PERUBAHAN SOSIAL BERBASIS LINTAS BUDAYA: Identitas dan Ruang Negosiasi Global-Lokal
Abstract
Pada tahun 1945, menjelang diumumkannya Undang-Undang Dasar
Negara, terjadi perdebatan seru soal kebudayaan daerah dan kebudayaan
nasional; kebudayaan daerah sebagai kenyataan konkret-historis dan
kebudayaan nasional sebagai sesuatu yang akan dibentuk (masih dibayangkan).
Kenyataan peliknya hubungan kebudayaan daerah (lokal) dengan kebudayaan
nasional di satu sisi dan soal kebudayaan nasional itu sendiri di sisi yang lain
tampaknya masih berlanjut hingga sekarang. Di sisi lain, arus pertukaran
membuat interaksi antarbudaya menjadi suatu keniscayaan.
Multikulturalisme
2
di Indonesia yang merebak di akhir tahun 1990-an
sebagai respons terhadap penyeragaman budaya sejak Orde Baru, mampu
bergerak menuju keragaman. Nyaris tak ada wilayah budaya yang terisolasi dari
yang lain dan tidak dilalui lintas budaya global. Istilah ini muncul selain sebagai
penghargaan atas kebudayaan lain, tetapi juga mencakup permasalahan produk-produk budaya sebagaimana yang muncul dalam politik, hukum,
ekonomi dan sosial. Multikulturalisme menekankan pentingnya mengakui
dan menghargai keragaman budaya, mengubah kebijakan publik untuk
mengakomodasi keragaman untuk menciptakan masyarakat heterogen yang
damai dan adil. Pentingnya bersikap kritis terhadap isu multikultural ini untuk
menyikapi bahwa kebijakan dan wacana multikultural di berbagai negara
seringkali terlalu menekankan perbedaan daripada persamaan dan sangat
rentan digunakan untuk memperuncing politik identitas (Melani, 2005:29).
Collections
- LSP-Conference Proceeding [1874]