Legitimasi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sebagai Produk Hukum dalam Meratifikasi Perjanjian Internasional Tertentu
Abstract
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang merupakan salah satu produk hukum dalam hierarki peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia berdasarkan Pasal 7 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Dalam hierarki peraturan perundang-undangan Indonesia, kedudukan Perppu sejajar dengan undang-undang. Undang-Undang dibahas dan disetujui bersama oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Presiden serta disahkan oleh Presiden, sedangkan Perppu ditetapkan oleh Presiden tanpa persetujuan DPR karena adanya “suatu hal ihwal kegentingan yang memaksa”. Penetapan Perppu yang pernah dilakukan selama ini dapat menjadi solusi untuk mengatasi masalah yang dalam keadaan genting dibutuhkan adanya aturan setingkat undang-undang untuk segera mengatasi masalah tersebut. Salah satu masalah atau persoalan yang masih dihadapi oleh Indonesia saat ini adalah masih adanya kendala dalam pelaksanaan ratifikasi perjanjian internasional. Indonesia masih sering mengalami kesulitan atau sering terlambat untuk meratifikasi konvensi-konvensi atau perjanjian internasional meskipun instrumen internasional tersebut dibutuhkan bagi kepentingan nasional.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian internasional mengatur bahwa ratifikasi suatu perjanjian internasional di Indonesia menggunakan dua instrumen yaitu undang-undang dan peraturan Presiden. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 maupun Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tidak mengatur mengenai pengesahan perjanjian internasional dengan Perppu. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa di masa yang akan datang berpotensi timbul suatu keadaan bagi pemerintah untuk segera melakukan ratifikasi perjanjian internasional tertentu yang mensyaratkan untuk diratifikasi dengan undang-undang. Tetapi karena keadaan kegentingan yang memaksa perjanjian internasional tersebut harus segera diratifikasi, maka untuk mengantisipasi terjadinya kelambatan dalam proses ratifikasi perjanjian internasional, perlu untuk melakukan suatu tindakan cepat dan efisien dengan memberikan jangka waktu meratifikasi suatu perjanjian internasional khusus untuk diterapkan di Indonesia atau meratifikasi perjanjian internasional dengan Perppu sebagai solusi terakhir. Karena materi muatan Perppu sama dengan materi muatan undang-undang dan jika dibandingkan dengan undang-undang, prosedur pembentukan Perppu jauh lebih singkat. Berdasarkan hal tersebut, muncul isu hukum apakah suatu perjanjian internasional karena adanya hal ikhwal kegentingan memaksa dimungkinkan untuk diratifikasi dengan Perppu dan apakah Perppu sebagai produk hukum dalam meratifikasi perjanjian internasional memiliki legitimasi yang sama seperti undang-undang.
Tujuan penulisan skripsi ini terdiri dari tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum dari penulisan skripsi ini yaitu untuk memenuhi dan melengkapi salah satu pokok persyaratan akademis guna mencapai gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Jember dan untuk mengembangkan serta menerapkan ilmu pengetahuan hukum yang telah diperoleh selama perkuliahan yang bersifat teoritis dengan realita yang ada di masyarakat. Sedangkan tujuan khusus yang ingin dicapai dalam penulisan skripsi ini antara lain untuk menjelaskan tentang ratifikasi perjanjian internasional dengan Perppu dan menjelaskan tentang legitimasi Perppu sebagai Produk Hukum dalam meratifikasi suatu perjanjian internasional.
Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif (legal research). Penulis menggunakan pendekatan undang-undang (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Hasil dari penelitian skripsi ini adalah di masa yang akan datang tidak menutup kemungkinan pemerintah perlu untuk segera melakukan ratifikasi terhadap perjanjian internasional tertentu yang mengharuskan diratifikasi dengan undang-undang, namun karena adanya keadaan kegentingan yang memaksa maka untuk mengurangi dan mengantisipasi adanya kelambatan dan kemacetan dalam proses ratifikasi, perlu menetapkan jangka waktu untuk meratifikasi perjanjian internasional khusus diberlakukan di Indonesia. Disamping itu, ratifikasi perjanjian internasional dengan Perppu dimungkinkan untuk dilakukan sebagai solusi terakhir. Perppu memiliki legitimasi yang sama dengan undang-undang karena materi muatan Perppu sama dengan materi muatan undang-undang. Perbedaan antara Perppu dan undang-undang terletak pada prosedur pembentukannya dan masa keberlakuannya.
Kesimpulan dari skripsi ini adalah bahwa meratifikasi perjanjian internasional dengan Perppu dimungkinkan untuk dilakukan di masa yang akan datang apabila terjadi suatu keadaan kegentingan yang memaksa yang sangat mendesak pemerintah untuk segera meratifikasi suatu perjanjian internasional tertentu yang mensyaratkan diratfikasi dengan undang-undang. Namun karena keadaan mendesak tersebut, untuk menghindari masalah kelambatan, maka dimungkinkan untuk meratifikasi perjanjian internasional tersebut dengan Perppu sebagai solusi terakhir. Berdasarkan hierarki peraturan perundang-undangan Indonesia yang tercantum dalam UU Nomor 12 tahun 2011, kedudukan Perppu sejajar dengan Undang-Undang dan materi muatan Perppu adalah sama dengan materi muatan undang-undang. Perppu yang dibentuk dengan tujuan untuk meratifikasi perjanjian internasional berlaku juga ketentuan berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 yakni sejak Perppu tersebut ditetapkan oleh Presiden dan DPR belum memberikan keputusannya untuk memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap Perppu tersebut, maka Perppu ratifikasi perjanjian internasional tersebut berlaku secara sah. Apabila Perppu ratifikasi tersebut mendapatkan persetujuan DPR, maka selanjutnya Perppu tersebut ditetapkan menjadi undang-undang. Namun apabila DPR menolak Perppu tersebut, maka Perppu tersebut harus dicabut dan ratifikasi terhadap perjanjian internasional tersebut tidak dilakukan karena pasti keputusan menolak yang dilakukan DPR karena ada substansi yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 atau karena pembentukan Perppu tersebut dianggap bukan dalam keadaan yang genting atau mendesak. Apabila penolakantersebut karena substansi yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, maka sudah seharusnya pemerintah tidak meratifikasi perjanjian internasional tersebut. Apabila penolakan tersebut karena keadaan tidak dianggap genting, maka itu artinya masih dimungkinkan atau tersedia jangka waktu yang cukup untuk meratifikasi dengan undang-undang terhadap perjanjian internasional tersebut pada saat itu. Dengan demikian, sudah seharusnya dalam meratifikasi suatu perjanjian internasional, pemerintah harus lebih selektif dalam memasukkan perjanjian internasional ke dalam hukum nasional. Selain Perppu ratifikasi perjanjian internasional sebagai cara untuk mengatasi masalah kelambatan dalam proses ratifikasi dalam keadaan genting atau memaksa, namun juga penting diperhatikan bahwa pemerintah harus sangat teliti sebelum melakukan ratifikasi.
Saran yang dapat disampaikan dalam skripsi ini adalah Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional seharusnya mengatur secara lebih jelas dan baku khususnya mengenai prosedur, praktik, dan tata cara pengesahan/ratifikasi perjanjian internasional. Pemerintah harus sesegera mungkin untuk mempersiapkan rancangan undang-undang atau peraturan Presiden guna meratifikasi suatu perjanjian internasional setelah menyatakan sepakat dan mengikatkan diri dalam suatu perjanjian internasional tersebut sehingga tidak menimbulkan adanya keadaan mendesak di kemudian hari yang pada akhirnya untuk mengatasi situasi genting dimungkinkan untuk mengesahkan perjanjian internasional tersebut dengan Perppu karena meratifikasi dengan Perppu disini sebagai solusi ketika dalam keadaan kegentingan yang memaksa atau mendesak. Kemudian juga penting untuk harus teliti dalam mengkaji perjajian internasional yang akan diratifikasi, sehingga substansi atau aturan yang tercantum dalam perjanjian internasional tersebut dapat dijamin tidak akan berbenturan dengan aturan hukum yang berlaku di Indonesia.
Collections
- UT-Faculty of Law [6214]