Perkawinan Poligami Dengan Akta Cerai Palsu (Studi kasus Putusan Nomor: 0280/Pdt.G/2014/PA.Yk.)
Abstract
Aturan-aturan yang mengatur tentang Perkawinan yakni Undang-undang
Perkawinan Nasional yang sifatnya telah menampung sendi-sendi dan telah
memberikan landasan Hukum Perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan
berlaku bagi berbagai golongan Masyarakat Indonesia yang berbeda-beda.
0280/Pdt.G/2014/PA.Yk Pada tanggal 11 Mei 2011 Pemohon dan Termohon
melangsungkan Perkawinan, kemudian karena ada permasalahan dimana Pemohon
mengetahui jika Termohon memalsukan akta putusan cerai dari pengadilan agama
Jakarta Utara, Pemohon datang ke pengadilan agama Jakarta utara untuk
menanyakan kebenaran akta putusan cerai Termohon dengan isteri pertamanya
dengan mengajukan surat validasi akta cerai. Pemohon mendapatkan jawaban
balasan dari pengadilan agama Jakarta Utara, surat tersebut menerangkan bahwa
pengadilan agama Jakarta Utara tidak mengeluarkan akta cerai sebagaimana yang
diberikan oleh Termohon kepada Pemohon, dan belum ada perceraian antara
termohon dengan isteri pertamanya. Sehingga pemohon merasa telah
melangsungkan Perkawinan secara Poligami dengan Pemohon Berdasarkan Akta
Cerai yang dipalsukan oleh termohon Poligami dan Akta Cerai Palsu. Berdasarkan
latar belakang tersebut penulis tertarik untuk mengkaji lebih lanjut dalam suatu
karya ilmiah bentuk skripsi dengan judul : “Perkawinan Poligami Dengan Akta
Cerai Palsu (Studi Kasus Putusan Nomor : 0280/Pdt.G/2014/PA.Yk.).”
Penulis merumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut: pertama,
Apakah perkawinan poligami dapat di laksanakan dengan memalsukan akta cerai,
Kedua, Apa akibat hukum dari perkawinan poligami dengan akta cerai yang
dipalsukan, Ketiga Apa pertimbangan Hukum Hakim Pengadilan Agama dari
perkara putusan Nomor : 0280/Pdt.G/2014/PA.Yk. Dengan harapan dapat
memperoleh suatu tujuan yang terdiri dari tujuan umum dan tujuan khusus dalam
penulisannya. Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini meliputi tipe
penelitian hukum yang bersifat yuridis normatif, dengan menggunakan tiga
pendekatan yaitu Pendekatan Undang – Undang (Statue Approach), Pendekatan
Kasus (Case Approach), dan Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach).
Bahan hukum yang digunakan dalam penulisan skripsi ini meliputi bahan hukum
primer, bahan hukum sekunder, hingga bahan non hukum dengan menggunakan
metode pengumpulan bahan hukum dan analisa bahan hukum sebagai langkah
trakhir dalam penulisan skripsi ini.
Tinjauan pustaka dalam skripsi ini membahas mengenai yang pertama
adalah tentang perkawinan, yang terdiri dari pengertian perkawinan, syarat – syarat
dan rukun perkawinan, asas – asas dalam perkawinan. Pembahasan kedua mengenai
Tentang Akta yang terdiri dari pengertian Akta dan Macam-macam Akta.
Pembahasan ketiga mengenai Pemalsuan, yang terdiri dariPengertian Pemalsuan,
Perbuatan dan Akibat Pemalsuan. Pembahasan keempat mengenai Putusan , yang
terdiri dari Pengertian Putusan dan Macam-macam putusan Hakim.
Pembahasan dalam skripsi ini yang pertama adalah menjelaskan terkait
dengan Perkawinan Poligami Tidak dapat di laksanakan dengan menggunakan akta
cerai palsu, Meskipun Akta cerai palsu tidak di atur dalam Undang-undang Namun
dalam Pasal 3 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 ayat 2 Bahwa untuk mendapatkan izin dari pengadilan untuk melangsungkan perkawinan Poligami
harus ada persetujuan dari pihak-pihak yang bersangkutan dan dalam pasal 5
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 ayat 1 menerangkan untuk melangsungkan
perkawinan poligami harus ada Izin dari istri pertamanya. sesuai dengan Pasal 22
Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 jo pasal 71 huruf (a) Kompilasi Hukum
Islam yaitu seorang suami masih berstatus sebagai suami orang lain dan
perkawinan yang kedua tidak memenuhi syarat-syarat melaksanakan poligami
dapat dibatalkan. Oleh karena itu akta nikah pada perkawinan yang kedua antara
Pemohon dan Termohon dinyatakan tidak berkekuatan hukum. Sehingga
perkawinan Pemohon dan Termohon tidak sah. Akibat hukum yang timbul dari
perkawinan Poligami bagi suami istri yaitu perkawinan tersebut menjadi putus
sehingga hubungan suami istri di antara keduanya menjadi tidak sah karena
Perkawinan Poligami antara Pemohon dengan Termhon tidak memiliki kekuatan
Hukum dan menjadi tidak sah dan bagi para pihak yang dibatalkan perkawinannya
statusnya kembali seperti keadaan semula sebelum terjadi perkawinan karena
perkawinan tersebut dianggap tidak pernah ada.Majelis hakim dalam memutus
perkara Putus a n Nomor 0280/Pdt.G/2014/PA.Yk. tentang Perkawinan Poligami
Dengan Akta Cerai Palsu, menggunakan pertimbangan hukum akta cerai palsu dan
pasal 9 undang – undang nomor 1 tahun 1974 jo pasal 40 huruf (a) Kompilasi
Hukum Islam yaitu seorang Suami masih berstatus suami orang lain dan belum
putus perkawinannya dengan Isteri sebelumnya.
Kesimpilan Perkawinan Poligami Tidak dapat di laksanakan dengan
menggunakan akta cerai palsu, Meskipun Akta cerai palsu tidak di atur dalam
Undang-undang Namun dalam Pasal 3 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 ayat
2 Bahwa untuk mendapatkan izin dari pengadilan untuk melangsungkan
perkawinan Poligami harus ada persetujuan dari pihak-pihak yang bersangkutan
dan dalam pasal 5 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 ayat 1 menerangkan
untuk melangsungkan perkawinan poligami harus ada Izin dari istri pertamanya.
sesuai dengan Pasal 22 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 jo pasal 71 huruf
(a) Kompilasi Hukum Islam yaitu seorang suami masih berstatus sebagai
suami orang lain dan perkawinan yang kedua tidak memenuhi syarat-syarat
melaksanakan poligami dapat dibatalkan. Oleh karena itu akta nikah pada
perkawinan yang kedua antara Pemohon dan Termohon dinyatakan tidak
berkekuatan hukum. Sehingga perkawinan Pemohon dan Termohon tidak sah.
Akibat hukum yang timbul dari perkawinan Poligami bagi suami istri yaitu
perkawinan tersebut menjadi putus sehingga hubungan suami istri di antara
keduanya menjadi tidak sah karena Perkawinan Poligami antara Pemohon dengan
Termhon tidak memiliki kekuatan Hukum dan menjadi tidak sah dan bagi para
pihak yang dibatalkan perkawinannya statusnya kembali seperti keadaan semula
sebelum terjadi perkawinan karena perkawinan tersebut dianggap tidak pernah
ada.Majelis hakim dalam memutus perkara Putus a n Nomor
0280/Pdt.G/2014/PA.Yk. tentang Perkawinan Poligami Dengan Akta Cerai Palsu,
menggunakan pertimbangan hukum akta cerai palsu dan pasal 9 undang – undang
nomor 1 tahun 1974 jo pasal 40 huruf (a) Kompilasi Hukum Islam yaitu seorang
Suami masih berstatus suami orang lain dan belum putus perkawinannya dengan
Isteri sebelumnya. Saran :Kepada para calon mempelai yang akan melangsungkan perkawinan, harus benar-benar telah terpenuhi syarat-syarat dan
rukunnya. Apabila terdapat kekurangan dalam syarat dan rukunnya, maka
sebaiknya dilakukan penundaan hingga terpenuhi semua syarat dan rukun nikah,
bukan memaksakan diri untuk tetap menikah tetapi akhirnya dibatalkan. Namun
jika kekurangan itu memang tidak dapat dipenuhi atau karena memang terdapat
larangan untuk menikah maka pernikahan seyogyanya tidak dilaksanakan, serta
berusaha mengikuti peraturan perundang - undangan yang berlaku, sehingga
kejadian seperti ini tidak akan terulang kembali. Kepada Kantor Urusan Agama
(KUA) yang menangani secara langsung sebelum terjadinya suatu perkawinan
untuk lebih jeli dan selektif dalam menangani surat – surat sebagai syarat
kelengkapan bagi seorang suami dan istri untuk melangsungkan perkawinan, serta
selalu melakukan verifikasi ke Pengadilan Agama.Tugas Pengadilan Agama
adalah menerima, memeriksa, dan mengadili perkara yang diajukan padanya.
Dalam pemeriksaan suatu perkara dibutuhkan alat-alat bukti yang dijadikan bahan
pertimbangan oleh hakim untuk memutus suatu perkara serta dasar hukum yang
dipakai oleh Hakim di Pengadilan Agama dalam memutus suatu perkara juga harus
sesuai dengan perundang-undangan dan hukum Islam. Oleh karena itu, untuk
melaksanakan suatu perkawinan sebelum akad terjadi, terlebih dahulu diadakan
pemeriksaan terhadap syarat dan rukun perkawinan, baik yang ditentukan oleh
agama maupun undang-undang perkawinan. Kalau ternyata syarat dan rukun
perkawinan tersebut belum lengkap atau diketahui ada penghalang perkawinan,
maka pelaksanaan perkawinan wajib dicegah, bahkan apabila perkawinan tersebut
sudah terlaksana dapat diajukan pembatalan. Sehubungan dengan hal tersebut,
Poligami yang dilakukan tanpa adanya izin dari pihak istri pertama dan Pengadilan
Agama, maka perkawinan tersebut dapat dinyatakan batal. Pembatalan perkawinan
tentu saja akan menimbulkan akibat hukum, baik terhadap hubungan hukum antara
suami dan istri yang dibatalkan perkawinannya, keturunan, serta harta bersama
mereka.
Collections
- UT-Faculty of Law [6214]