TINJAUAN YURIDIS TENTANG STATUS KEWARGANEGARAAN ANAK SEBAGAI AKlBAT PERKAWINAN CAMPURAN SEBELUM DAN SESUDAH BERLAKUNYA UU NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA
Abstract
Berdasarkan hasil pembahasan sebagaimana yang telah diuraikan tersebut diatas, maka dapatlah ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Perkawinan campuran dapat berakibat seseorang mendapat kewarganegaraan Indonesia atau dapat kehilangan kewarganegaraan Indonesia; hal ini juga berlaku terhadap anak-anak dari hasil perkawinan campuran, bisa mendapatkan kewarganegaraan kedua orang tuanya baik dari ibu maupun bapaknya; apabila masing-masing pihak tetap mempertahankan kewarganegaraannya, maka akan mempengaruhi status kewarganegaraan anak-anak hasil perkawinan tersebut ;
2. Undang Undang Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan R.I. yang telah diamandemen oleh UU Nomor 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI., dibentuk tanpa adanya pemahaman mengenai konsep filsafat hukum kewarganegaraan, sehingga muatannya tidak lebih dari bagaimana memperoleh kewarganegaraan, kehilangan kewarganegaraan dan mempertahankan kewarganegaraan tunggal; hal ini otomatis menimbulkan diskriminasi dan bias gender. Status kewarganegaraan anak yang dilahirkan dari kawin campur akan lebih ditentukan dari sang ayah; hal ini menimbulkan subdinarsi perempuan terhadap pria, karena perempuan tidak dapat menentukan kewarganegaraan anaknya; selain itu perempuan akan kehilangan kewarganegaraannya jika sang suami meninggal atau bercerai; UU ini menyebabkan perempuan dan anak-anak akan mengalami kekerasan rumah tangga; UU tersebut juga berpotensi merusak keutuhan rumah tangga keluarga yang dikarenakan perempuan dapat kehilangan hak pengasuhan anak karena perpisahan, bila suami Warga Negara Asing kehilangan pekerjaannya di Indonesia, maka suami dan anak harus keluar dari Indonesia; UU tersebut juga menyebabkan anak tidak secara otomatis mendapatkan hak asuh dari ibunya, karena status kewarganegaraannya yang berbeda dengan ibunya; dan dapat disimpulkan. UU yg lama ini masih ada diskriminasi gender dalam keimigrasian yg secara yuridis sebenarnya bertentangan dg konstitusi.
3. UU No. 12 thn 2006 tentang kewarganegaraan RI telah membawa perubahan dg meminimalisir masalah diskriminasi gender dan dikotomi ras. Status kewarganegaraan seseorang ditentukan status yuridis, bukan etnis dan ras. Dg demikian, perdebatan yg diskriminatif dan konfliktif ttg asli dan tidak asli sudah ditutup. Tak ada lagi pemojokan atas etnis tertentu di negri ini. Semua etnis dan komunitas, scr yuridis memiliki tanah yg sama. UU ini menegaskan, anak yg lahir dr ibu orang Indonesia dan ayah org asing tidak otomatis mengikuti warga negara ayahnya. Bahkan, pd saat yg bersamaan anak boleh menjadi warga negara Indonesia dan warga negara ayahnya hingga usia 18 thn. Stlh itu sang anak boleh menentukan kewarganegaraan yg dipilih. Dlm perspektif ini, kita menganut prinsip kewarganegaraan ganda terbatas. Selain itu, perempuan Indonesia yg menikah dg pria asing tidk otomatis ikut kewarganegaraan suami spt UU sebelumnya, ia bias tetap menjadi warga Negara Indonesia. Bahkan ia bias menjadi sponsor suaminya untuk memiliki status Permanent residence (Warga Negara Indonesia).
Collections
- UT-Faculty of Law [6214]