PEMBATALAN PERKAWINAN POLIANDRI YANG MELEWATI BATAS WAKTU PEMBATALAN ( STUDI PUTUSAN NOMOR : 3317/Pdt.G/2011/PA.Bdg)
Abstract
Penulisan skripsi ini pada dasarnya dilatar belakangi oleh adanya suatu
permasalahan dalam pembatalan perkawinan. Dalam pengertian pasal 1 Undangundang
perkawinan nomor 1 Tahun 1974 dijelaskan bahwa perkawinan ialah
ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sehingga dapat diketahui bahwa
perkawinan merupakan sesuatu hal yang sakral dan bersifat kekal. Akan tetapi
pada prinsipnya perkawinana dapat pula diajukan pembatalannya, apabila para
pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Seperti
contoh kasus dalam putusan nomor 3317/Pdt.G/2011/PA.Bdg. Dimana dalam
kasus tersebut pembatalan perkawinan yang diajukan oleh seorang istri yang
melakukan poliandri, namun pada saat pengajuannya sudah melewati jangka
waktu pembatalan. Rumusan masalah yang akan dibahas dalam penulian skripsi
ini yaitu; pertama, Apakah pengajuan pembatalan perkawinan poliandri yang
diajukan oleh istri dapat diterima, meskipun sudah melewati batas waktu
pembatalan. Kedua, Apa akibat hukum pembatalan perkawinan bagi suami dan
istri karena alasan poliandri. Ketiga, Apakah pertimbangan hukum hakim dalam
mengabulkan gugatan perkara nomor 3317/Pdt.G/2011/PA.Bdg sudah sesuai
dengan Undang-Undang Perkawinan nomor 1 tahun 1974. Tujuan penulisan dari
skripsi ini, secara umum yakni sebagai sarana untuk mengembangkan ilmu
pengetahuan tentang hukum, untuk menuangkan suatu pemikiran ilmiah dibidang
hukum, untuk memenuhi dan melengkapi syarat dan tugas akademis yang
diperlukan untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum
Universitas Jember. Adapun tujuan khususnya untuk mengetahui dan memahami
apakah pengajuan pembatalan perkawinan poliandri yang diajukan oleh istri dapat
dikabulkan, meskipun sudah melewati batas waktu pembatalan, akibat hukum dari
pembatalan perkawinan bagi suami dan istri karena alasan poliandri, dan
pertimbangan hukum hakim yang digunakan untuk memutus perkara nomor
3317/Pdt.G/2011/PA.Bdg apakah sudah sesuai dengan ketentuan Undang-Undang
Perkawinan nomor 1 Tahun 1974. Metode penelitian skripsi ini menggunakan tipe penulisan yuridis normatif (legal research) dimana setiap permasalahan yang
diangkat, dibahas dan diuraikan dalam penelitian ini terfokus pada kaidah-kaidah
dan norma-norma dalam hukum positif. Pendekatan masalah yang digunakan,
penulis menggunakan pendekatan undang-undang (statue approach).
Pada tinjauan pustaka terdapat empat pokok bahasan yang dijelaskan, yang
pertama menjelaskan pengertian perkawinan, syarat-syarat perkawinan dan tujuan
perkawinan. Yang kedua menjelaskan pengertian pembatalan perkawinan, alasan
dilakukannya pembatalan perkawinan, jangka waktu dan pihak yang dapat
mengajukan pembatalan perkawinan. Yang ketiga menjelaskan pengertian
poliandri. Yang keempat menjelaskan pengertian putusan, dan macam-macam putusan. Kesimpulan yang diperoleh berdasarkan hasil pembahasan, pada kasus
perkara perdata nomor 3317/Pdt.G/2011/PA.Bdg, adalah pengajuan pembatalan
perkawinan poliandri yang diajukan oleh seorang istri, dapat diterima meskipun
sudah melewati batas waktu pembatalan dengan berdasarkan pada Undangundang
nomor 48 tahun 2009 pasal 10 ayat 1 tentang kekuasan kehakiman yang
menyatakan bahwa pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili dan
memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalil hukum tidak ada atau kurang
jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Sehingga meskipun
dalam kasus ini pengajuan pembatalan perkawinan yang dilakukan sudah
melewati batas waktu pembatalan, pengajuannya tetap dapat diterima dalam
peradilan. Akibat hukum terhadap suami dan istri dari suatu pembatalan
perkawinan yaitu putusnya ikatan perkawinan, menghilangkan kewajiban sebagai
suami istri, serta menjadikan perkawinan tersebut tidak sah dan dianggap tidak
pernah ada atau dengan kata lain berarti perkawinan tersebut telah batal demi
hukum. Berkaitan dengan status harta bersama, ketentuan pasal 28 ayat 2 huruf b
Undang-undang Perkawinana nomor 1 tahun 1974 menyebutkan bahwa keputusan
tidak berlaku surut terhadap suami istri yang bertindak dengan itikad baik, kecuali
terhadap harta bersama bila pembatalan perkawinan didasarkan atas perkawinan
lain terlebih dahulu. Adapun pertimbangan hukum hakim yang digunakan pada
kasus perkara nomor 3317/Pdt.G/2011/PA.Bdg yaitu pasal 2 ayat 1, pasal 3 ayat 1
dan pasal 9 Undang-undang Perkawinana No.1 Tahun 1974 jo. Pasal 40 huruf a
Kompilasi Hukum Islam, dengan demikian telah cukup bukti alasan gugatan
penggugat. Selain itu pertimbangan hakim juga dipengaruhi dengan tidak
hadirnya tergugat selama persidangan, sehingga gugatan penggugat dikabulkan
dengan vestek. Saran yang diberikan penulis dalam skripsi ini yaitu, Hendaknya
bagi para pihak seharusnya sebelum melaksanakan suatu perkawinan, wajib
terlebih dahulu mengetahui prosedur serta syarat-syarat untuk melangsungkan
perkawinan, sehingga sah menurut hukum agama dan hukum negara. Karena pada
dasarnya tujuan sebuah pernikahan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhahan Yang Maha Esa. Hendaknya bagi petugas pencatat
perkawinan kantor urusan agama lebih berhati-hati dan teliti dalam memeriksa
kelengkapan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh kedua calon suami istri
sebelum melangsungkan perkawinan, agar tidak terjadi pembatalan perkawinan.
Collections
- UT-Faculty of Law [6214]