KEDUDUKAN AHLI WARIS YANG MENINGGAL TERLEBIH DAHULU DARI PEWARIS BERDASARKAN HUKUM WARIS ISLAM (Studi Putusan MA RI No 19K/Ag/2014)
Abstract
Hukum waris merupakan bagian hukum kekeluargaan yang memegang peranan penting, bahkan menentukan dan mencerminkan sistem kekeluargaan yang berlaku dalam masyarkat. Harta waris muncul pada saat pewaris meninggal dunia. Pada hukum waris islam, orang-orang yang dapat menjadi ahli waris terdiri dari laki-laki dan perempuan. Mereka memiliki landasan yang kuat baik berdasarkan Al-Qur’an maupun Hadist. Pembagian harta waris menurut hukum islam tidak selamanya berjalan lancar sebagaimana yang diatur dalam Al-qur’an dan Hadist. Banyak sengketa terjadi diantara para ahli waris, baik yang terjadi sebelum maupun setelah harta warisan tersebut dibagikan sebagaimana dalam putusan Mahkamah Agung RI No. 19K/Ag/2014. Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah mengetahui dan memahami apakah ahli waris yang meninggal terlebih dahulu dari pewaris berhak untuk mendapatkan harta waris (tirkah) menurut hukum waris Islam, mengetahui dan memahami apakah menantu (istri dari ahli waris) dapat menguasai harta waris (tirkah) menurut hukum waris Islam, mengetahui dan memahami apa ratio decidendi hakim dalam memutuskan perkara Mahkamah Agung RI No 19 K/Ag/2014 telah sesuai dengan hukum waris Islam di Indonesia.
Tinjauan Pustaka terdiri dari 2 (dua) sub bab bahasan utama yang dibahas. Pertama, hukum waris islam dan Kedua, putusan pengadilan agama. Hukum waris islam mengatur mengenai pemindahan atau pembagian hak kepemilikan harta peninggalan atau harta waris (tirkah) pewaris yang didasarkan pada Al-Qur’an dan Al Hadist. Sedangkan Putusan Pengadilan merupakan pernyataan hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan pada sidang pengadilan terbuka untuk umum yang bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antar para pihak.
Pembahasan dalam skripsi ini, membahas mengenai 3 (tiga) hal yang menjawab rumusan masalah. Pertama, pada dasarnya hukum waris islam tidak mengenal adanya konsep penggantian kedudukan dalam mewaris. Demikian juga halnya apabila ahli waris yang meninggal tersebut mempunyai keturunan, maka sebagai cucu dari pewaris mereka juga tidak berhak mendapatkan warisan karena terhalang oleh paman dan bibinya. Akan tetapi apabila jika melihat pada ketentuan dalam Pasal 185 KHI mengenai penggantian kedudukan dalam mewaris bagi umat beragama islam boleh dilakukan dan tidak menyimpang dari nash selama hal tersebut dilakukan dengan tujuan kemaslahatan umat. Karena dalam ayat tersebut Allah Saw menyebutkan mengenai kehadiran kerabat, anak yatim dan fakir miskin pada saat pembagian warisan. Cucu dalam hal ini bisa dimasukkan ke dalam kerabat pewaris yang berasal dari anak pewaris. Kedua, Para ahli waris baik secara bersama-sama atau perseorangan dapat mengajukan permintaan kepada ahli waris yang lain untuk melakukan pembagian harta warisan. Bila ada diantara ahli waris yang tidak menyetujui permintaan itu, maka yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan melalui Pengadilan Agama untuk melakukan pembagian warisan. Dalam hal mertua sebagai pewaris meninggal dunia, maka yang berhak menggantikan kedudukan almarhum suami/janda tersebut hanyalah keturunan langsung dari almarhum suami/janda tersebut yaitu
anaknya/cucu pewaris. Dengan demikian, hak waris istri/menantu terhadap harta waris tidak dapat menguasai secara mutlak (legitieme portie) karena istri kapasitasnya hanya sebagai menantu yang tidak memiliki hubungan darah dan hubungan perkawinan dengan pewaris sebagaimana diatur dalam Pasal 171 huruf c KHI, maka apabila ahli waris meninggal terlebih dahulu kedudukannya diganti oleh anak ahli waris/cucu pewaris. Ketiga, menggunakan pendekatan kasus, yang perlu dipahami adalah perihal ratio decidendi, yaitu alasan hukum yang digunakan oleh Hakim untuk sampai kepada putusannya. Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung RI No. 19K/Ag/2014 dengan kasus posisi bahwa para Pemohon Kasasi dahulu sebagai para Penggugat telah mengajukan gugatan waris terhadap para Termohon Kasasi dahulu sebagai Tergugat. Demikian dengan, penerapan hukum yang terdapat dalam putusan Mahkamah Agung RI No. 19K/Ag/2014 telah sesuai dengan prinsip-prinsip hukum yang terdapat dalam KHI.
Hasil pembahasan maka dapat disimpulkan yakni : Pertama, ahli waris yang meninggal terlebih dahulu dari pewaris menurut KHI bisa mewarisi harta warisan dari perwaris sebagaimana dalam putusan Mahkamah Agung RI No. 19K/Ag/2014 sebagai ahli waris pengganti menurut ketentuan Pasal 185 ayat 1 KHI yang berlaku bagi cucu laki-laki maupun cucu perempuan yang berasal dari anak laki-laki maupun perempuan. Terkait demikian, jelas bahwa ahli waris yang meninggal terlebih dahulu dari pewaris, masih memiliki hak (harta waris) yang dapat digantikan kedudukan ahli waris kepada anak ahli waris/cucu pewaris. Kedua, menantu (istri dari ahli waris) dalam putusan Mahkamah Agung RI No. 19K/Ag/2014 tidak dapat menguasai harta waris (tirkah) menurut hukum islam. Pewaris dalam hal meninggal dunia, maka yang berhak menggantikan kedudukan almarhum suami/janda tersebut hanyalah keturunan langsung dari almarhum suami/janda yaitu anak ahli waris/cucu pewaris karena menurut ketentuan Pasal 171 huruf c KHI, menantu (istri dari ahli waris) bukan orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris. Ketiga, Ratio Decidendi atau pertimbangan hukum hakim Mahkamah Agung RI No. 19K/Ag/2014 dalam memutus perkara telah sesuai dengan hukum waris islam, hal ini dapat dilihat pada ketentuan Pasal 171 huruf c dan ketentuan Pasal 185 KHI. Sedangkan saran yang diberikan yakni: Pertama, Judex faxtie PTA Palembang dalam memutus perkara sengketa waris harus lebih teliti dan berhati-hati. Putusan Judex faxtie PTA Palembang yang terdapat dalam Putusan Mahkamah Agung RI No. 19K/Ag/2014, hendaknya berpegang pada hukum yang sudah ditentukan yakni Pasal 185 KHI tentang ahli waris pengganti, demi mencapai keadilan, tujuan dan cita-cita bagi bangsa Indonesia untuk mewujudkan keadian sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kedua, kepada Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) seharusnya membentuk undang-undang pokok (organik) tentang kewarisan agar lebih menjamin kepastian hukum bagi warga masyarakat pencari keadilan. Dalam ketentuan undang-undang pokok tersebut mengatur hukum kewarisan adat, islam dan orang non muslim. Jadi jangan hanya cuman setingkat Intruksi Presiden tentang penyebarluasan KHI sebagai dasar hukum dalam menyelesaikan sengketa waris islam.
Collections
- UT-Faculty of Law [6214]