Kedudukan Hukum Anak Luar Kawin Yang Tidak Diakui Terhadap Harta Waris Bapak Biologis
Abstract
Dewasa ini, perkawinan yang tidak dicatat lazimnya disebut perkawinan sirri.
Berdasarkan pada ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang
Perkawinan, bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, dan di dalam ayat (2)
ditentukan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundangundangan
yang berlaku. Berdasarkan pada rumusan ketentuan pasal tersebut,
maka untuk sahnya suatu perkawinan haruslah memenuhi ketentuan pasal tersebut
secara utuh.
Bertolak ukur dari adanya ketidakjelasan peraturan yang mengatur hak
keperdataan anak luar kawin menyangkut hak waris terhadap harta waris bapak
biologisnya. Mengingat batasan anak luar kawin itu sangat luas, di dalam
penulisan skripsi ini dibatasi mengenai anak luar kawin yang tidak diakui yang
lahir sebagai akibat dari perkawinan sirri yang dilakukan oleh bapak biologisnya.
Terdapat isu hukum yakni adanya suatu perkawinan sirri yang tidak diizinkan
oleh Pengadilan, meskipun hukum agama suami mengizinkannya.
Dampak perkawinan sirri ini banyak menimbulkan kerugian bagi isteri
terutama anaknya pada umumnya baik secara hukum maupun sosial. Secara
hukum isteri dianggap sebagai isteri yang tidak sah, sehingga tidak mempunyai
hak atas harta gono-gini jika terjadi perpisahan, dikarenakan secara hukum
perkawinan tersebut dianggap tidak pernah terjadi. Demikian pula anaknya
dianggap tidak mempunyai hubungan hukum dengan bapak biologisnya. Akan
tetapi hak dan kedudukan anak luar kawin pasca keluarnya Putusan Mahkamah
Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 status perdata yang juga melahirkan hubungan
saling mewaris antara anak yang dilahirkan di luar perkawinan terhadap bapak
biologisnya menjadi terlindungi oleh hukum dengan syarat apabila dibuktikan
dengan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain.
Collections
- UT-Faculty of Law [6214]