Makna Causa Yang Halal Dalam Pembiayaan Mudharabah Di Bank Syariah
Abstract
Pada perjanjian syariah, sebab yang halal dikenal dengan istilah tujuan
kontrak/maudhu‟ul „aqd yang berarti untuk apa suatu kontrak dilakukan (almaqsbad
al asbli alladzi syariah al „aqd min ajlib) oleh seseorang dengan orang
lain dalam rangka melaksanakan suatu muamalah antara manusia, dan yang
menentukan akibat hukum dari suatu kontrak adalah al mysyarri‟ (yang
menetapkan syariat) yakni Allah sendiri. Baik dalam syarat sebab yang halal dalam
perjanjian konvensional maupun tujuan kontrak dalam perjanjian syariah, keduanya
sama-sama memberikan penekanan penting mengenai yang dimaksud dengan isi
dari syarat tersebut yakni membahas tentang tujuan adanya suatu perjanjian.
Rumusan masalah yang akan dibahas adalah : (1) perbedaan makna causa yang
halal dalam KUH perdata dan dalam hukum Islam pada pembiayaan mudharabah;
dan (2) akibat hukum jika objek pembiayaan mudharabah tidak memenuhi kriteria
causa yang halal. Metode penelitian dalam penulisan skripsi ini menggunakan tipe
penelitian yuridis normatif, dengan pendekatan konseptual dan studi kasus. Bahan
hukum terdiri dari bahan hukum primer, sekunder dan bahan non hukum. Analisa
bahan penelitian dalam skripsi ini menggunakan analisis normatif kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa, Pertama Makna
causa yang halal di dalam perjanjian konvensional dan dalam hukum Islam
memiliki sebuah perbedaan baik di dalam penyebutan yaitu tujuan akad (maudhu
al-„aqd) dalam perjanjian syariah dan sebab yang halal dalam perjanjian
konvensional. Sebab yang halal dalam perjanjian konvensional diatur dalam pasal
1320 KUH Perdata, dan tujuan akad diatur dalam pasal 22 Kompilasi Hukum
Ekonomi Syariah. Pada perjanjian konvensional, segala sesuatunyaa diatur oleh
undang-undang yang paling utama baru kemudian adat yaitu norma kesusilaan dan
ketertiban umum. Dan pada perjanjian syariah, segala aturan dalam perjanjiannya
maupun tingkah laku dari umat Islam harus berdasarkan syariah Islam (hukum yang
ditetapkan Allah), baik itu berupa Al-Qur’an dan hadist, serta kaidah-kaidah fiqih.
Dari segi akibat hukum pada perjanjian konvensional apabila sebab yang halal
dilanggat maka perjanjian yang dibuat akan batal demi hukum yang berarti tanpa
diminta pembatalannya, dianggap tidak pernah ada. Sedangkan dalam perjanjian
syariah, akibat hukum dari kontrak (akad) adalah al mysyarri‟ (yang menetapkan
syariat) yakni allah sendiri, dan segala sesuatu dari tindakan manusia pasti ada
pertanggung jawabannya. Kedua, Produk bank syariah salah satunya adalah
pembiayaan mudharabah,objek dari pembiayaan mudharabah adalah modal dan
tenaga kerja. Syarat-syarat objek mudharabah agar menjadi halal haruslah
memenuhi unsur causa yang halal agar menjadi objek yang sah. Dalam pembiayaan
mudharabah objek harus lah terhindar dari unsur riba, gharar, dan maisir.
Mudharabah yang sah adalah memberikan hak kepada semua pihak atas bagian
dari keuntungan bisnis. Jika kontrak mudharabah gagal memenuhi tuntutantuntutan
legal, ia akan diperlakukan sebagai tidak sah atau cacat, bergantung pada
sifat pelanggarannya.Syariat Islam sangat melarang keras produk-produk dalam
bank syariah mengandung unsur yang di larang oleh syariat Islam. Apabila suatu
kontrak terutama dalam pembiayaan mudharabah melanggar syariat islam terutama dalam tujuan akadnya mengandung unsur riba, gharar,danmaisir maka akibat
hukum dari kontrak kontrak tersebut adalah batal.
Bertitik tolak kepada permasalahan yang ada dan dikaitkan dengan
kesimpulan di atas, dapat saya berikan beberapa saran, bahwa, Pihak bank syariah
dan juga nasabah seharusnya lebih memahami tentang arti dari sebuah syarat sah
perjanjian baik di dalam perjanjian syariah dan juga perjanjian konvensional. Pihak
nasabah dan juga pihak bank di dalam melakukan hak dan kewajibannya haruslah
mengetahui tentang tujuan tentang perjanjian tersebut, jangan hanya mencari
keuntungan semata. Dan juga jangan dengan mengandalkan asas kebebasan
berkontrak dapat membuat kontrak dengan bebas, Akan tetapi lihat kemana
perjanjian tersebut akan di bawa apakah memenuhi unsur causa yang halal atau
tidak. Dikarenakan syarat paling penting dalam sahnya suatu kontrak adalah causa
yang halal. Causa yang halal sendiri memiliki sebuah perbedaan di dalam hukum
Islam dan juga konvensional. jangan menggangap tujuan dari sebuah perjanjian
tersebut sama. Di dalam hukum Islam tujuan dari sebuah perjanjian haruslah sesuai
dengan syariat Islam.Pihak bank syariah dan juga nasabahnya di dalam melakukan
suatu kontrak / akad haruslah mengetahui objek apa saja yang menjadi persyaratan
halal dalam melakukan akad nya. Jangan hanya karena mencari keuntungan semata
pihak bank dan juga nasabah mengabaikan unsur-unsur yang membuat sahnya
suatu perjanjian menjadi batal. Pihak bank syariah harus lebih berhati-hati atau
mencermati isi dari kontrak tersebut untuk berjaga-jaga apakah ada tujuan
tersembunyi dari pembuatan kontrak tersebut. tujuan dari kontrak yang akan dibuat
haruslah terhindar dari maisir, riba ,dan juga gharar karena yang akan menghukum
apabila suatu kontrak mengandung unsur tersebut adalah Allah SWT. Kepada
pemerintah hendaknya melakukan modifikasi dalam bidang muamalah sangat
dimungkin kan asalkan sesuai dengan maqasid asy-syariah yang berisi maksud atau
tujuan dari disyariatkan hal tersebut. Guna mencapai tujuan itu, syariat Islam ada
yang bersifat dinamis dalam artian dapat berubah sesuai kebutuhan. Ketentuan
tentang muamalah khususnya yang menyangkut masalah perbankan kemungkinan
untuk diijtihadkan sesuai kebutuhan zam.
Collections
- UT-Faculty of Law [6214]