Show simple item record

dc.contributor.advisorMA'RUFI, Isa
dc.contributor.advisorMOELIYANINGRUM, Anita Dewi
dc.contributor.authorMUFTI, M. Iqbal Hanif
dc.date.accessioned2017-10-24T10:45:08Z
dc.date.available2017-10-24T10:45:08Z
dc.date.issued2017-10-24
dc.identifier.nim122110101070
dc.identifier.urihttp://repository.unej.ac.id/handle/123456789/82592
dc.description.abstractBelerang melimpah dibeberapa daerah salah satunya adalah di Jawa Timur yaitu di Gunung Ijen, Kabupaten Banyuwangi. Belerang yang dihasilkan dari aktivitas vulkanik berupa belerang dioksida (SO2) atau sebagai hidrogen sulfida (H2S), yang dapat teroksidasi menjadi belerang dioksida dan sulfat di atmoster. Belerang dioksida dapat dideteksi oleh indera manusia bila konsentrasinya antara 0,3-1 ppm. Belerang dioksida pada lokasi pemurnian dihasilkan dari proses pembakaran belerang. Sulfur dioksida dapat menyebabkan iritan membran mukosa akut, iritasi saluran pernapasan. Dampak kronis yang dapat disebabkan oleh belerang dioksida dapat menyebabkan gangguan pernapasan dan beresiko menjadi Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK). Penyakit Paru Obstruktif Kronik dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu, kebiasaan merokok, hiperaktivitas bronkus, infeksi saluran napas berulang, dan defisiensi antitripsin alfa-1. Penyakit paru obstruktif kronik biasanya ditandai dengan gejala batuk kronik, batuk berdahak, dan sesak saat melakukan aktivitas. Masa kerja dan penggunaan alat pelindung diri berpengaruh terhadap munculnya gejala Penyakit Paru Obstruktif Kronik pada pekerja. Kontak pekerja dengan belerang dioksida terjadi selama proses pemurnian belerang, mulai dari pemasakan, penyaringan, dan pengkristalan. Hal tersebut menyebabkan pekerja terpapar oleh belerang dioksida selama bekerja di lokasi pemurnian belerang PT. Candi Ngrimbi. Kadar SO2 sangat berpengaruh terhadap kemungkinan terjadinya Penyakit Paru Obstruktif Kronik. Menurut SNI 19-0232 nilai ambang batas SO2 adalah 5,2 mg/m3. Pengukuran kadar SO2 dilakukan pada tiga titik dan dilakukan pada saat jam kerja yaitu pukul 11.00-12.00 WIB. Keterbatasan alat pelindung diri yang dimilki oleh pekerja menyebabkan pekerja lebih rentan mengalami Penyakit Paru Obstruktif Kronik. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan faktor individu, faktor pekerjaan dan gejala penyakit paru obstruktif kronik pada pekerja bagian pemurnian belerang. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Populasi pada penelitian ini adalah seluruh pekerja pada pemurnian belerang PT. Candi Ngrimbi yaitu sebanyak 24 orang dengan kriteria ekslusi apabila terdapat pekerja dengan riwayat penyakit paru. Sampel pada penelitian ini diambil dengan teknik total sampling, karena populasi kurang dari 30 orang. Variabel penelitian ini adalah usia, status gizi, kebiasaan merokok, masa kerja, dan upaya pembatasan diri dari paparan. Pengambilan data dilakukan dengan cara wawanca, pengukuran dan observasi menggunakan kuesioner serta pengujian kadar belerang dioksida. Pengujian kadar belerang dioksida dilakukan oleh UPT K3 Surabaya dengan menggunakan minipump dan implinger dengan arbsorben belerang dioksida. Data kemudian diolah secara deskriptif yaitu dalam bentuk tabel dan teks. Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar responden berusia 45-54 tahun sebanyak 34,8%, memiliki status gizi normal dengan proporsi 82,6%, 78,3% pekerja adalah perokok, 61,1% merokok antara 10-20 batang perhari, 60,9% pekerja memiliki masa kerja 5-10 tahun, dan 69,6% pekerja tidak melakukan upaya pembatasan diri dari paparan. Semua pekerja mengalami gangguan pernapasan saat bekerja, 78,3% pekerja mengalami batuk (berdahak dan tidak berdahak), dan pekerja yang mengalami sesak sebanyak 60,9%. Hasil pengukuran kadar belerang dioksida oleh UPT K3 Surabaya memiliki rata-rata 7,1469 mg/m3. Pekerja dengan rentang usia >55 tahun sebanyak 83,3% mengalami gejala Penyakit paru obstruktif kronik. Pekerja dengan status gizi normal 63,2% mengalami gejala Penyakit paru obstruktif kronik. Pekerja yang merokok 72,2% mengalami gejala Penyakit paru obstruktif kronik dan jumlah batang yang dihisap per hari >20 batang mengalami gejala Penyakit paru obstruktif kronik dengan proporsi 80%. Pekerja dengan masa kerja >10 tahun mengalami gejala Penyakit paru obstruktif kronik dengan proporsi 75%. Pekerja yang tidak melakukan upaya pembatasan diri 68,8% mengalami gejala Penyakit paru obstruktif kronik. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan kepada pihak perusahaan untuk melakukan pembinaan dan penyuluhan pada para pekerja. Pihak perusahaan juga perlu mengevaluasi dan mengawasi penggunaan alat pelindung diri oleh pekerja. Keterlibatan puskesmas setempat sangat diperlukan sehingga pekerja lebih mudah mendapatkan pengetahuan tentang lingkungan kerja dan dampak kesehatan yang mungkin mereka alami.en_US
dc.language.isoiden_US
dc.relation.ispartofseries122110101070;
dc.subjectFAKTOR PEKERJAANen_US
dc.subjectGEJALA PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIKen_US
dc.subjectPPOKen_US
dc.subjectPEKERJA BAGIAN PEMURNIAN BELERANGen_US
dc.titleFaktor Individu, Faktor Pekerjaan dan Gejala Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) pada Pekerja Bagian Pemurnian Belerang (Studi pada Pertambangan PT. Candi Ngrimbi di Gunung Ijen)en_US
dc.typeUndergraduat Thesisen_US
dc.identifier.validatorTaufik 8 November


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record