KEWENANGAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN DALAM PENYELESAIAN SENGKETA ANTARA LEMBAGA PEMBIAYAAN DENGAN KONSUMEN
Abstract
Permasalahan dalam skripsi ini adalah bagaimana hubungan hukum antara lembaga pembiayaan dengan konsumen, apakah penyelesaian sengketa antara lembaga pembiayaan dengan konsumen menjadi kewenangan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dan Apakah putusan MA RI Nomor 613 K/Pdt.Sus-BPSK/2015 sesuai dengan hukum positif di Indonesia yang berkaitan dengan sengketa lembaga pembiayaan dengan konsumen. Tujuan skripsi ini adalah Untuk memenuhi dan melengkapi tugas sebagai salah satu persyaratan yang telah ditentukan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jember. Untuk memberikan sumbangan pemikiran yang bermanfaat bagi kalangan umum dan khususnya mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jember. Untuk mengembangkan dan menerapkan ilmu pengetahuan yang telah diperoleh diperkuliahan dengan kasus yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Metode penelitian meliputi tipe penelitian yuridis normatif, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan (statuse approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Bahan hukum yang digunakan meliputi bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder serta bahan non hukum dengan menggunakan analisa bahan hukum sebagai langkah terakhir.
Tinjauan pustaka, yang menguraikan secara sistematis tentang toeri dan pengertian-pengertian yuridis yang meliputi: Pertama yaitu mengenai Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), Pengertian Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), pengertian ini dikutip oleh penulis dari beberapa sumber bacaan maupun perundang – undangan yang ada di Indonesia. Kedua mengenai lembaga pembiayaan, pengertian lembaga pembiayaan, macam – macam lembaga pembiayaan yang dikutip oleh penulis dari beberapa sumber bacaan maupun perundang – undangan yang ada di Indonesia. Ketiga mengenai hukum perlindungan konsumen, pengertian perlindungan konsumen, hak dan kewajiban konsumen, hak dan kewajiban pelaku usaha yang dikutip oleh penulis dari beberapa sumber bacaan maupun perundang-undangan yang ada di Indonesia.
Kesimpulan dari pembahasan ini adalah yang Pertama, Hubungan hukum yang terjadi antara Lembaga Pembiayaan dengan Konsumen tersebut ada dikarenakan atas dasar kontrak (kontraktual) atau perjanjian yang sudah mereka
buat dan disepakati (tanda tangani). Perjanian Pembiayaan Konsumen tersebut dinyatakan berlaku apabila persetujuan kedua belah pihak atau lebih sudah sepakat dan akan mempunyai hak dan kewajiban masing – masing. Kedua, Penyelesaian sengketa konsumen dibagi menjadi 2 (dua) yaitu melalui pengadilan (litigasi) dan diluar pengadilan (non litigasi). Non Litigasi tersebut di dalamnya terdapat pengadilan untuk menyelesaikan sengketa yaitu Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen yang melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen dengan cara mediasi atau arbitrase atau konsiliasi. BPSK berwenang dalam memutus sengketa antara lembaga pembiayaan, namun BPSK tidak memiliki hak eksekutorial dalam mengeksekusi produk putusan yang sudah dikeluarkan melalui mediasi. Ketiga, Mahkamah Agung sudah menerapkan hukum positif yang ada terkait sengketa lembaga pembiayaan dengan konsumen. Namun ada salah satu pertimbangan hakim sebelum memutus perkara a quo menyatakan bahwa Perselisihan atau sengketa yang timbul dari Perjanjian Pembiayaan Konsumen tidak termasuk kewenangan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Sengketa Perjanjian Pembiayaan atau Perjanjian Kredit harus diadili oleh Pengadilan Negeri pada pemeriksaan tingkat pertama bukan pada tingkat keberatan. BPSK memiliki kewenangan dalam sengketa tersebut yang dasar hukumnya diatur dalam Pasal 52 Undang – Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan dalam Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.
Saran dari penulisan skripsi ini adalah hendaknya dalam suatu pengikatan diri terhadap orang lain dimana sudah terjadinya pembagian atas hak dan kewajiban masing – masing pihak harus ditaati agar tidak terjadinya suatu sengketa. Seharusnya Pengadilan Negeri dalam hal ini menerima, memeriksa, dan mengadili perkara dengan melihat norma – norma hukum yang berlaku maka upaya banding tidak akan terjadi. Hendaknya Hakim memeriksa lebih teliti untuk memutus suatu perkara dan menggunakan hukum positif agar menjadikan suatu putusan yang berkepastian, berkeadilan, dan mempunyai kemanfaatan sehingga tidak akan ada permohonan kasasi yang diajukan sampai Mahkamah Agung.
Collections
- UT-Faculty of Law [6214]