KEKUATAN PEMBUKTIAN PERJANJIAN ADAT TERHADAP WANPRESTASI DALAM HAK NUMPANG KARANG (PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 110
Abstract
Adat istiadat yang hidup dan berkembang di setiap daerah dikenal
dengan hukum adat. Dalam hukum adat, tanah memiliki kedudukan yang penting
karena merupakan satu-satunya benda kekayaan yang meskipun mengalami
keadaan yang bagaimanapun akan tetap dalam keadaan semula, malah kadangkadang
menjadi lebih menguntungkan, dipandang dari segi ekonomi. Pada zaman
dahulu, perjanjian yang dilakukan antar pemilik tanah dengan orang lain yang
mendirikan rumah di atas tanah milik orang lain dilakukan dengan perjanjian adat
yaitu perjanjian secara lisan. Perjanjian yang dilakukan ini sewaktu-waktu bisa
saja salah satu pihak wanprestasi, seperti dalam kasus yang telah diputus oleh
Mahkamah Agung (untuk selanjutnya disingkat MA) dengan putusan Nomor 110
K/Pdt/2008. Dalam usaha untuk memperoleh kembali tanah sengketa tersebut
maka pemohon kasasi pernah mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Takalar
yang kemudian dilanjutkan banding ke Pengadilan Tinggi Makassar dan terakhir
mengajukan memori kasasi yang diterima di kepaniteraan Pengadilan Negeri
Takalar. Dari beberapa upaya hukum tersebut sampai dikeluarkannya putusan MA
Nomor 110 K/Pdt/2008 bahwa MA tidak mengabulkan permohonan dari
pemohon kasasi dengan pertimbangan hukum bahwa penggugat tidak berhasil
membuktikan dalil gugatannya mengenai adanya izin dari Sulemang kepada
Sagala Dg Rikong untuk menempati tanah sengketa.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka akan diteliti dan dibahas lebih
lanjut dalam suatu karya ilmiah berbentuk skripsi dengan judul “KEKUATAN
PEMBUKTIAN PERJANJIAN ADAT TERHADAP WANPRESTASI
DALAM HAK NUMPANG KARANG (PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG
NOMOR 110 K/PDT/2008)”. Rumusan masalah yang dikemukakan dalam
skripsi ini adalah: Pertama, mengenai kekuatan pembuktian perjanjian adat
terhadap wanprestasi dalam hak numpang karang; Kedua, mengenai dasar
pertimbangan hukum yang digunakan oleh hakim MA dalam menjatuhkan
putusan nomor 110 K/Pdt/2008 telah sesuai dengan hukum adat yang berlaku.
Penyusunan skripsi ini bertujuan untuk memahami berbagai macam
hukum yang berlaku di masyarakat Indonesia, untuk mengetahui kekuatan
pembuktian perjanjian adat apabila terjadi wanprestasi dalam perjanjian adat dan
untuk mengetahui penerapan hukum adat di lingkungan peradilan umum apabila
terjadi sengketa dalam perjanjian adat. Metode penulisan dalam skripsi ini
menggunakan tipe penelitian yuridis normatif. Pendekatan masalah yang
digunakan adalah pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan
konseptual (conceptual approach), dan pendekatan kasus (case approach) serta
menggunakan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan non
hukum yang digunakan sebagai sumber bahan hukum dalam penelitian skripsi ini.
Adapun kesimpulan dalam skripsi ini adalah perkara hukum adat yang
diselesaikan melalui lembaga peradilan menuntut supaya hakim mampu untuk
menggali hukum adat yang tumbuh, hidup serta berkembang di dalam masyarakat.
Perjanjian lisan dalam hak numpang karang apabila terjadi wanprestasi masih
dapat dibuktikan meskipun perjanjian itu dilakukan secara lisan. Berdasarkan
peraturan dalam hukum acara perdata bahwa bukti yang pertama kali dipakai
xiv
dalam masalah perdata adalah tulisan. Bukti tulisan ini pada putusan MA Nomor
110 K/Pdt/2008 dapat diketahui dari tanah sengketa yang telah terdaftar dalam
buku tanah desa atas nama Sulemang selaku orang tua dari pemohon kasasi.
Kemudian saksi yang dihadirkan dalam persidangan kurang menguatkan dalil
gugatan dari penggugat dan penggugat tidak bisa membuktikan dalil gugatannya
yang menyatakan tentang adanya izin dari Sulemang kepada Sagala Dg Rikong
untuk menempati tanah sengketa maka hakim berdasarkan Pasal 5 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman maka
hakim harus menggali, mengikuti serta memahami nilai-nilai hukum dan rasa
keadilan dalam masyarakat. Hakim dapat meminta keterangan atau pendapat ahli
berkaitan dengan hal ini yaitu hakim dapat mendatangkan ketua adat yang
mengerti dan paham mengenai hukum adatnya. Jadi, kekuatan pembuktian
perjanjian adat dapat dibuktikan dengan cara hakim dapat menggali hukum adat
yang tumbuh, hidup dan berkembang di dalam masyarakat daerah hukum hakim
serta keterangan ahli yaitu ketua adat yang lebih mengetahui tentang hukum adat
yang berkembang di daerahnya. Kemudian putusan MA Nomor 110 K/Pdt/2008
tidak sesuai dengan hukum adat yang berlaku sebab dalam hukum adat diakui
adanya perjanjian yang berkaitan dengan tanah dilakukan secara lisan termasuk
juga dengan hak numpang. Sedangkan pada pertimbangan hukum hakim
beralasan bahwa pemohon kasasi tidak dapat membuktikan tentang adanya izin
yang diberikan oleh Sulemang kepada Sagala Dg Rikong untuk menempati obyek
sengketa. Padahal dalam hukum adat suatu perjanjian yang dilakukan itu atas
dasar pada rasa tolong menolong dan kekeluargaan serta pengaruh dari ajaran
agama yang mengajarkan untuk saling tolong menolong dalam hal membantu
sesama manusia yang saling membutuhkan.
Collections
- UT-Faculty of Law [6214]