Show simple item record

dc.contributor.authorUTARI NINDY KEN PAHLEVI
dc.date.accessioned2013-12-14T04:31:34Z
dc.date.available2013-12-14T04:31:34Z
dc.date.issued2013-12-14
dc.identifier.nimNIM080710101026
dc.identifier.urihttp://repository.unej.ac.id/handle/123456789/8865
dc.description.abstractSalah satu komponen penting dalam perkawinan adalah maskawin yang dalam bahasa agama Islam disebut mahar. Mahar atau mas kawin adalah hak wanita, Pada suatu perkawinan mahar bukan merupakan rukun dan syarat dalam perkawinan yang dapat menyebabkan suatu perkawinan menjadi tidak sah apabila tidak dipenuhi, meskipun terjadi perbedaan pendapat antar ulama mengenai pengkatagorian mahar merupakan rukun dan syarat perkawinan tetapi dalam prakteknya secara umum mahar adalah suatu kewajiban suami kepada istri yang harus dibayarkan.Pada prakteknya dimasyarakat penggunaan mahar yang sering digunakan adalah mahar yang diucapkan dalam akad nikah atau biasa disebut dengan mahar musamma, sedangkan mahar mitsil (yang tidak diucapkan dalam sighat akad) jarang digunakan. Guna menghindari kesukaran dalam melaksanakan kewajiban mahar dan dalam waktu yang sama juga menghindari kemungkinan sengketa dibelakang hari, seyogyanya mahar itu sudah dinyatakan secara jelas ketika akad nikah dilakukan mengenai apa wujudnya, berapa kadarnya, dibayar tunai atau bertangguh. Terkait dengan itu menyebutkan mahar dalam akad nikah itu hukumnya sunah. dengan tidak menyebutkan mahar dalam akad nikah rentan terjadi sengketa atau konflik dikemudian hari. Berdasarkan beberapa uraian tersebut, maka penulis tertarik untuk menganalisa secara yuridis perkawinan yang dilakukan tanpa disertai adanya pengucapan mahar dalam skripsi yang berjudul “TINJAUAN YURIDIS PERKAWINAN TANPA UCAPAN MAHAR (MAHAR MITSIL) MENURUT HUKUM ISLAM”.Rumusan masalah dalam skripsi ini terdiri dari 2 (dua) permasalahan yaitu pertama apa perkawinan dapat dikatakan sah ketika mahar tidak diucapkan dan yang kedua bagaimana pembayaran mahar yang tidak diucapkan jika terjadi perceraian. Pada penulisan skripsi ini penulis menggunakan tipe penelitian yang bersifat yuridis normative (legal research) dengan menggunakan 2 (dua) model pendekatan masalah yaitu pendekatan perundang-undangan (Statute Approach) dan pendekatan konseptual (Conceptual Approach). Sedangkan sumber bahan hukum yang digunakan meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan non hukum. Bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan. Sedangkan bahan hukum sekunder terdiri atas dokumen-dokumen tidak resmi. Bahan non hukum merupakan bahan-bahan yang didapat dari internet. Adapun Kesimpulan yang didapat dari penulisan skripsi ini adalah Mahar bukanlah termasuk rukun dan syarat perkawinan, kendati demikian pemberian mahar merupakan suatu kewajiban bagi calon suami terhadap calon istri. Tidak diucapkannya mahar dalam akad nikah (penggunaan mahar mitsil) tidak menjadikan batal atau tidak sahnya suatu akad. Pembayaran mahar itu hendaknya dilakukan secara langsung dan kontan kecuali ada kesepakatan antara calon suami dengan calon istri untung menangguhkan mahar dan dibayar dalam jangka waktu yang ditentukan karena mahar merupakan kewajiban suami dan hak istri. Mahar bukanlah tujuan dari perkawinan, melainkan hanya symbol ikatan cinta kasih. Perkawinan dengan mahar yang ringan bisa membawa keberkahan dalam rumah tangga. Pembayaran mahar mitsil sama dengan mahar musamma meskipun tidak xiii diucapkan dalam akad nikah pembayarannya hendaknya dilakukan secara langsung dan tunai setelah akad nikah selesai dilakukan. Karena pengucapan mahar bukan merupakan rukun dan syarat dalam perkawinan sehingga tidak berdampak pada keabsahan perkawinannya. Perkawinan yang dilakukan tanpa ucapan mahar tetap menjadikan suatu perkawinan sah. Bagaimana pun mahar adalah hutang yang harus dibayarkan. Kewajiban suami dalam membayarkan mahar apabila terjadi perceraian pada saat sudah terjadi percampuran antara suami-istri adalah suami wajib membayarkan seluruh mahar yang telah ditentukan jumlahnya dan merupakan hak istri secara penuh. Sedangkan pembayaran mahar bila terjadi perceraian pada saat belum terjadi percampuran antara suami-istri maka suami wajib membayarkan mahar separuh dari mahar yang telah ditetapkan jumlahnya. Namun dalam kasus tertentu, mahar boleh tidak dibayarkan asalkan istri yang dinikahi tersebut belum berkumpul dengan suami atau belum terjadi percampuran antara suami istri dan belum menentukan jumlah maharnya. Seorang suami dapat dibebaskan dari kewajiban membayar mahar apabila istrinya mengikhlaskan suaminya tidak memberikan mahar sesuai dengan jumlah yang telah disepakati. Saran yang dapat saya sumbangkan dalam skripsi ini adalah calon suami hendaknya lebih mengetahui arti penting kewajiban pembayaran mahar untuk calon istrinya, bukan berarti arti kata ‘pemberian” mahar diartikan sebagai bentuk pembelian calon istri tapi lebih kepada hadiah kepada calon istri karena dengan sukarela akan mengabdikan dirinya dan hidup bersama suaminya. Pemberian mahar hendaknya dibicarakan dengan calon istrinya dengan memperhatikan kriteria utama mahar yang paling ringan, sederhana dan bermanfaat, sehingga tidak memberatkan calon suami dan tidak meremehkan calon istri dan mahar tersebut pembayarannya dapat dilakukan secara langsung dan tunai, agar tidak menimbulkan masalah dikemudian hari.en_US
dc.language.isootheren_US
dc.relation.ispartofseries080710101026;
dc.subjectTINJAUAN YURIDIS, HUKUM ISLAMen_US
dc.titleTINJAUAN YURIDIS PERKAWINAN TANPA UCAPAN MAHAR (MAHAR MITSIL) MENURUT HUKUM ISLAMen_US
dc.typeOtheren_US


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record