PEMBATALAN PERKAWINAN KARENA TIDAK ADANYA IZIN POLIGAMI DARI ISTRI (Studi Putusan Pengadilan Agama Medan No: 255/Pdt.G/2012/PA.Mdn)
Abstract
Penulisan skripsi ini pada dasarnya dilatar belakangi oleh adanya suatu gugatan pembatalan perkawinan di Pengadilan Agama Medan, dengan Nomor Putusan 255/Pdt.G/2012/PA.Mdn. Penggugat dan Tergugat I adalah pasangan suami istri yang sah menikah pada hari Kamis tanggal 10 Maret 2011, sesuai dengan Kutipan Akta Nikah No. 140/25/II1/2011 yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama Kecamatan Medan Sunggal tanggal 14 Maret 2011. Sebelum Penggugat dan Tergugat I menikah sebagaimana diatas, Penggugat berstatus seorang janda dengan memiliki 1 (satu) orang anak, dan Tergugat I berstatus duda dengan memiliki 3 (tiga) orang anak, namun selama perkawinan Penggugat dengan Tergugat I sampai dengan sekarang hampir 1 (satu) tahun belum dikaruniai anak. Pada sekitar bulan Nopember 2011, Penggugat mendapat pesan melalui Handphone yang menyebutkan Tergugat I telah menikah dengan Tergugat II di Ciputat Tangerang. Mulanya Penggugat sangat tidak percaya Tergugat I telah menikah dengan Tergugat II karena pernikahan Penggugat dengan Tergugat I baru terhitung bulanan dan hubungan Penggugat dan Tergugat I dalam keadaan harmonis, namun begitupun Penggugat berusaha mencari kebenaran dengan menyelidiki hal itu, yang ternyata benar Tergugat I telah menikah dengan Tergugat II pada tanggal 30 Oktober 2011, sesuai dengan Akta Nikah No.1708/120/X/2011 yang diterbitkan oleh Kantor Urusan Agama Ciputat Tangerang tanggal 31 Oktober 2011 (Turut Tergugat). Berdasarkan latar belakang tersebut penulis mengambil judul “PEMBATALAN PERKAWINAN KARENA TIDAK ADANYA IZIN POLIGAMI DARI ISTRI (Studi Putusan Pengadilan Agama Medan Nomor 255/Pdt.G/2012/PA.Mdn)”. Penulis merumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut : Pertama, bagaimana perkawinan poligami tanpa adanya izin poligami dari istri ditinjau dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ? Kedua, apa akibat hukum pembatalan perkawinan karena tidak adanya izin poligami dari istri ? Ketiga, apa pertimbangan hukum hakim dalam putusan Nomor 255/Pdt.G/2012/PA.Mdn yang mengabulkan gugatan tentang pembatalan perkawinan ?. Tujuan dari penulisan skripsi ini terdiri dari tujuan umum guna untuk meraih gelar sarjana hukum dan tujuan khusus untuk mengetahui dan memahami perkawinan poligami tanpa adanya izin istri ditinjau menurut UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, mengetahui dan memahami akibat hukum pembatalan perkawinan karena tidak adanya izin dari istri, mengetahui dan memahami pertimbangan hukum hakim dalam putusan Nomor 255/Pdt.G/2012/PA.Mdn. Metode penelitian meliputi tipe penelitian yang bersifat yuridis normatif, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Bahan hukum yang digunakan meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum sekunder dengan menggunakan analisa bahan hukum secara deduktif. Tinjauan pustaka dari skripsi ini membahas mengenai pertama yaitu perkawinan, berisi pengertian dan dasar hukum perkawinan, syarat dan rukun perkawinan. Kemudian yang kedua yakni mengenai pembatalan perkawinan yang berisi, pembatalan perkawinan, pihak yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan, alasan pembatalan perkawinan. Ketiga poligami yang berisi pengertian dan dasar hukum poligami, batasan dan syarat poligami. Keempat putusan, yang berisi pengertian dan macam-macam putusan. Yang semuanya dikutip oleh penulis dari beberapa sumber bacaan maupun perundang-undangan yang ada di Indonesia, serta berada dalam Al-Qur’an Pembahasan dari skripsi ini yang pertama mengenai perkawinan poligami tanpa adanya izin istri ditinjau dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Kemudian yang kedua mengenai akibat hukum pembatalan perkawinan karena tidak adanya izin poligami dari istri. Ketiga pertimbangan hukum hakim dalam mengabulkan gugatan dalam putusan Nomor 255/Pdt.G/2012/PA.Mdn. Pertama, perkawinan poligami tanpa adanya persetujuan dari istri jika ditinjau menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, adalah sangat melanggar ketentuan-ketentuan yang ada di Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yakni Pasal 3 ayat 2, Pasal 4 dan Pasal 5 karena untuk melakukan perkawinan poligami harus ada izin dari Pengadilan Agama yang mana salah satu syaratnya adalah dengan adanya persetujuan istri/istri-istri dan dengan syarat-syarat yang sudah ditentukan oleh perundang-undangan yakni Pasal 5 ayat 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan serta Pasal 58 Kompilasi Hukum Islam. Kedua, Akibat hukum adanya pembatalan perkawinan poligami karena tidak adanya izin dari istri pertama adalah perkawinan yang telah terjadi tersebut dianggap tidak pernah ada dan Akta Nikah yang sebelumnya otentik menjadi tidak mempunyai kekuatan hukum tetap. Suami istri yang perkawinannya telah dibatalkan tidak lagi memilik hak dan kewajiban sebagai suami istri. Harta bersama dibagi seperdua masing-masing pihak suami istri. Namun pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap : a. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut; b. Suami atau istri yang bertindak dengan itikad baik, kecuali terhadap harta bersama bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu; c. Orang-orang ketiga lainnya termasuk dalam a dan b sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan itikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap. Ketiga, Pertimbangan hukum yang digunakan Majelis Hakim dalam memutus perkara pembatalan perkawinan karena tidak adanya izin poligami dari istri yaitu mendasarkan putusannya pada ketentuan hukum perkawinan dan perundang-undangan yang berlaku di Peradilan Agama. Dalam putusan ini, majelis hakim memperhatikan beberapa pertimbangan, yakni Penggugat berkapasitas mengajukan pembatalan nikah, majelis hakim telah berupaya untuk mendamaikan kedua belah pihak namun tidak berhasil, salah satu pihak masih terikat perkawinan yang sah dan belum pernah bercerai, pokok gugatan pembatalan perkawinan poligami tersebut karena perkawinan dilakukan tanpa persetujuan istri sebagai istri pertama dan tanpa izin Pengadilan Agama, untuk melakukan perkawinan poligami suami telah melakukan pemalsuan dokumen, serta untuk batalnya suatu perkawinan harus dinyatakan melalui putusan pengadilan. Saran dari skripsi ini adalah ditujukan kepada Pertama, kepada pemerintah, Hendaknya kepada pemerintah agar dilakukan penyempurnaan terhadap Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, untuk mempertegas ketentuan dan syarat-syarat dalam melakukan perkawinan poligami dan memberi sanksi tegas apabila melanggarnya kemudian agar melakukan penyuluhan atau sosialisasi terkait perkawinan, syarat-syarat, ketentuan apa saja yang diperbolehkan serta tidak diperbolehkan dalam melakukan perkawinan. Serta tidak melakukan poligami yang mereka anggap sah atau diperbolehkan tetapi Undang-undang menentukan lain. Kedua, kepada masyarakat, terutama kepada wanita agar berhati-hati sebelum melakukan perkawinan, calon istri maupun calon suami harus berhati-hati dan cermat meneliti mengenai status dari calon suami maupun istri. Selain itu juga Pegawai Pencatat Nikah harus lebih berhati-hati dalam memeriksa syarat-syarat, dan rukun-rukun perkawinan, untuk menghindari perkawinan yang cacat rukun dan syarat, agar tidak terjadi pembatalan di kemudian hari.
Collections
- UT-Faculty of Law [6214]