dc.description.abstract | Proses pengolahan makanan saat ini tidak hanya memberikan rasa
tetapi menampilkan bentuk yang menarik. Produsen meningkatkan daya tarik
konsumen dengan menambahkan bahan tambahan pangan dalam proses
pengolahannya. Pada proses pengolahan makanan dan minuman sering
ditambah dengan bahan pewarna. Terdapat dua bahan pewarna yaitu bahan
pewarna alami dan pewarna buatan (sintesis). Zat warna alami mempunyai
beberapa kekurangan apabila dibandingkan dengan zat warna buatan yaitu
cenderung bersifat tidak stabil dan harga produksi yang mahal serta memiliki
life time singkat.
Rhodamin B dan kuning metanil termasuk dalam bahan warna
tambahan yang dilarang penggunaannya dalam produksi pangan karena
berbahaya sesuai dengan Keputusan Direktur Jenderal POM Depkes RI
Nomor: 00386/C/SK/II/90 tentang Perubahan Lampiran Permenkes RI No.
239/Men.Kes//Per/V/85. Menurut Hastomo (2008) bahwa rhodamin B akan
terakumulasi dan bersifat racun di dalam tubuh manusia dalam jangka panjang
menyebabkan penyakit seperti tumor dan kanker di organ tubuh manusia.
Beberapa penelitian membuktikan bahwa rhodamin B berbahaya apabila
digunakan untuk memproduksi makanan. Hal ini dibuktikan dengan hasil
suatu penelitian yang memperlihatkan terjadinya perubahan bentuk dan
organisasi sel di dalam jaringan hati dari normal menjadi patologis dari uji
toksisitas oleh Siswati dan Slamet (2000).
Rhodamin B merupakan bahan pewarna buatan berbentuk serbuk kristal
berwarna kehijauan, jika dilarutkan pada konsentrasi tinggi menjadi berwarna
merah keunguan dan berwarna merah terang pada konsentrasi rendah (Trestiati,
2003). Dalam produksi kertas, pewarna untuk tekstil dan sebagai reagensia Rhodamin B sering digunakan (Anonim, 2007). Dari struktur kimia rhodamin B
termasuk golongan xanthene (Gambar 2.1). Hasil penelitian uji toksisitas
menunjukkan bahwa rhodamin B memiliki LD
50
lebih dari 2000 mg/kg (Tabel
2.4) (Otterstätter, 1999).
Telah dilakukan penelitian dan metode guna mengetahui adanya bahan
pewarna rhodamin B dalam produk makanan. Penelitian yang dilakukan
menggunakan metode Kromatografi Lapis Tipis oleh Wirasto (2008) dan
Hastomo (2008) dan voltametri oleh Susilo (2010). Prinsip dari metode KLT
yaitu pemisahanan pewarna makanan sintetik yang ada di produksi makanan.
Menurut Wirasto (2008) bahwa selain metode Kromatografi Lapis Tipis ada
beberapa metode pemisahan yang lain, yaitu kromatografi cair kinerja tinggi
(KCKT), kromatografi kertas dan juga elektroforesis kapiler. Akan tetapi
dalam praktiknya metode tersebut cukup rumit untuk dilakukan oleh
masyarakat sehingga membutuhkan sebuah sensor kimia yang selektif dan
spesifik untuk mengetahui kandungan rhodamin B dalam produk makanan
atau minuman.
Dalam penelitian ini dikembangkan sensor kimia untuk analisis rhodamin
B dalam sampel saus tomat dengan menggunakan reagen Zn(CNS)
2
. Pada sensor
kimia ini, linieritas yang didapat meliputi rentang konsentrasi 200 ppm – 1000
ppm dengan persamaan regresi yang diperoleh adalah y = 9,569 + 0,062 x dan
nilai koefisien korelasi atau r = 0,999. Sensor kimia ini tidak akan terganggu
dengan adanya komponen pengganggu berupa Natrium Benzoat sebagai bahan
pengawet dengan perbandingan kadar standar rhodamin B dan Natrium Benzoat
sebesar 1:1, 1;10 maupun 1:100. Nilai Batas Deteksi (LOD) yang diperoleh adalah
7,768 ppm sedangkan nilai Batas Kuantitasi (LOQ) adalah 23,304 ppm. Pada
perhitungan presisi diperoleh nilai RSD = 0,407%. Untuk penentuan akurasi
dengan metode sensor kimia diperoleh % recovery rata-rata sebesar 100,092%.
Berdasarkan hasil aplikasi sampel, metode sensor kimia sebagai sensor
rhodamin B dapat digunakan namun di dalam sampel saus tomat tidak terdapat
rhodamin B. Kemungkinan menggunakan pewarna makanan lainnya. | en_US |