Show simple item record

dc.contributor.authorKARINA N. APRILIA SARI
dc.date.accessioned2013-12-16T03:36:09Z
dc.date.available2013-12-16T03:36:09Z
dc.date.issued2013-12-16
dc.identifier.nimNIM060710191004
dc.identifier.urihttp://repository.unej.ac.id/handle/123456789/9043
dc.description.abstractKegiatan utama bank yaitu menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya melalui kredit kepada masyarakat yang membutuhkannya. Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, ditegaskan bahwa dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip Syariah, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan. Dalam prakteknya bank sering meminta jaminan secara khusus dengan membuat perjanjian jaminan baik berupa perjanjian jaminan kebendaan maupun perjanjian perorangan. Dalam praktek apabila objek jaminan hak tanggungan diberikan oleh perorangan tetapi terikat dalam perkawinan, maka objek jaminan dapat berupa milik orang (suami/isteri) itu sendiri atau milik bersama. Untuk membuktikan pemilikan suatu tanah sebagai harta bersama sangatlah sulit. Hal ini terjadi karena tanda bukti hak atas tanah (sertipikat) ditulis atas nama satu orang, namun tidak menutup kemungkinan tanah tersebut kenyataanya dimiliki bersama oleh suami isteri. Hal ini berarti kewenangan terhadap sertifikat tersebut bukan hanya dimiliki suami atau isterinya sendirisendiri, melainkan bersama-sama, sehingga suami atau isteri ingin melakukan perbuatan hukum (contohnya menjaminkan harta bersama dalam Perjanjian Kredit) berkaitan dengan tanah tersebut memerlukan persetujuan dari isterinya atau suaminya, sepanjang tidak ada perjanjian kawin sebagaimana diatur dalam Pasal 36 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Berdasarkan hal tersebut dalam skripsi ini penulis merumuskan masalah mengenai bagaimana keabsahan penjaminan atas harta bersama didalam perjanjian kredit tanpa adanya persetujuan dari pihak suami atau istri sebagai debitur, dan apa akibat hukum dari penjaminan harta bersama didalam perjanjian kredit tanpa adanya persetujuan dari pihak suami atau istri. Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini yaitu untuk menganalisis permasalahan yang diangkat guna mengetahui dan memahami maksud dari topik penelitian. Pada penulisan skripsi ini, tipe penelitian yang digunakan yaitu penelitian hukum normatif (Yuridis Normative). Sedangkan pendekatan masalah yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Untuk bahan hukum penulis menggunakan tiga jenis bahan hukum, antara lain bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, bahan non hukum dan pada analisa bahan hukum menggunakan deskriptif normatif, yaitu suatu metode untuk memperoleh gambaran singkat mengenai permasalahan yang tidak didasarkan pada bilangan statistik melainkan didasarkan pada analisa yang diuji dengan norma-norma dan kaidah-kaidah hukum yang berkaitan dengan masalah yang akan dibahas. Adapun yang menjadi kesimpulan dalam skripsi ini adalah Perjanjian kredit dengan jaminan harta bersama harus dilakukan dan dengan persetujuan suami dan istri secara bersama-sama, dalam hal ini adalah ikut menandatangani Perjanjian Kredit sebagai tanda kesepakatan, sehingga baik suami maupun istri menjadi pihak dalam perjanjian. Hal ini berkaitan dengan status kredit dalam perkawinan dimana sebagai jaminan adalah harta bersama maka termasuk dalam hutang bersama sehingga menimbulkan tanggung jawab bersama dalam pelunasannya. Sesuai dengan fungsi Perjanjian kredit sebagai perjanjian pokok, perjanjian tersebut menentukan batal atau tidaknya perjanjian pengikatan jaminan yang merupakan perjanjian assessoir (ikutan). Oleh karena itu perjanjian yang dibuat tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagai mana ditentukan dalam Pasal 1320 ayat 1 KUHPerdata khususnya pada syarat subyektifnya maka dianggap tidak sah dan dapat dibatalkan. Selain itu, pada Perjanjian Kredit yang tidak ditandatangani oleh suami atau istri debitur, tidak akan ada kekuatan hukum bagi bank untuk melakukan penagihan kredit bila debitur wanprestasi.en_US
dc.language.isootheren_US
dc.relation.ispartofseries060710191004;
dc.subjectPERJANJIAN KREDITen_US
dc.titleTINJAUAN YURIDIS PERJANJIAN KREDIT DENGAN JAMINAN HARTA BERSAMAen_US
dc.typeOtheren_US


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record