dc.description.abstract | Seorang Laki-laki dan seorang perempuan sudah ditakdirkan oleh Tuhan
berpasang-pasangan untuk hidup berdampingan dalam kehidupan. adanya rasa
cinta, rasa sayang, rasa ingin memiliki dan menjalankan perintah agama, mereka
ingin mewujudkan semua dalam perkawinan. Secara antropologis, perkawinan
merupakan bagian dari lingkaran hidup manusia.Sementara secara sosiologis,
perkawinan adalah salah satu fenomena sosial yang merubah status hukum
seseorang. Perwalian dalam perkawinan adalah suatu kekuasaan atau wewenang
syar’i atas segolongan manusia, yang dilimpahkan kepada orang yang sempurna,
karena kekurangan tertentu pada orang yang dikuasai itu, demi kemaslahatannya
sendiri. Sering terjadi, wali nassab menjadi permasalahan atau halangan dalam
melangsungkan suatu perkawinan karena Wali Nassab yang paling berhak
ternyata tidak bersedia atau menolak untuk menjadi wali bagi calon mempelai
perempuan dengan berbagai alasan, baik alasan yang dibenarkan oleh syara’
maupun yang bertentangan dengan syara’. Wali Nassab adalah adalah pria
beragama islam yang berhubungan darah dengan calon mempelai wanita dari
pihak ayah menurut hukum islam. Berdasarkan uraian penjelasan diatas penulis
tertarik untuk meneliti dan membahasnya dalam suatu Karya Ilmiah dalam
bentuk skripsi yang berjudul “WALI NASSAB YANG MENOLAK
MENJADI WALI NIKAH TERHADAP PERKAWINAN ANAK
PEREMPUANNYA (Studi Penetapan Pengadilan Agama Nomor
004/Pdt.P/PA.Wno)”. Rumusan Masalah meliputi 3 (tiga) hal yaitu : pertama,
Apa alasan Wali Nassab menolak menjadi wali anak perempuannya yang
hendak melakukan perkawinan ? kedua, Bagaimana akibat hukum terhadap
perkawinan jika Wali Nassab melakukan penolakan terhadap perkawinan anak
perempuannya? Ketiga, Apa pertimbangan hukum hakim berdasarkan undangundang
nomor 7 tahun 1989 yang diperbaharui dengan undang-undang nomor
10 tahun 2006 dan diperbaharui lagi dengan undang-undang nomor 50 tahun
2009 tentang perubahan kedua atas undang-undang nomor 7 tahun 1989 tentang
Peradilan Agama dalam perkara nomor 004/Pdt.P/2008/PA.Wno? Tujuan
mengetahui dan memahami permasalahan tersebut melalui tujuan umum yakni,
melengkapi tugas akhir dan persyaratan akademik guna mencapai gelar Sarjana
Hukum dalam Program Studi Ilmu Hukum Pada Universitas Jember,
memberikan kontribusi berupa penyumbangan pemikiran dibidang ilmu Hukum,
yang nantinya diharapkan agar bermanfaat bagi mahasiswa Fakultas Hukum
Universitas Jember, Almamater dan masyarakat pada umumnya. serta tujuan
khusus yakni mengetahui dan mengkaji alasan wali Nassab menolak perkawinan
anak perermpuannya, mengetahui dan mengkaji akibat hukum wali Nassab
menolak anak Perempuannya yang akan melakukan perkawinan dan mengetahui
dan mengkaji pertimbangan Hakim dalam putusan Pengadilan Agama Nomor
004/Pdt.P/PA.Wno setelah mengabulkan permohonan Pemohon. Apakah
pertimbangan hakim sesuai dengan Undang-undang yang berlaku saat ini.
Metode yang digunakan penulis dalam penulisan skripsi ini adalah metode
yuridis Normatif dan pendekatan metode konseptual ( conseptual approach ),
yang dimaksud dengan metode yuridis normatif yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah maupun norma-norma dalam hukum
positif yang berlaku dengan pendekatan perundang-undangan ( statute approach
). Sedangkan pendekatan konseptual (conseptual approach ) adalah pendekatan
yang beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang
didalam ilmu Hukum.
Bahan hukum yang digunakan dalam penulisan meliputi bahan hukum
primer, bahan hukum sekunder dan bahan non hukum dengan meliputi bahan
yang relevan dengan topik penelitan. Bahan-bahan non hukum dapat berupa
bahan yang di peroleh dari kamus atau literatur-literatur yang bukan mengenai
hukum tetapi berkaitan dengan permasalahan yang dikaji.
Kesimpulan dari pembahasan skripsi yakni Alasan wali Nassab enggan atau
menolak menikahkan anak Perempuannya termasuk alasan yang dibenarkan
syariah ialah apabila anak perempuannya sudah ada yang melamar, apabila calon
suami tidak sekufu (tidak seagama) atau kafir dan fasik. alasan yang tidak
dibenarkan oleh syariah yaitu karena calon suami miskin, bukan sarjana, dan
karena kakak lelakinya belum menikah. Akibat hukum wali Nassab yang
menolak menjadi wali nikah anak perempuannya Peraturan Menteri Agama
Nomor 30 Tahun 2005 sebagai pengganti Peraturan Mentri Agama Nomor 2
Tahun 1987 tentang Wali Hakim tersebut, Pasal 1 menjelaskan bahwa Wali
Hakim adalah kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan yang di tunjuk oleh
Mentri Agama untuk bertindak sebagai wali nikah bagi calon mempelai wanita
yang tidak mempunyai Wali. Pada pasal 2 ayat 1 dan ayat 2, dapat diketahui
bahwa ada beberapa otoritas yang melekat pada Wali Hakim yang terdapat pada
poin nomor 5 yang terdapat pada pembahasan yang menyebutkan bahwa Wali
Hakim berwenang menikahkan wanita yang Wali Nassabnya adhal/enggan
untuk menikahkan, akan tetapi untuk Wali adhal ini Wali Hakim baru boleh
menikahkan setelah ada keputusan dari Pengadilan Agama. maka sudah jelas
akibat Hukumnya yaitu kewenangan Wali Nassab sudah diganti oleh Wali
Hakim apabila sudah ada keputusan atau Penetapan dari pengadilan
Agama.Pertimbangan Hakim dalam Penetapan wali adhal adalah berorirntasi
pada kemaslahatan Pemohon dan alasan wali Nassab yang tidak berdasarkan
pada ketentuan syariah yang di buktikan dalam Persidangan. Dalam penetapan
majelis hakim berdasarkan pada hukum Islam dan pandangan yang berlaku,
dengan mengutamakan kepentingan Pemohon untuk mengantisipasi suatu
perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syariah yang diantaranya melakukan
Perzinahan maupun Bunuh diri akibat dari wali Nassab yang menolak untuk
mengawinkannya. Dan Pemohon sudah di Pandang cukup umur untuk
melangsungkan perkawinan serta tidak ada halangan hukum baik menurut
hukum Islam maupun perundang-Undangan.
Saran ditujukan kepada wali Nassab mengingatkan pentingnya peran wali
nikah dalam melaksanakan akad nikah dalam suatu perkawinan terutama bagi
mempelai perempuan, baik orang tua dengan anak maupun anak ke orang tua,
maka hendaklah di jaga keharmonisannya, lebih mengedepankan alasan-alasan
yang di benarkan oleh syariat-syariat Islam. Dan dalam berkeluarga hendaknya
tidak mengedepankan kepentingan diri-sendiri agar terhindar dari perselisihan
antara keluarga yaitu anak dan orang tua. | en_US |