dc.description.abstract | Kekerasan dalam rumah tangga merupakan tindak pidana yang terjadi dalam lingkup rumah tangga. KDRT terjadi karena tidak adanya keseteraan pada rumah tangga dan menyebabkan adanya perilaku dominan oleh pasangan baik laki-laki maupun perempuan yang berusaha mengambil alih kontrol dalam rumah tangga. KDRT dapat menimbulkan luka maupun trauma mendalam bagi korbannya. Kekerasan dalam rumah tangga pada dasarnya merupakan kekerasan berbasis gender (gender basic violence), yaitu kekerasan yang diakibatkan adanya konstruksi dan relasi gender yang timpang antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat patriarki. Kekerasan dalam rumah tangga terdapat pada Pasal 5 sampai Pasal 9 UU PKDRT. Tindak pidana KDRT terdiri dari kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan penelantaran rumah tangga. Dalam kaitannya dengan kekerasan dalam rumah tangga, penulis melakukan kajian pada Putusan Pengadilan Negeri Mojokerto Nomor 399/Pid.Sus/2017/PN.Mjk. Permasalahan dalam skripsi ini meliputi 2 (dua) hal, yaitu: apakah strategi penuntut umum dalam menggabungkan perkara dalam Putusan Nomor 399/Pid.Sus/2017/PN.Mjk sudah sesuai dengan Pasal 142 KUHAP dan apakah pertimbangan hakim menyatakan terdakwa 1 terbukti melakukan tindak pidana dalam Pasal 351 ayat (1) jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP sudah sesuai dengan fakta persidangan. Tujuan penelitian skripsi ini, yaitu: untuk menganalisis kesesuaian strategi penuntut umum dalam menggabungkan perkara dalam Putusan Nomor 399/Pid.Sus/2017/PN.Mjk dengan Pasal 142 KUHAP dan untuk menganalisis kesesuaian pertimbangan hakim menyatakan para terdakwa terbukti melakukan tindak pidana dalam Pasal 351 ayat (1) jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dengan fakta persidangan. Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini menggunakan penelitian yuridis normatif dengan pendekatan undang-undang (statute approach). Bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Berdasarkan hasil analisis diperoleh kesimpulan, yaitu: pertama, strategi Penuntut Umum dalam menggabungkan perkara dalam Putusan Nomor
399/Pid.Sus/2017/PN.Mjk sesuai dengan Pasal 142 KUHAP. Hal ini dikarenakan
telah terdapat minimal alat bukti yang digunakan dalam pembuktian tindak pidana
kekerasan terhadap saksi korban, yaitu: alat bukti keterangan saksi, surat, dan
keterangan terdakwa sehingga penuntut umum tidak memerlukan pemecahan
berkas perkara.
Kedua, Pertimbangan hakim menyatakan terdakwa 1 terbukti melakukan
tindak pidana dalam Pasal 351 ayat (1) jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP tidak
sesuai dengan fakta persidangan, dikarenakan dalam pertimbangannya hakim
tidak memperhatikan kedudukan terdakwa 1 yang terkualifikasi dalam ketentuan
UU PKDRT (lex specialis). Selain itu, dalam pertimbangannya hakim tidak
menguraikan mengenai pembuat pelaksana dan pembuat peserta dalam perbuatan
penyertaan dan tidak menguraikan bagaimana kesepakatan yang diinsyafi jauh
sebelum tindak pidana dilakukan atau bahkan saat tindak pidana yang dilakukan
oleh para terdakwa.
Saran yang diberikan, yaitu: pertama Penuntut Umum dalam membuat
surat dakwaan perlu menelaah wujud penyertaan yang dilakukan oleh dua orang
terdakwa atau lebih terutama pada kasus yang berkaitan dengan tindak pidana
kekerasan dalam rumah tangga dan tindak pidana umum karena berkaitan dengan
penggabungan dan pemisahan perkara. Kedua, hakim seharusnya menguraikan
kedudukan para terdakwa apakah termasuk dalam lingkup rumah tangga atau
tidak dan perlu menguraikan wujud pembuat pelaksana dan pembuat peserta
dalam tindak pidana penyertaan. | en_US |