KETIDAKSESUAIAN KEPUTUSAN NAFKAH IDDAH DAN MUT’AH TERHADAP PERMOHONAN BANDING SEBAGAI ALASAN MENGAJUKAN KASASI (STUDI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR : 190 K/AG/2015)
Abstract
Perceraian merupakan perbuatan yang halal sekaligus dibenci oleh Tuhan
Yang Maha Esa. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa
antara suami istri itu tidak akan dapat rukun sebagai suami isteri. Putusnya
Perkawinan yang disebabkan karena Perceraian dapat terjadi karena Talak atau
berdasarkan Gugatan Perceraian. Dalam Islam, Perceraian hanya dapat dilakukan
di depan sidang Pengadilan Agama, setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha
dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Putusan Pengadilan Agama
wajib diberitahukan kepada Termohon. Apabila Termohon merasa keberatan
dengan hasil putusan tersebut, Termohon berhak mengajukan permohonan
banding, agar Pengadilan Tinggi Agama sebagai peradilan tingkat banding
memeriksa ulang dan memutus kembali perkara tersebut. Apabila
Termohon/Pembanding masih merasa belum puas dengan putusan Pengadilan
Tinggi Agama, Termohon/Pembanding dapat mengajukan kasasi. Permohonan
kasasi tersebut, alasan – alasannya haruslah terkait dengan fakta hukumnya (Judex
Facti) bukan penerapan hukumnya (Judex Juris).
Berdasarkan uraian diatas, Penulis akan membahas dan mengkajinya
dalam suatu karya ilmiah berbentuk skripsi dengan judul : “Ketidaksesuaian
Keputusan Nafkah Iddah Dan Mut’ah Terhadap Permohonan Banding
Sebagai Alasan Mengajukan Kasasi (Studi Putusan Mahkamah Agung
Nomor 190 K/Ag/2015)”. Permasalahan yang akan diangkat dalam skripsi ini
adalah Pertama, Apakah Nafkah Iddah dan Mut’ah yang tidak diputus Pengadilan
Agama dapat dilakukan oleh Pengadilan Tinggi?, Kedua, Apakah Nafkah Iddah
dan Mut’ah yang diputus tidak sesuai dengan permohonan banding dapat diajukan
kasasi?, dan Ketiga, Apa pertimbangan hukum hakim Mahkamah Agung
Republik Indonesia dalam perkara nomor 190 K/Ag/2015?. Penelitian ini terdiri
dari 2 (dua) tujuan penelitian yaitu umum dan khusus. Adapun dalam penulisan
skripsi ini menggunakan metode penelitian hukum normatif, dengan penggunaan
pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual guna memecahkan
permasalahan yang ada.
Tinjauan pustaka dalam skripsi ini dibagi menjadi 4 (empat) sub bab yaitu
Pertama, menjelaskan mengenai Perkawinan yang dibagi lagi menjadi 3 (tiga)
anak sub bab, yaitu : 1). Pengertian Perkawinan; 2). Syarat dan Rukun
Perkawinan; dan 3). Sahnya Perkawinan. Kedua, menjelaskan mengenai Putusnya
Perkawinan yang dibagi menjadi 3 (tiga) anak sub bab, yaitu : 1). Kematian; 2).
Putusan Pengadilan; dan 3). Perceraian. Ketiga, menjelaskan mengenai Putusan
yang dibagi menjadi 2 (dua) anak sub bab, yaitu : 1). Pengertian Putusan; dan 2).
Macam – macam Putusan. Keempat, menjelaskan mengenai Upaya Hukum yang
dibagi menjadi 2 (dua) anak sub bab, yaitu : 1). Pengertian Upaya Hukum; dan 2).
Macam – macam Upaya Hukum.
Pembahasan skripsi ini menganalisis terkait isu hukum yang telah diajukan
oleh Penulis, dengan rangkuman sebagai berikut : Peradilan Tingkat Pertama dan
Peradilan Tingkat Banding sebagai Judex Facti menggambarkan kompetensi
hakim dalam memeriksa atau mengadili perkara yang mengacu pada peran hakim
sebagai penentu fakta hukum dalam putusan. Sedangkan, Peradilan Tingkat
Kasasi sebagai Judex Juris menggambarkan kompetensi hakim dalam memeriksa
atau mengadili perkara yang mengacu pada peran Hakim Agung yang mempunyai
tugas membina keseragaman dalam penerapan hukum agar semua hukum
diterapkan secara tepat.4
Adapun kesimpulan dari skripsi ini adalah Pertama, Nafkah Iddah dan
Mut’ah yang tidak diputus Pengadilan Agama dapat dilakukan oleh Pengadilan
Tinggi Agama sebab, dalam tingkat banding Pengadilan Tinggi Agama dapat
menguatkan sekaligus memperbaiki amar, atau pertimbangan yang kurang jelas,
atau hanya sekedar menambahkan pertimbangan yang kurang lengkap, jika
putusan tersebut dianggap sudah tepat. Kedua, Nafkah Iddah dan Mut’ah yang
diputus tidak sesuai dengan permohonan banding tidak dapat diajukan kasasi,
dikarenakan alasan – alasan untuk mengajukan upaya hukum kasasi yang
dituangkan dalam memori kasasi, harus memenuhi syarat – syarat yang tercantum
dalam Pasal 30 Undang – Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas
Undang – Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yaitu apakah
benar pengadilan bawahan tersebut dalam mengadili telah melampaui batas
wewenangnya, apakah benar peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan
tidak sebagaimana mestinya, dan apakah benar cara mengadili tersebut tidak
dilaksanakan menurut ketentuan undang – undang. Mengajukan alasan lain untuk
meminta pemeriksaan atas putusan pengadilan bawahan, tidak dapat dibenarkan.
Ketiga, Pertimbangan hukum hakim Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam
perkara Nomor : 190 K/Ag/2015 yang amarnya menolak permohonan kasasi,
dikarenakan alasan – alasan Pemohon Kasasi berdasarkan judex facti bukan judex
juris, sehingga tidak dapat dibenarkan, oleh karena itu Pengadilan Tinggi Agama
Mataram tidak salah dalam menerapkan hukum. Berdasarkan kesimpulan tersebut,
maka Penulis memberikan saran yaitu Terkait dalam hal ini dengan adanya kasus
tersebut dapat menyadarkan masyarakat, bahwa sangat penting untuk mengetahui
dan memahami norma - norma hukum yang berlaku di Indonesia karena setiap
orang dianggap sadar hukum. Khususnya pada tingkat kasasi dimana yang dapat
diajukan permohonan kasasi, alasan – alasannya bukan berdasarkan Judex Facti
(fakta hukum) melainkan berdasarkan Judex Juris (penerapan hukum).
Collections
- UT-Faculty of Law [6257]