KEBIJAKAN FORMULASI ALAT BUKTI ELEKTRONIK DALAM UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA KORUPSI DAN UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
Abstract
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi berpengaruh terhadap
kompleksitas suatu tindak pidana, sehingga diperlukan adanya perlakuan khusus
dalam upaya pengungkapan tindak pidana salah satunya dengan menjadikan alat
bukti elektronik sebagai alat bukti yang sah. Secara legalitas pengakuan alat bukti
elektronik sebagai alat bukti yang sah dalam pembuktian tindak pidana pertama kali
diakui dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Kemudian diikuti oleh Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang
Tindak Pidana Pencucian Uang yang diganti dengan Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian
Uang. Meskipun kedua undang-undang tersebut mengakui secara legalitas alat
bukti elektronik sebagai alat bukti yang sah, namun keduanya memiliki bentuk
formulasi pengakuan yang berbeda. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengakui alat bukti elektronik sebagai
perluasan alat bukti petunjuk, sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang alat
bukti elektronik berdiri sendiri bukan bagian dari alat bukti yang lain.
Permasalahan yang diangkat dalam penulisan skripsi ini adalah pertama,
Apakah perbedaan kebijakan formulasi alat bukti elektronik dalam undang-undang
tindak pidana korupsi dan undang-undang tindak pidana pencucian uang ditinjau
dari ratio legis pembentuk undang-undang?. Kedua, Bagaimanakah implikasi
yuridis kebijakan formulasi alat bukti elektronik dalam undang-undang tindak
pidana korupsi dan undang-undang tindak pidana pencucian uang ditinjau dari
pemenuhan minimal alat bukti dalam Pasal 183 KUHAP?.
Metode penelitian skripsi ini menggunakan tipe penelitian yuridis normatif
yaitu suatu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah
atau norma-norma dalam hukum positif yang berlaku. Adapun pendekatan masalah
yang digunakan adalah dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan
(statute approach) dan pendekatan konsep (conseptual approach). Sumber bahan
hukum meliputi bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
Berdasarkan ratio legis pembentukan undang-undang tindak pidana korupsi
dan undang-undang tindak pidana pencucian uang yang diperoleh dari proses
pembahasan undang-undang tersebut tidak ada pembahasan mengenai alasan
mendasar terkait kedudukan alat bukti elektronik sebagai petunjuk dalam undangundang
tindak pidana korupsi serta alat bukti elektronik yang berdiri sendiri dalam
undang-undang tindak pidana pencucian uang. Pembentuk kedua undang-undang
tersebut hanya menjelaskan dua alasan mendasar dalam mengakui alat bukti
elektronik yaitu sebagai bentuk antisipasi dari perkembangan teknologi dan
informasi yang berpotensi dijadikan media dalam melakukan tindak pidana serta
sebagai upaya intensif untuk mengungkap tindak pidana. Dengan alasan yang sama
tanpa adanya alasan yang mendasar terhadap perbedaan kedudukan alat bukti
elektronik tersebut menunjukkan bahwa bentuk pengakuan alat bukti elektronik
merupakan kebijakan terbuka (open legal policy) bagi pembentuk undang-undang, sehingga kedudukan alat bukti elektronik dapat diubah dengan berdasarkan
pertimbangan yang strategis dalam mempercepat proses pengungkapan tindak
pidana. Perbedaan pengakuan alat bukti elektronik memiliki implikasi hukum yang
berbeda pula. Alat bukti elektronik sebagai perluasan alat bukti petunjuk dalam
undang-undang tindak pidana korupsi memiliki kedudukan yang berbeda dengan
alat bukti elektronik yang berdiri sendiri dalam undang-undang tindak pidana
pencucian uang. Alat bukti elektronik sebagai perluasan alat bukti petunjuk
memiliki kedudukan yang lebih lemah dari alat bukti lain yakni keterangan saksi,
surat, keterangan ahli maupun keterangan terdakwa. Hal ini didasarkan dari
karakteristik alat bukti petunjuk. Sebagaimana alat bukti petunjuk umumnya, alat
bukti elektronik dalam pembuktiannya hanya dapat digunakan dalam keadaan yang
sangat mendesak apabila hakim belum mendapat alat bukti minimum atau belum
mendapatkan keyakinan atas suatu tindak pidana. Alat bukti elektronik sebagai
perluasan alat bukti petunjuk juga menjadikan alat bukti elektronik sebagai alat
bukti tidak langsung (circumtantial evidence) yang hanya bersifat sebagai
pelengkap (accesories evidence) yang baru dapat digunakan apabila memiliki
persesuaian dengan alat bukti petunjuk lainnya. Di sisi lain alat bukti elektronik
sebagai alat bukti petunjuk membawa konsekuensi bahwa alat bukti ini hanya
didasarkan pada penilaian hakim sehingga keputusan untuk menyandarkan
putusannya terhadap alat bukti elektronik menjadi otoritas penuh dari hakim
tersebut. Sedangkan alat bukti yang berdiri sendiri dalam undang-undang tindak
pidana pencucian uang bersifat mandiri yang tidak terikat dengan alat bukti lain
dalam penggunaannya. Apabila alat bukti elektronik tersebut telah memenuhi
syarat materiil dan syarat formil maka alat bukti tersebut dapat langsung digunakan
sebagai alat bukti yang sah. Ditinjau dari prinsip minimum pembuktian, alat bukti
elektronik yang berdiri sendiri telah memenuhi satu alat yang sah sedangkan alat
bukti elektronik sebagai perluasan alat bukti petunjuk masih harus memiliki
kesesuaian dan keterkaitan dengan alat bukti lain untuk dapat dijadikan alat bukti
yang sah.
Collections
- UT-Faculty of Law [6214]
Related items
Showing items related by title, author, creator and subject.
-
Kajian Yuridis Pemberlakuan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, pada Peristiwa Peledakan Bom di Bali Tanggal 12 Oktober 2002 menjadi Undang-undang
KUNCORO, NDARU JOKO (2015-12-07)Negara Indonesia secara resmi mengakui adanya simpul jaringan teroris ketika terjadinya peledakan bom di beberapa tempat, puncaknya yang terjadi di Legian Kuta Bali pada tanggal 12 oktober 2002 sehingga pemerintah menerbitkan ... -
STUDI PERBANDINGAN WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI
ADITYA PUTRA PRATAMA (2014-01-22)Berdirinya lembaga Mahkamah Konstitusi diawali dengan diadopsinya ide Constitutional Court dalam amandemen konstitusi yang dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tahun 2001 sebagaimana dirumuskan dalam ... -
HAK UJI MATERIAL UNDANG-UNDANG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR 1945 OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI
JULIATMOKO, Purcahyono (2015-11-19)Pembentukan Mahkamah Konstitusi merupakan hal yang sangat penting bagi kebutuhan daya dukung proses hukun yang sedang berjalan di Indonesia. Proses hak uji material undang-undang oleh Mahkamah Konstitusi termuat dalam ...