HAK PREROGATIF PRESIDEN DALAM PROSES PENGISIAN JABATAN PANGLIMA TENTARA NASIONAL INDONESIA
Abstract
Pada Tanggal 3 Juli 2015 Presiden Jokowi resmi melantik Jenderal Tentara
Nasional Indonesia Gatot Nurmantyo sebagai Panglima Tentara Nasional
Indonesia menggantikan Jenderal Moeldoko yang telah memasuki masa pensiun.
Pelantikan mantan Kepala Staf Angkatan Derat (KSAD) itu digelar di Istana
Negara, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat. Hal tersebut berdasar pada
Keputusan Presiden Nomor 49-TNI/2015, yang berisikan memberhentikan dengan
hormat Jenderal Moeldoko sebagai panglima Tentara Nasional Indonesia dengan
digantikan oleh Jenderal Gatot Nurmatyo. Setelah melewati uji kepatutan dan
kelayakan melalui sidang paripurna, akhirnya Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia Secara bulat menyetujui Jenderal Tentara Nasional Indonesia
Gatot Nurmantyo sebagai Panglima Tentara Nasional Indonesia menggantikan
Jenderal Tentara Nasional Indonesia Moeldoko sekaligus menyetujui
pemberhentian Jenderal Tentara Nasional Indonesia Moeldoko sebagai Panglima
Tentara Nasional Indonesia. Tidak ada calon panglima Tentara Nasional
Indonesia lainnya yang menjalani uji kepatutan dan kelayakan karena Presiden
Joko Widodo (Jokowi) hanya mengusulkan calon tunggal Panglima Tentara
Nasional Indonesia kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
Kali ini Presiden Terpilih Joko Widodo telah mempergunakan sepenuhnya
tentang Hak Prerogatifnya. Dia hanya memunculkan atau mempromosikan satu
calon bakal yang akan jadi Panglima Tentara Nasional Indonesia, tentunya
menuai sebuah kontroversi karena Presiden Joko Widodo dianggap tidak
memakai tata adat seperti biasanya perguliran antar matra untuk bergantian dalam
pengisian calon jabatan Panglima Tentara Nasional. Kemudian keterlibatan
Dewan Perwakilan Rakyat selaku pelaksana Fit And Proper Test dan kewenangan
dalam memberikan persetujuan pengangkatan dan pemberhentian Panglima
Tentara Nasional Indonesia dinilai tidak tepat, karena dianggap tidak bisa
merudksi sebuah Hak Prerogatif Presiden.
Didalam prosedur pengangkatan Panglima Tentara Nasional Indonesia
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, pengangkatan Panglima
Tentara Nasional Indonesia Berdasarkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat yang dihasilkan satu paket dengan Perubahan Kedua Undang Undang
Tahun 1945 tersebut ditentukan “Tentara Nasional Indonesia dipimpin oleh
seorang Panglima yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden setelah
mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”. Ketetapan Nomor
VII/MPR/2000 ini memiliki daya laku sampai terbentuknya Undang Undang.
Kemudian pada tahun 2004 akhirnya terbentuk Rancangan Undang Undang
tentang Tentara Nasional Indonesia itu disetujui bersama oleh Dewan Perwakilan
Rakyat dan Presiden pada Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat tanggal 30
September Tahun 2004. Rancangan Undang Undang yang telah mendapatkan
persetujuan bersama itu selanjutnya disahkan dan diundangkan menjadi Undang
Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Didalam
Undang Undang tersebut terdapat butir butir pasal yang mengatur dan
memberikan sebuah prosedural pengangkatan Panglima Tentara Nasional
Indonesia.
Pelaksanaan Hak Prerogatif Presiden dalam pengisian jabatan Panglima
Tentara Nasional Indonesia di Indonesia setelah perubahan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dinilai sangat membatasi
kekuasaan Presiden di dalam konsep sistem pemerintahan presidensial.
Keterlibatan Dewan Perwakilan Rakyat lah yang dianggap membatasi ruang
lingkup sebuah pelaksanaan Hak Prerogatif Presiden, baik harus mendapatkan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat atau sekedar minta pertimbangan saja.
Collections
- UT-Faculty of Law [6214]