dc.description.abstract | Tindak pidana perkosaan merupakan masalah yang sangat serius, terkait adanya
keengganan korban untuk melaporkan karena tidak didukung oleh keluarga dan masih
melekatnya budaya malu di dalam masyarakat untuk mendiskusikan persoalan perkosaan
secara terbuka. Kasus yang menarik untuk dikaji adalah Putusan Pengadilan Negeri
Lumajang Nomor 125/Pid.B/2017/PN.Lmj tentang kasus tindak pidana persetubuhan
dengan korban yang mengalami retardasi mental. Orang yang mengalami retardasi mental
sudah selayaknya untuk dilindungi, namun demikian justru menjadi korban tindak pidana
pemerkosaan. Permasalahan dalam skripsi ini yaitu ; (1) Apakah retardasi mental termasuk
dalam unsur keadaan tidak berdaya sebagaimana dimaksud ketentuan Pasal 286 KUHP ?
dan (2) Apakah alat bukti dalam Putusan Nomor 125/Pid.B/2017/PN.Lmj telah cukup
membuktikan kesalahan terdakwa ? Tujuan penelitian adalah untuk untuk mengetahui dan
memahami retardasi sebagai unsur keadaan tidak berdaya sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Pasal 286 KUHP dan untuk mengetahui dan menganalisis pembuktian dalam
Putusan Nomor 125/Pid.B/ 2017/PN.Lmj untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Metode
penelitian dalam penulisan skripsi ini menggunakan jenis penelitian yuridis normatif
dengan pendekatan undang-undang (statute approach), dan pendekatan konseptual
(conceptual approach). Bahan hukum yang dipergunakan adalah bahan hukum sekunder
dan primer. Analisis bahan hukum yang dipergunakan adalah analisis deduktif, yaitu cara
melihat suatu permasalahan secara umum sampai dengan hal-hal yang bersifat khusus
untuk mencapai preskripsi atau maksud yang sebenarnya.
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh beberapa hasil pembahasan : Pertama,
Majelis Hakim dalam Putusan Nomor 125/Pid.B/2017/PN.Lmj. memutuskan bahwa pelaku
bersalah melanggar Pasal 286 KUHP dan terhadap terdakwa dipidana dengan pidana
penjara selama 6 (enam) tahun. Dalam kasus tersebut pelaku melakukan persetubuhan
dengan korban yang merupakan seorang wanita dengan IQ 51 (retardasi mental ringan) dan
saat pemeriksaan terhadap korban, diperoleh hasil bahwa korban terdapat tanda dan gejala
gangguan jiwa. Retardasi mental korban tindak pidana persetubuhan termasuk sudah sesuai
unsur keadaan tidak berdaya sebagaimana dimaksud ketentuan Pasal 286 KUHP, artinya
tidak mempunyai kekuatan atau tenaga sama sekali, sehingga tidak dapat mengadakan
perlawanan sedikitpun. Unsur tidak berdaya adalah unsur objektif yang didasari atau
diketahui oleh si pembuat. Kondisi tidak berdaya itu bukanlah akibat dari perbuatan si
pelaku melainkan suatu kondisi yang sudah terjadi. Si pelaku hanya disyaratkan untuk
secara subjektif mengetahui bahwa perempuan tersebut sedang dalam keadaan tidak
berdaya. Kedua, Kesesuaian pembuktian dalam Putusan Nomor 125/Pid.B/2017/PN. Lmj
untuk membuktikan kesalahan terdakwa pada prinsipnya sudah sesuai dengan pembuktian
sebagaimana disyaratkan oleh KUHAP karena sudah memenuhi adanya syarat minimal
pembuktian yaitu adanya saksi, keterangan ahli berupa keterangan retardasi mental korban,
maupun adanya visum tentang adanya persetubuhan. Namun demikian, menurut hemat
penulis perlu dilibatkannya saksi korban dalam penyidikan maupun di sidang pengadilan,
karena kategori retardasi mental korban yang tidak terlalu tinggi, sehingga memungkinkan
adanya keterangan yang didampaikan oleh korban dikaitkan dengan tindak pidana yang
terjadi. Selain itu, keterlibatan saksi dalam hal ini juga perlu untuk dipertimbangkan oleh
hakim karena para saksi mengetahui akan dilakukannya atau diduga dilakukannya tindak pidana persetebuhan terhadap korban. Para saksi seharusnya tidak perlu menunggu sampai
terjadinya persetubuhan sampai selesai tapi bisa langsung memergoki perbuatan terdakwa
terhadap korban. Jaminan perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana
persetubuhan ditinjau dari sudut pandang pidana formil dan pidana materiil di Indonesia
belum mampu memberikan perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana
persetubuhan, karena tidak dicantumkannya sanksi pidana minimal. Penting kiranya
dilakukan revisi atas ketentuan Pasal 286 KUHP khususnya tentang adanya sanksi pidana
minimal selain maksimal juga perlunya diberikan hukuman tambahan selain hukuman
penjara. Selain itu perlu adanya perluasan makna terhadap konsep makna “tidak berdaya”
sehingga dapat membantu penegakan hukumnya. Dengan lembaga pendamping korban
tindak pidana persetubuhan, diharapkan dapat mengembalikan korban kepada masyarakat
khususnya keberadaan kondisi psikologis dan jiwa korban. | en_US |