dc.description.abstract | Pada dasarnya setiap orang berhak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan
keturunan melalui perkawinan yang sah sebagaimana bunyi Pasal 28 B ayat (1)
Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945. Hubungan perkawinan tersebut
mengandung unsur ikatan antar pihak yang melakukan perbuatan hukum. Dalam
setiap perbuatan hukum yang dilakukan oleh subyek hukum tentu akan melahirkan
akibat hukum seperti, perkawinan. Perkawinan yang dilakukan oleh seorang laki-laki
dan seorang perempuan akan menimbulkan beberapa akibat hukum salah satunya
yakni lahirnya tanggung jawab pada harta kekayaan. Berdasarkan Pasal 35 UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, mengenal 2 (dua) istilah harta di
dalamnya yakni harta bawaan dan harta bersama. Dikatakan sebagai harta bersama
apabila suami dan isteri tidak berkehendak lain untuk menyimpangi Pasal 35 Ayat (2)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan seperti pembuatan
perjanjian perkawinan sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 29 Ayat (1) UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Apabila calon suami-isteri
berkehendak untuk membuat perjanjian perkawinan, maka akan terjadi pemisahan
harta didalamnya. Perjanjian perkawinan berkaitan erat dengan asas kebebasan
berkontrak namun, Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan ini menyimpangi ketentuan asas kebebasan berkontrak yang mana Pasal
29 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan justru
mempersempit ruang gerak para pihak untuk membuat perjanjian perkawinan. Hal ini
dapat dilihat dalam pengaturannya bahwa pembuatan perjanjian perkawinan hanya
dapat dibuat sebelum perkawinan berlangsung dan pada saat perkawinan
dilangsungkan. Selain itu, Pasal 29 tersebut akan menjadi boomerang bagi pihakpihak yang melangsungkan perkawinan campuran (WNI-WNA) yang tidak
mengetahui adanya peraturan ini contohnya, Nyonya Ike Farida seorang Warga
Negara Indonesia (WNI) yang telah menikah dengan seorang laki-laki
berkewarganegaraan asal Jepang (WNA) tanpa membuat perjajian perkawinan
terlebih dulu sehingga, status hak kepemilikan tanah dan bangunan di Indonesia
terancam tidak dapat di miliki olehnya. Sebab, Pasal 21 Ayat (1) Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria menyebutkan
bahwa hanya warga Negara Indonesia yang dapat memiliki Hak Milik. Artinya,
kepemilikan tanah dan bangunan di Indonesia harus dimiliki oleh warga Negara
Indonesia secara murni tanpa adanya unsur asing. Sehingga hal ini yang
menyebabkan Nyonya Ike Farida mengajukan yudicial review kepada Mahkamah
Konstitusi untuk dilakukan pengujian beberapa pasal. Selanjutnya, Mahkamah
Konstitusi mengeluarkan Putusan Nomor 69/PUU-XIII/2015 dengan mengubah dan
memperluas makna Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan bahwa perjanjian perkawinan dapat dibuat sebelum, pada saat atau
setelah perkawinan sebagaimana hal ini telah sesuai dengan konsep asas kebebasan
berkontrak. Namun, peneliti menilai bahwa perubahan Pasal 29 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan justru membuka peluang sengketa baru
yang akan dihadapi suami-isteri dalam pembuatan perjanjian perkawinan tersebut.
Oleh karena itu, penulis tertarik untuk menganalisa secara komprehensif dalam suatu
karya ilmiah yang berbentuk skripsi dengan judul : Akibat Hukum Perjanjian
Pisah Harta Perkawinan Yang Dibuat Setelah Berlangsungnya Perkawinan
Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69 Tahun 2015. Permasalahan
dalam Skripsi ini terdiri dari dua, yakni bagaimana akibat hukum perjanjian pisah
harta setelah berlangsungnya perkawinan sebelum dan sesudah dikeluarkannya
Putusan Mahkamah Konstitusi dan bagaimana upaya penyelesaian apabila terjadi
sengketa terhadap perjanjian pisah harta perkawinan yang dibuat setelah
berlangsungnya perkawinan pasca Putusan Mahkamah Konstitusi. Metode penelitian
dalam skripsi ini menggunakan tipe penelitian yuridis-normatif dan menggunakan 2
(dua) pendekatan masalah yakni, pendekatan Undang-Undang (statute approach) dan
pendekatan Konseptual (conceptual approach). Dan untuk sumber bahan hukum
yang digunakan yakni bahan hukum primer, sekunder bahan non hukum dan analisis
bahan hukum.
Tinjauan pustaka dalam skripsi ini membahas yang pertama mengulas tentang
definisi akibat hukum. Kedua, mengulas tentang perkawinan yang didalamnya
berisikan historis perkawinan di Indonesia, definisi perkawinan, asas-asas dalam
perkawinan, dan harta dalam perkawinan. Ketiga, mengulas tentang perjanjian
perkawinan yang didalamnya berisikan istilah perjanjian dalam hukum perjanjian,
dasar hukum pengaturan perjanjian perkawinan, syarat sahnya perjanjian perkawinan.
Dan keempat, mengulas tentang Putusan Mahkamah Konstitusi yang berisikan
tentang historis Mahkmah Konstitusi, dasar hukum, fungsi dan wewenang, serta sifat
putusan Mahkamah Konstitusi yang dikutip oleh penulis dari beberapa sumber buku
bacaan maupun peraturan perundang-undangan Indonesia.
Berdasarkan dari hasil pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa pertama,
Perjanjian perkawinan yang dibuat setelah perkawinan berlangsung sebelum lahirnya
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69 Tahun 2015 mempunyai akibat hukum
batal demi hukum. Hal tersebut dapat diartikan bahwa perjanjian perkawinan yang
dibuat setelah perkawinan dianggap tidak pernah ada dan tidak pernah dibuat karena
telah melanggar ketentuan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
Sedangkan, setelah lahirnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69 Tahun 2015,
maka perjanjian perkawinan yang dibuat setelah perkawinan berlangsung akibat
hukumnya adalah sah dan mempunyai kekuatan hukum tetap. Namun, perjanjian
perkawinan yang dibuat setelah perkawinan berlangsung memiliki resiko yaitu
terjadinya konflik sebab pemisahan harta pada saat pembuatan perjanjian perkawinan
tidak proporsional. Persoalan pemisahan harta bersama pada saat pembuatan
perjanjian pisah harta bersama dalam perkawinan yang tidak proporsional akan
menimbulkan sengketa dalam bidang hukum keluarga. Persengketaan hadir karena
para pihak (suami-isteri) merasa haknya telah dikurangi, maka salah satu pihak akan
berjuang untuk mendapatkan harta bersama yang seharusnya menjadi haknya. Dalam
menyelesaikan sengketa pada bidang keperdataan ini dapat ditempuh melalui dengan
2 (dua) cara, yakni: cara litigasi dan non-litigasi. Litigasi merupakan menggunakan
cara-cara formal (pengadilan) sedangkan, non-litigasi menggunakan cara-cara
informal atau penyelesaian sengketa diluar Pengadilan (APS/ADR). Pengadilan
bukan satu-satunya lembaga dengan penyelesaian sengketa yang tepat melainkan
justru lebih banyak menimbulkan kekecewaan bagi masyarakat. Ketidakpuasan
masyarakat terhadap pengadilan sebagai lembaga yang menyelesaikan sengketa pada
akhirnya melahirkan proses penyelesaian sengketa diluar pengadilan | en_US |