KEABSAHAN PERCERAIAN YANG SUDAH DIPERJANJIKAN DI DALAM PERKAWINAN
Abstract
Penulisan skripsi ini pada dasarnya dilatarbelakangi oleh adanya suatu kasus perkawinan yang dilaksanakan oleh Firza Amirah (si A) dengan Taufik Hasan Babeher (si B). Selama perkawinan tersebut berlangsung diketahui antara si A dan si B sering sekali terjadi perselisihan yang menimbulkan pertengkaran diantara keduanya, pertengkaran tersebut selalu disertai dengan kekerasan yang dilakukan oleh si A terhadap si B yang tidak lain adalah istri si A. Tidak ada yang mengetahui perbuatan tersebut, karena si B selalu menutupi perbuatan tersebut dari keluarganya dengan maksud agar tidak ada yang mengetahuinya dan berharap suaminya akan berubah dan tidak melakukan kekerasan lagi. Tetapi kekerasan tersebut terus berlangsung selama perkawinan, dan pada bulan Januari 2016 si A meminta ijin kepada si B untuk menikah lagi dengan wanita lain, akan tetapi si B tidak mengijinkan, hal tersebut menimbulkan pertengkaran diantara si A dan si B. Pertengkaran tersebut terus memuncak, hingga pada bulan April tahun 2016 dengan sepengetahuan dari si A, si B bersama anaknya pergi dari kediaman orang tua si A dan pulang ke rumah orang tua si B karena sudah merasa tidak tahan lagi dengan perbuatan si A terhadapnya. Setelah 5 bulan hidup terpisah, akhirnya si B bermaksud untuk menggugat cerai suaminya dengan alasan suaminya hendak menikah lagi dan juga sering mendapat kekerasan dari suaminya dan si B akan menuntut hak asuh anak dari perkawinan tersebut. Si A menolak alasan perceraian tersebut dan si A membuat perjanjian dengan si B secara lisan dihadapan keluarga si A yang isinya bahwa si B dapat menggugat cerai si A dan hak asuh anak akan diberikan kepada si B, jika si B menggugat cerai si A hanya dengan alasan sering terjadi perselisihan saja. Si B tidak boleh menggugat cerai si A dengan alasan si A hendak menikah lagi ataupun dengan alasan kekerasan yang telah dia lakukan kepada si B selama perkawinan berlangsung, jika si B tetap mengajukan gugatan cerai dengan alasan tersebut maka si A mengancam akan merebut hak asuh atas seorang anak perempuan mereka. Perjanjian tersebut kemudian disepakati oleh si B demi untuk memperoleh hak asuh atas seorang anak perempuan yang lahir dalam perkawinan tersebut. Si B memperkuat perjanjian secara lisan tersebut dengan membuat perjanjian tertulis yang berisikan si B akan menggugat cerai si A dengan alasan sering terjadi perselisihan dan hak asuh anak akan jatuh pada si B dan si B menyetujui perjanjian tersebut, saat ini si B telah mengajukan gugatan cerai terhadap si A dengan alasan sering terjadinya perselisihan dalam perkawinan mereka pada Pengadilan Agama Kabupaten Jember. Berdasarkan latar belakang tersebut penulis mengambil judul “KEABSAHAN PERCERAIAN YANG SUDAH DIPERJANJIKAN DI DALAM PERKAWINAN”. Penulis merumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut : pertama, apakah perjanjian yang berisi perceraian bersyarat pada saat para pihak masih terikat perkawinan tidak bertentangan dengan syarat sah perjanjian? Kedua, apakah akibat hukum perjanjian yang berisi perceraian bersyarat bagi para pihak?. Tujuan dari penulisan skripsi ini terdiri dari tujuan umum dan tujuan khusus. Metode penelitian meliputi tipe penelitian yang bersifat yuridis normatif, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan undang-undang (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Bahan hukum yang digunakan meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum sekunder dengan menggunakan analisa bahan hukum sebagai langkah terakhir.
Tinjauan pustaka dari skripsi ini membahas mengenai pertama yaitu terdiri dari perkawinan, pengertian dan dasar hukum perkawinan, rukun dan syarat perkawinan yang mana pengertian-pengertian ini dikutip oleh penulis dari beberapa sumber bacaan maupun perundang-undangan yang ada di Indonesia, serta berada dalam Al-Qur’an dan Hadist. Kemudian yang kedua yakni mengenai perjanjian, pengertian dan asas-asas perjanjian, unsur-unsur dan jenis perjanjian yang dikutip oleh penulis dari dari beberapa sumber bacaan maupun perundang-undangan yang ada di Indonesia. Kemudian yang ketiga terdiri dari perceraian, pengertian dan dasar hukum perceraian, bentuk perceraian yang dikutip oleh penulis dari beberapa sumber bacaan maupun perundang-undangan yang ada di Indonesia.
Pembahasan dari skripsi ini yang pertama mengenai perjanjian yang berisi perceraian bersyarat pada saat pihak masih terikat perkawinan apakah tidak bertentangan dengan syarat sah perjanjian. Kemudian yang kedua mengenai akibat hukum perjanjian yang berisi perceraian bersyarat bagi para pihak.
Adapun kesimpulan dalam skripsi ini adalah Setiap perjanjian yang akan dibuat, harus memenuhi syarat-syarat perjanjian serta tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, serta ketertiban umum. Pada kasus di atas terdapat beberapa hal yang bertentangan dengan syarat-syarat perjanjian. Pada syarat yang pertama yakni kesepakatan, terdapat suatu paksaan yang membuat kesepakatan tersebut memiliki cacat kehendak. Kesepakatan yang dinyatakan didasari oleh adanya suatu paksaan dari pihak suami, yang membuat pihak istri menyetujui perjanjian tersebut dengan keterpaksaan karena takut kehilangan hak asuh atas anak yang lahir dari perkawinan mereka. Selain terdapat unsur paksaan, perjanjian tersebut juga bertentangan dengan pasal 34 (ayat) 3 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pada perjanjian dalam kasus di atas terdapat batasan dalam pengajuan gugatan cerai yang diajukan oleh si istri. Hal tersebut menunjukkan bahwa kesepakatan atas perjanjian tersebut melanggar undang-undang serta hak istri untuk menggugat cerai suaminya karena telah lalai dalam melaksanakan kewajibannya sebagai suami. Pada perjanjian tersebut syarat “kesepakatan para pihak” dan syarat “kausa yang halal” tidak terpenuhi, yang mana dalam perjanjian tersebut terdapat cacat kehendak pada syarat “kesepakatan”. Cacat kehendak tersebut membuat perjanjian tidak memenuhi syarat subjektif yang berakibat perjanjian tersebut dapat dibatalkan. Kesepakatan yang terdapat cacat kehendak dapat diajukan pembatalan perjanjian, tetapi pembatalan perjanjian tersebut tidak dapat diajukan lagi, karena pihak istri telah memperkuat perjanjian tersebut dalam bentuk tertulis. Hal tersebut membuat pembatalan perjanjian menjadi gugur, dan perjanjian tetap berjalan. Selanjutnya, dalam perjanjian tersebut terdapat unsur yang bertentangan dengan syarat “kausa yang halal. Pada perjanjian tersebut bertentangan dengan pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pada perjanjian di atas, pihak istri hanya boleh mengajukan gugatan cerai terhadap suaminya dengan alasan sering terjadi perselisihan saja. Pihak istri, seharusnya mendapat hak untuk mengajukan gugatan cerai terhadap suaminya atas kelalaian suaminya dalam menjalankan kewajibannya sebagai suami. Akibat hal tersebut, perjanjian di atas menjadi batal demi hukum, karena dalam perjanjian tersebut tidak terpenuhinya syarat objektif. Perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada oleh hukum, perjanjian tersebut batal dengan sendirinya tanpa perlu adanya pembatalan.
Collections
- UT-Faculty of Law [6214]