PEMBATALAN PERKAWINAN TERHADAP PERKAWINAN KEDUA SUAMI YANG DI DAFTARKAN TANPA IJIN ISTRI PERTAMA (Kajian Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No.385K/AG/2009)
Abstract
Asas perkawinan yang dianut menurut Undang-Undang Perkawinan
adalah asas monogami terbuka, ini tercermin dalam pasal 3 Undang-Undang
Perkawinan yang menyebutkan bahwa pada asasnya dalam suatu perkawinan
seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh
mempunyai seorang suami. Akan tetapi, dalam ayat 2 menyatakan bahwa
pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari
seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Faktanya dalam
kehidupan masyarakat lebih banyak seorang suami yang melaksanakan poligami
tidak meminta ijin atau bahkan secara diam-diam menikah dengan wanita lain
untuk dijadikan isteri kedua. Sehingga isteri pertama berhak mengajukan
pembatalan perkawinan terhadap perkawinan kedua suaminya tersebut.
Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah : Apakah isteri pertama
dapat mengajukan pembatalan atas perkawinan kedua suaminya yang telah
meninggal dunia karena dilaksanakan tanpa sepengetahuannya. Permasalahan
kedua yaitu Apakah dasar pertimbangan hakim Pengadilan Agama, Pengadilan
Tinggi Agama dan Mahkamah Agung. Dan permasalahan yang ketiga yaitu
Apakah status dan kedudukan kedua isteri tersebut masih sebagai isteri yang syah
atau tidak
Tujuan penulis dalam pengerjaan skripsi ini yaitu mengkaji dan
menganalisis apakah isteri pertama dapat mengajukan pembatalan atas
perkawinan kedua suaminya yang telah meninggal dunia karena dilaksanakan
tanpa sepengetahuannya dan mengkaji dan menganalisis apakah dasar
pertimbangan hakim membatalkan dan mengesahkan perkawinan dalam putusan
Pengadilan Agama, Pengadilan Tinggi Agama dan Mahkamah Agung serta
mengkaji dan menganalisis bagaimana status dan kedudukan kedua isteri.
Penulisan skripsi ini, menggunakan tipe penelitian yang bersifat yuridis
normatif serta menggunakan beberapa metode pendekatan yaitu menggunakan
metode pendekatan undang-undang (statute approach) dan menggunakan studi
kasus (case study). Sedangkan untuk bahan hukum, penulis menggunakan 2 (dua)
xiii
yaitu, bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Analisa yang digunakan
dalam penulisan ini yaitu metode deduktif.
Adapun hasil dari penulisan ini Isteri pertama dapat mengajukan pembatalan
atas perkawinan kedua suaminya yang telah meninggal dunia karena dilaksanakan
tanpa sepengetahuannya apabila telah memenuhi syarat-syarat yang telah
ditentukan dalam pasal 71 Kompilasi Hukum Islam, serta diajukan oleh orang
atau lembaga yang berhak untuk mengajukan pembatalan perkawinan tersebut
sesuai dengan pasal 23 Undang-undang tentang perkawinan jo. Pasal 73
Kompilasi Hukum Islam serta waktu pengajuannya tidak lampau waktu sesuai
dengan pasal 27 Undang-undang Perkawinan. yang kedua adalah Pertimbangan
hukum hakim Mahkamah Agung dalam perkara No. 385 K/AG/2009, yang
menyatakan permohonan pembatalan perkawinan ditolak telah tepat dan benar
menurut hukum yang berlaku. Permohonan pembatalan perkawinan yang diajukan
ke Pengadilan Agama dengan alasan suami tidak mendapatkan izin dari isteri
yang pertama (pemohon) ternyata perkawinan pertamanya tidak dapat dibuktikan
secara yuridis sehingga pernikahan pertama antara pemohon dengan Tukidi bin
Mukiran adalah perkawinan siri dan karena itu pemohon tidak dapat mengajukan
pembatalan perkawinan terhadap perkawinan kedua antara termohon dengan
Tukidi bin Mukiran yang telah dicatatkan pada lembaga perkawinan. Dan yang
ketiga status dan kedudukan kedua isteri dalam perkawinan yang dilaksanakan
oleh suami yang berpoligami adalah sah dengan segala hak dan kewajiban sebagai
suami isteri selama kedua perkawinan tersebut telah dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan perkawinan tersebut telah
dicatatkan sesuai dengan Pasal 7 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam.
Berdasarkan kesimpulan diatas maka penulis memberi saran yaitu Setiap
perkawinan harus dicatatkan kepada lembaga pencatat perkawinan agar
mendapatkan perlindungan hukum terhadap segala akibat yang timbul dari adanya
perkawinan tersebut. Dan Hakim hendaknya berhati-hati, cerdas, arif dan
bijaksana dalam menilai setiap alat bukti surat atau saksi yang diajukan oleh para
pihak yang mencari keadilan, agar putusan yang dijatuhkan nantinya dapat
memuaskan semua pihak yang berperkara.
Collections
- UT-Faculty of Law [6243]