dc.description.abstract | Pasal 56 KUHAP mengatur bahwa pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan wajib menunjuk Penasihat Hukum bagi tersangka atau terdakwa yang tidak memiliki Penasihat Hukum sendiri, namun pada kenyataannya pejabat yang bersangkutan masih banyak yang melakukan penyimpangan terhadap ketentuan tersebut. Penulisan hukum ini bertujuan untuk mengetahui implikasi hukum terhadap penyimpangan ketentuan Pasal 56 KUHAP dan untuk menemukan upaya preventif yang dapat dilakukan apabila terjadi penyimpangan ketentuan Pasal 56 KUHAP di semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif atau penelitian hukum doktrinal yang bersifat preskriptif dan terapan dengan pendekatan peraturan perundang-undangan, pendekatan perbandingan, dan pendekatan konseptual. Penelitian ini menggunakan sumber bahan hukum primer dan sekunder. Teknik pengumpulan bahan hukum menggunakan studi pustaka dengan teknik analisis yang digunakan yaitu metode silogisme yang menggunakan pola berpikir deduktif.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa penyimpangan terhadap ketentuan Pasal 56 KUHAP menimbulkan implikasi hukum berupa berkas-berkas acara tidak sah dan oleh karena itu putusan dapat batal demi hukum. Hal ini didasarkan pada yurisprudensi Mahkamah Agung pada 16 September 1993 Putusan Nomor 1565K/Pid.B/1991, akan tetapi sifat yurisprudensi tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sehingga boleh dilaksanakan dan boleh juga tidak dilaksanakan. Adapun upaya preventif atau pencegahan terhadap penyimpangan ketentuan Pasal 56 KUHAP dapat dilakukan melalui optimalisasi keberadaan Penasihat Hukum di dalam maupun di luar lembaga peradilan, revisi KUHAP, dan pendidikan hukum kepada masyarakat. | en_US |