pihak
mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Melalui putusan
Mahkamah Konstitusi No.36/PUU-XV/2017, Mahkamah Konstitusi berpendapat
bahwa KPK merupakan lembaga eksekutif sehingga dapat dijadikan objek angket
DPR. Namun putusan ini dinilai tidak konsisten karena sebelumnya Mahkamah
Konstitusi sudah menerbitkan putusan yang menyinggung kedudukan KPK,
dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006,
19/PUU-V/2007, 37-39/PUU-VIII/2010, dan Nomor 5/PUU-IX/2011 secara jelas
menyebutkan kedudukan KPK sebagai lembaga negara independen yang bebas
dari intervensi kekuasaan lain dalam menjalankan fungsi dan kewenangannya
untuk memberantas korupsi. Sehingga putusan tersebut berimplikasi kepada
lembaga negara independen lain yang berarti lembaga independen seperti Komnas
HAM, KPPU, KPU dan KPI bisa dijadikan objek angket oleh DPR.
Terdapat 2 (dua) rumusan masalah yang diangkat dalam skripsi ini, yang
pertama bagaimana keabsahan hak angket yang digulirkan oleh DPR kepada KPK
dan analisa konsistensi kedudukan KPK putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
36/PUU-XV/2017 terhadap putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012-016-
019/PUU-IV/2006, 19/PUU-V/2007, 37-39/PUU-VIII/2010, dan Nomor 5/PUUIX/2011.Adapun tujuan penulisan skripsi ini terdiri dari tujuan, yaitu tujuan umum
dan tujuan khusus. Tujuan umum skripsi ini ditulis untuk tanggung jawab
pemenuhan pokok akademis guna meraih gelar Sarjana Hukum pada Fakultas
Hukum Universitas Jember dan menjadi khasanah keilmuan yang lebih luas untuk
mengembangkan cakrawala pemikiran masyarakat luas pada umumnya yang
tertarik pada isu-isu ketatanegaraan. Sedangkan tujuan khususnya adalah untuk
mengkaji keabsahan hak angket DPR terhadap KPK dan konsistensi putusan
Mahkamah Konstitusi No.36/PUU-XV/2017 terhadap putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006, 19/PUU-V/2007, 37-39/PUUVIII/2010, dan Nomor 5/PUU-IX/2011 terkait kedudukan KPK.
Tipe penelitian yang digunakan dalam skripsi adalah penelitian yuridis
normatif (legal approach). Penulis menggunakan pendekatan Pendekatan
Perundang-Undangan (statute approach) dan Pendekatan Konseptual (conseptual
approach) serta Pendekatan Sejarah (historical approach). Hasil dari skripsi ini
yang pertama untuk menegaskan bahwa hak angket DPR dalam pengajuan sampai
pengambilan keputusannya harus sesuai dengan Undang-Undang MD3 mengingat
Hak Angket DPR terhadap KPK terdapat cacat materiil dan formil sehingga dapat
dikatakan batal demi hukum. Selain itu mengkaji konsistensi beberapa putusan
Mahkamah Konstitusi yang berkaitan dengan kedudukan Komisi Pemberantasan
Korupsi dalam struktur ketatanegaraan Indonesia. Putusan Mahkamah Konstitusi
No.36/PUU-XV/2017 menyatakan KPK merupakan lembaga eksekutif, hal ini
bertentangan dengan putusan 012-016-019/PUU-IV/2006, 19/PUU-V/2007, 37-
39/PUU-VIII/2010, dan Nomor 5/PUU-IX/2011 yang menyebutkan KPK adalah
lembaga negara independen.
Kesimpulan dari skripsi ini antara lain, hak angket KPK dinilai tidak
sesuai dengan penjelasan pasal 79 ayat (3) Undang-Undang MD3, karena KPK
tidak termasuk kedalam lembaga yang menjadi subjek angket sesuai penjelasan.
Hak Angket DPR terhadap KPK dinilai cacat secara formil dan materil, karena
panitia tidak menjalankan pansus angket sesuai mekanisme ketentuan dalam
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD.
Dalam segi materiil, KPK mempunyai kedudukan independen dalam
perkembangan teori ketatanegaraan modern dan menjalani fungsi yang berkaitan
dengan kekuasaan kehakiman namun bukan pelaku kekuasaan kehakiman,
sehingga hak angket ini salah sasaran dan melanggar prinsip independensi KPK.
Kemudian inkonsistensi Putusan Mahkamah Konstitusi No.36/PUU-XV/2017
menyebutkan KPK masuk kedalam cabang kekuasaan eksekutif, hal ini
bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No.012-016-019/PUUIV/2006, 19/PUU-V/2007, 37-39/PUU-VIII/2010, dan No.5/PUU-IX/2011 yang
menyatakan bahwa kedudukan KPK sebagai lembaga negara independen. Putusan
tersebut berimplikasi pada lembaga negara independen lain yang kemungkinan
akan dapat dijadikan objek angket kedepannya.
Saran yang dihasilkan dari skripsi ini, mendorong DPR agar lebih berhatihari dalam menggunakan hak angketnya sebagai mekanisme pengawasan agar
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kemudian
mendorong Mahkamah Konstitusi agar taat asas, mengingat sifat putusannya yang
final dan binding. Sehingga Mahkamah Konstitusi sesungguhnya harus konsisten
terhadap isi putusan yang sebelumnya pernah diputuskan. | en_US |