dc.description.abstract | Pemberian kuasa mutlak tersebut dalam praktek menjadi suatu klausul dan
syarat yang umumnya dicantumkan dalam akta-akta perjanjian yang dibuat oleh
para notaris sebagai partai akta, salah satu diantaranya adalah akta perjanjian
pengikatan jual beli, dimana dalam prakteknya sering timbul masalah jika kuasa
tersebut dilakukan oleh penjual kepada pembeli, sebagai bagian dari perjanjian
pengikatan jual beli itu sendiri. Adapun pemberian kuasa mutlak khususnya
terhadap tanah dalam akta perjanjian pengikatan jual beli yang pada hakekatnya
adalah pengalihan hak tidak bertentangan dengan Pasal 37 jo Pasal 38 jo Pasal 39
Peraturan Pemerintah 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Peralihan dan
Pembebanan Hak. Lebih lanjut kuasa mutlak disebutkan dalam Instruksi Mendagri
Nomor 14 tahun 1982 tanggal 6 Maret 1982. Berdasarkan uraian latar belakang di
atas maka penulis tertarik untuk mengkaji lebih lanjut mengenai kuasa mutlak
sebagai dasar dalam pemindahan hak atas tanah. Rumusan masalah yang akan
dibahas adalah : (1) Apakah makna dan tujuan dibuatnya kuasa mutlak ? ; (2)
Apakah kuasa mutlak dapat digunakan sebagai dasar pemindahan hak atas tanah ?
dan (3) Bagaimana keabsahan penggunaan kuasa mutlak sebagai pemindahan hak
atas tanah. Tujuan umum penulisan ini adalah : untuk memenuhi syarat-syarat dan
tugas guna mencapai gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas
Jember, menambah wawasan ilmu pengetahuan dalam bidang hukum khususnya
hukum lingkup hukum perdata.
Tujuan khusus dalam penulisan adalah untuk memahami dan mengetahui :
(1) makna dan tujuan dibuatnya kuasa mutlak (2) kuasa mutlak sebagai dasar
pemindahan hak atas tanah dan (3) keabsahan penggunaan kuasa mutlak sebagai
pemindahan hak atas tanah. Metode penelitian dalam penulisan skripsi ini
menggunakan tipe penelitian yuridis normatif, artinya permasalahan yang diangkat,
dibahas dan diuraikan dalam penelitian ini difokuskan dengan menerapkan kaidahkaidah
atau norma-norma dalam hukum positif. Pendekatan masalah menggunakan
pendekatan undang-undang, pendekatan konseptual dan studi kasus dengan bahan
hukum yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder dan bahan non hukum.
Analisa bahan penelitian dalam skripsi ini menggunakan analisis normatif
kualitatif. Guna menarik kesimpulan dari hasil penelitian yang sudah terkumpul
dipergunakan metode analisa bahan hukum deduktif.
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa, Pertama Maksud
dan tujuan adanya kuasa mutlak adalah sebagai bentuk persetujuan dengan mana
seorang memberi kekuasaan kepada seseorang lain, yang menerimanya, untuk atas
namanya menyelenggarakan suatu urusan. Berdasarkan Instruksi Menteri Dalam
Negeri Nomor 14 Tahun 1982, tanggal 6 Maret 1982 tentang larangan penggunaan
kuasa mutlak sebagai pemindahan hak atas tanah, kuasa mutlak itu harus
mempunyai 3 unsur yaitu : (1) Objek dari kuasa itu adalah tanah, (2) Kuasa tersebut
mengandung unsur tidak dapat ditarik kembali oleh pemberi kuasa dan (3) Kuasa
tersebut memberikan kewenangan kepada penerima kuasa untuk menguasai dan
menggunakan tanah serta melakukan perbuatan hukum yang menurut hukum hanya
dapat dilakukan oleh pemegang haknya, dan pada hakekatnya merupakan suatu hak
atas tanah. Kedua, Kuasa mutlak sebagai tindak lanjut dari perjanjian pendahuluan
dalam peralihan hak atas tanah masih dapat diberlakukan karena belum terpenuhinya syarat-syarat untuk melangsungkan jual beli dihadapan Pejabat
Pembuat Akta Tanah (PPAT). Para pihak yaitu pihak penjual dan pembeli untuk
sementara dapat menunda pembayaran pajak sampai batas yang dikehendaki
mereka atas pajak penghasilan (PPh) yang diwajibkan oleh penjual berdasarkan
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 bagi pihak pembeli yaitu pajak atas bea
perolehan hak atas tanah dan bangunan berdasarkan Undang-Undang Nomor 21
tahun 2001. Dengan dikeluarkannya Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor
14/1982, terdapat kemacetan dalam pengurusan surat-surat tanah yang memakan
waktu cukup lama, sehingga pemakaian kuasa mutlak sangat diperlukan, hanya saja
harus disesuaikan dengan isi Surat Direktur Jenderal Agraria Nomor
594/1492/AGR tanggal 31 Maret 1982 dan isi Instruksi Menteri Dalam Negeri
Nomor 14/1982. Hal tersebut menyebabkan terdapat banyak macam akta mengenai
kuasa mutlak dalam perjanjian jual beli seperti misalnya akta kuasa dibuat terpisah
dari akta perjanjian jual belinya. Ketiga, Kedudukan kuasa mutlak dalam peralihan
hak atas tanah yang dibuat dihadapan Notaris tidak pernah dilarang oleh Undang-
Undang dan masih sangat dibutuhkan di kalangan masyarakat. Klausula “…tidak
dapat dicabut kembali…” haruslah tercantum secara jelas dalam suatu akta kuasa
mutlak dan menjadi satu kesatuan dengan akta perjanjian jual beli untuk
menghindari terjadinya masalah dikemudian hari. Instruksi Menteri Dalam Negeri
Nomor 14/1982 menyebutkan tentang kuasa mutlak yang dibenarkan dan kuasa
mutlak yang tidak dibenarkan. Kuasa mutlak yang dibenarkan adalah kuasa mutlak
yang tertera dalam akta yang dibuat dihadapan notaris Pasal 3 Akta Perikatan Jual
Beli, kuasa mutlak yang tertera dalam akta yang dibuat dihadapan PPAT Akta Jual
Beli, kuasa mutlak yang tercantum dalam APHT dan hipotik. Kuasa mutlak yang
tidak dibenarkan adalah surat kuasa yang objek kuasa adalah tanah, surat kuasa
tidak boleh dicabut atau dibatalkan walaupun oleh Pasal 1813 KUHPerdata,
penerima kuasa sudah bertindak seakan-akan pemilik.
Saran yang dapat diberikan bahwa, Pertama Disarankan agar Notaris/PPAT
diberi pengetahuan yang benar tata cara dalam pemakaian kuasa mutlak yang
mengikuti perjanjian jual beli. Karena masih sangat dibutuhkan sebaiknya klausula
“kuasa tidak dapat dicabut kembali” haruslah tetap dipakai dalam pemakaian kuasa
mutlak. Hal tersebut untuk menjaga kepentingan pihak pembeli dan ketertiban
hukum tetap terjaga. Dan alangkah baiknya eksistensi kuasa mutlak sesuai dengan
Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 tahun 1982 diatur tersendiri dan secara
rinci. Kedua kepada Notaris dalam membuat akta perjanjian yang menggunakan
kuasa mutlak harus lebih berhati-hati dan harus lebih jeli dalam melihat
kepentingan pihak penjual maupun pembeli. Notaris/PPAT dalam melaksanakan
tugas jabatannya berkewajiban untuk memberikan penerangan-penerangan yang
lengkap dan jelas mengenai akibat-akibat hukum dari tiap-tiap perjanjian yang
dibuatnya, serta dalam hal memberikan pelayanan dan jasa kepada pihak-pihak
sejauh mungkin menghindarkan terjadinya sengketa dikemudian hari agar
terciptanya suatu kepastian hukum khususnya dibidang pertanahan sesuai dengan
peraturan pemerintah yang berlaku. | en_US |