Show simple item record

dc.contributor.advisorWIDIYANTI, Ikarini Dini
dc.contributor.authorAMALIA, Yuni
dc.date.accessioned2019-01-08T07:11:09Z
dc.date.available2019-01-08T07:11:09Z
dc.date.issued2019-01-08
dc.identifier.nim130710101107
dc.identifier.urihttp://repository.unej.ac.id/handle/123456789/89358
dc.description.abstractPada dasarnya setiap orang berhak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah sebagaimana bunyi Pasal 28 B ayat (1) Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945. Hubungan perkawinan tersebut mengandung unsur ikatan antar pihak yang melakukan perbuatan hukum. Dalam setiap perbuatan hukum yang dilakukan oleh subyek hukum tentu akan melahirkan akibat hukum seperti, perkawinan. Perkawinan yang dilakukan oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan akan menimbulkan beberapa akibat hukum salah satunya yakni lahirnya tanggung jawab pada harta kekayaan. Berdasarkan Pasal 35 UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, mengenal 2 (dua) istilah harta di dalamnya yakni harta bawaan dan harta bersama. Dikatakan sebagai harta bersama apabila suami dan isteri tidak berkehendak lain untuk menyimpangi Pasal 35 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan seperti pembuatan perjanjian perkawinan sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 29 Ayat (1) UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Apabila calon suami-isteri berkehendak untuk membuat perjanjian perkawinan, maka akan terjadi pemisahan harta didalamnya. Perjanjian perkawinan berkaitan erat dengan asas kebebasan berkontrak namun, Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ini menyimpangi ketentuan asas kebebasan berkontrak yang mana Pasal 29 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan justru mempersempit ruang gerak para pihak untuk membuat perjanjian perkawinan. Hal ini dapat dilihat dalam pengaturannya bahwa pembuatan perjanjian perkawinan hanya dapat dibuat sebelum perkawinan berlangsung dan pada saat perkawinan dilangsungkan. Selain itu, Pasal 29 tersebut akan menjadi boomerang bagi pihakpihak yang melangsungkan perkawinan campuran (WNI-WNA) yang tidak mengetahui adanya peraturan ini contohnya, Nyonya Ike Farida seorang Warga Negara Indonesia (WNI) yang telah menikah dengan seorang laki-laki berkewarganegaraan asal Jepang (WNA) tanpa membuat perjajian perkawinan terlebih dulu sehingga, status hak kepemilikan tanah dan bangunan di Indonesia terancam tidak dapat di miliki olehnya. Sebab, Pasal 21 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria menyebutkan bahwa hanya warga Negara Indonesia yang dapat memiliki Hak Milik. Artinya, kepemilikan tanah dan bangunan di Indonesia harus dimiliki oleh warga Negara Indonesia secara murni tanpa adanya unsur asing. Sehingga hal ini yang menyebabkan Nyonya Ike Farida mengajukan yudicial review kepada Mahkamah Konstitusi untuk dilakukan pengujian beberapa pasal. Selanjutnya, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan Nomor 69/PUU-XIII/2015 dengan mengubah dan memperluas makna Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bahwa perjanjian perkawinan dapat dibuat sebelum, pada saat atau setelah perkawinan sebagaimana hal ini telah sesuai dengan konsep asas kebebasan berkontrak. Namun, peneliti menilai bahwa perubahan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan justru membuka peluang sengketa baru yang akan dihadapi suami-isteri dalam pembuatan perjanjian perkawinan tersebut. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk menganalisa secara komprehensif dalam suatu karya ilmiah yang berbentuk skripsi dengan judul : Akibat Hukum Perjanjian Pisah Harta Perkawinan Yang Dibuat Setelah Berlangsungnya Perkawinan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69 Tahun 2015. Permasalahan dalam Skripsi ini terdiri dari dua, yakni bagaimana akibat hukum perjanjian pisah harta setelah berlangsungnya perkawinan sebelum dan sesudah dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi dan bagaimana upaya penyelesaian apabila terjadi sengketa terhadap perjanjian pisah harta perkawinan yang dibuat setelah berlangsungnya perkawinan pasca Putusan Mahkamah Konstitusi. Metode penelitian dalam skripsi ini menggunakan tipe penelitian yuridis-normatif dan menggunakan 2 (dua) pendekatan masalah yakni, pendekatan Undang-Undang (statute approach) dan pendekatan Konseptual (conceptual approach). Dan untuk sumber bahan hukum yang digunakan yakni bahan hukum primer, sekunder bahan non hukum dan analisis bahan hukum. Tinjauan pustaka dalam skripsi ini membahas yang pertama mengulas tentang definisi akibat hukum. Kedua, mengulas tentang perkawinan yang didalamnya berisikan historis perkawinan di Indonesia, definisi perkawinan, asas-asas dalam perkawinan, dan harta dalam perkawinan. Ketiga, mengulas tentang perjanjian perkawinan yang didalamnya berisikan istilah perjanjian dalam hukum perjanjian, dasar hukum pengaturan perjanjian perkawinan, syarat sahnya perjanjian perkawinan. Dan keempat, mengulas tentang Putusan Mahkamah Konstitusi yang berisikan tentang historis Mahkmah Konstitusi, dasar hukum, fungsi dan wewenang, serta sifat putusan Mahkamah Konstitusi yang dikutip oleh penulis dari beberapa sumber buku bacaan maupun peraturan perundang-undangan Indonesia. Berdasarkan dari hasil pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa pertama, Perjanjian perkawinan yang dibuat setelah perkawinan berlangsung sebelum lahirnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69 Tahun 2015 mempunyai akibat hukum batal demi hukum. Hal tersebut dapat diartikan bahwa perjanjian perkawinan yang dibuat setelah perkawinan dianggap tidak pernah ada dan tidak pernah dibuat karena telah melanggar ketentuan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Sedangkan, setelah lahirnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69 Tahun 2015, maka perjanjian perkawinan yang dibuat setelah perkawinan berlangsung akibat hukumnya adalah sah dan mempunyai kekuatan hukum tetap. Namun, perjanjian perkawinan yang dibuat setelah perkawinan berlangsung memiliki resiko yaitu terjadinya konflik sebab pemisahan harta pada saat pembuatan perjanjian perkawinan tidak proporsional. Persoalan pemisahan harta bersama pada saat pembuatan perjanjian pisah harta bersama dalam perkawinan yang tidak proporsional akan menimbulkan sengketa dalam bidang hukum keluarga. Persengketaan hadir karena para pihak (suami-isteri) merasa haknya telah dikurangi, maka salah satu pihak akan berjuang untuk mendapatkan harta bersama yang seharusnya menjadi haknya. Dalam menyelesaikan sengketa pada bidang keperdataan ini dapat ditempuh melalui dengan 2 (dua) cara, yakni: cara litigasi dan non-litigasi. Litigasi merupakan menggunakan cara-cara formal (pengadilan) sedangkan, non-litigasi menggunakan cara-cara informal atau penyelesaian sengketa diluar Pengadilan (APS/ADR). Pengadilan bukan satu-satunya lembaga dengan penyelesaian sengketa yang tepat melainkan justru lebih banyak menimbulkan kekecewaan bagi masyarakat. Ketidakpuasan masyarakat terhadap pengadilan sebagai lembaga yang menyelesaikan sengketa pada akhirnya melahirkan proses penyelesaian sengketa diluar pengadilanen_US
dc.language.isoiden_US
dc.subjectHukum Perkawinanen_US
dc.subjectPerjanjian Perkawinanen_US
dc.titleAkibat Hukum Perjanjian Pisah Harta Perkawinan yang Dibuat Setelah Berlangsungnya Perkawinan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69 Tahun 2015en_US
dc.typeUndergraduat Thesisen_US


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record