KONSTRUKSI KEBIJAKAN KEBUDAYAAN DI BANYUWANGI: WACANA, RELASI, DAN MODEL KEBIJAKAN BERBASIS IDENTITAS
Abstract
Sesuai peraturan pemerintah no 38 tahun 2007, urusan kebudayaan
adalah salah satu urusan wajib yang diserahkan oleh pemerintah pusat
kepada pemerintah daerah. Implikasi dari peraturan pemerintah demikian
adalah memberikan peluang kepada pemerintah daerah untuk melakukan
pilihan strategis terkait dengan kebijakan kebudayaan di daerah yang menjadi
otoritasnya. Pelimpahan kewenangan urusan kebudayaan kepada daerah
tersebut telah memosisikan pemerintah menjadi dinamisator atas budaya
yang berkembang pada tataran lokal. Sebagai implikasinya, akan memberikan
ruang bagi masyarakat dan komunitas lokal untuk lebih berperan serta dalam
upaya ‘menghidupkan’ kebudayaan, sehingga sumber daya budaya ditingkat
lokal dapat memberikan manfaat yang lebih besar bagi masyarakat.
Di sisi lain, seiring dengan dinamika otonomi daerah, ketika daerah dituntut
memiliki kemandirian dan kekuatan fiskal, pemerintah daerah cenderung
berlomba-lomba bagaimana segala sesuatunya ditarik pada ranah untuk
meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Tak jarang kebijakan daerah
termasuk kebijakan terkait kebudayaan tersebut menjadi semacam ajang
perlombaan bagi kekuatan kekuasaan untuk menunjukkan secara artifisial
identitas mereka terhadap kepentingan kelompok atau komunitas masyarakat
tertentu, termasuk komunitas budaya. Dampak dari hal tersebut adalah
dikhawatirkan kebijakan daerah terkait kebudayaan dibiaskan demi kepentingan
ekonomi dan keuntungan kekuasaan politik lokal, yang justru kontraproduktif
dengan maksud pengembangan dan pelestarian kebudayaan itu sendiri.
Collections
- LSP-Conference Proceeding [1874]