KEABSAHAN PERJANJIAN JUAL BELI HAK MILIK ATAS TANAH OLEH ORANG YANG TIDAK BERHAK TERHADAP HARTA AHLI WARIS YANG CACAT MENTAL
Abstract
Perjanjian jual beli merupakan bentuk peralihan hak yang paling banyak
terjadi di dalam masyarakat. Jual beli dapat diartikan sebagai perjanjian timbal
balik yaitu pihak yang satu sebagai penjual berjanji menyerahkan hak milik atas
suatu barang, sedangkan pihak yang lainnya berjanji untuk membayar harga yang
terdiri dari sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan hak milik tersebut. Jual
beli tanah pada hakikatnya merupakan salah satu pengalihan hak atas tanah dari
penjual kepada pembeli tanah, tetapi peralihan hak pemilikan itu dapat terjadi
karena faktor hukum misalnya dengan cara penerusan dalam hal ini dicontohkan
dengan peristiwa hukum yang berupa pewarisan, karena segala harta kekayaan
seseorang dapat beralih menjadi harta warisan sejak orang tersebut meninggal
dunia. Suatu perjanjian harus memenuhi syarat sahnya perjanjian yang tercantum
dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu: kesepakatan mereka yang mengikatkan
dirinya, kecakapan untuk membuat suatu perikatan, suatu pokok persoalan
tertentu, dan suatu sebab yang tidak dilarang. Selain itu Jual beli hak milik atas
atas tanah juga harus memenuhi ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) serta Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah
yang telah diubah menjadi Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran tanah. Perjanjian jual beli hak milik atas tanah harus memenuhi syarat
sah dan ketentuan-ketentuan yang telah ditentukan dalam peraturan perundangundangan,
apabila syarat sahnya perjanjian dan ketentuan perjanjian jual beli atas
tanah tidak terpenuhi, maka akan mengakibatkan perjanjian tersebut dapat
dibatalkan atau batal demi hukum. Pada kasus yang dikaji penulis jual beli hak
milik atas tanah tersebut dilakukan oleh orang yang tidak berhak terhadap tanah
warisan yang dimiliki oleh ahli waris yang cacat mental. Kasus tersebut bermula
ketika, saudara tertua dari ahli waris yang menderita cacat mental menjual tanah
tegal dan sawah (warisan) peninggalan orang tuanya dengan alasan untuk
memenuhi biaya hidup sehari-hari adiknya yang menderita gangguan jiwa. Tanah
tegal dan sawah tersebut padahal merupakan bagian dari harta warisan yang
diberikan oleh kedua orang tuanya untuk adiknya yang menderita cacat mental,
sebagaimana yang pernah di ceritakan orang tuanya kepada beberapa kerabat
sebelum meninggal. Pembagian harta tersebut dilakukan secara lisan sesuai
dengan kebiasaan masyarakat setempat. Perjanjian jual beli atas tanah warisan
tersebut dilakukan tanpa adanya persetujuan dari ahli waris yang mengalami cacat
mental yang mempunyai hak atas tanah warisan tersebut serta tanpa adanya
penetapan yang dikeluarkan pengadilan yang menetapkan saudara tertua dari ahli
waris yang menderita cacat mental sebagai pengampu dari adiknya yang
menderita cacat mental.
Collections
- UT-Faculty of Law [6263]