Show simple item record

dc.contributor.authorPujiati, Hat
dc.contributor.authorAstutiningsih, Irana
dc.date.accessioned2016-08-05T05:33:34Z
dc.date.available2016-08-05T05:33:34Z
dc.date.issued2016-08-05
dc.identifier.isbn978-602-1093-80-1
dc.identifier.urihttp://repository.unej.ac.id/handle/123456789/75824
dc.description.abstractJava Oosthoek, nama yang diberikan Belanda untuk menyebut Ujung Timur Jawa, dalam sejarahnya, didesain sebagai salah satu poros perekonomian di Hindia Belanda. Pelabuhan Panarukan, dulu termasuk dalam kekuasaan kerajaan Blambangan, kerap menjadi rebutan kekuasaan dari pihak Bali, Belanda maupun Majapahit, karena utamanya memiliki potensi ekonomi yang besar. Setelah Belanda berkuasa di sana, pelabuhan Panarukan termasuk dalam karesidenan Besuki yang secara administratif membawahi afdeling seperti Jember dan Bondowoso. Panarukan kemudian dijadikan pelabuhan bertaraf internasional. Tempat berbagai macam komoditas bahan mentah yang diekspor ke luar untuk diolah menjadi barang jadi lalu dijual kembali ke tanah jajahan. Jember, bahkan dulu, memiliki komoditas tembakau unggul bernama NaoOgst, yang diekspor ke Bremen, Jerman untuk dijadikan cerutu berkualitas dunia. Potensi ekonomi Java Oosthoek sampai sekarang tentu didukung oleh sumber daya alam yang melimpah. Potensi sumber daya alam ini jika tidak dikelola dengan demokratis maka tak dapat dipungkiri mampu memicu konflik. Maka dari itu muncul berbagai wacana kultural untuk, istilahnya, “mengamankan” akses terhadapnya. Manajemen Belanda di Java Oosthoek, karena politik kekuasaan yang beralih, kemudian berubah menjadi Tapal Kuda. Istilah politik yang digunakan untuk menamai daerah kekuatan politik-kultural Islam di zaman Orde Baru. Di zaman Orde baru, daerah Tapal Kuda masuk dalam peta kekuatan politik yang cukup kuat. Dalam kekuatan politik tersebut, muncul berbagai wacana kultural yang menjadi pondasi atau penopangnya. Seperti spiritualitas, lokalitas, tradisionalitas ataupun mitos yang banyak di bahas dalam buku ini. Wacana lokalitas menjadi pembenar atas pengelolaan sumber daya oleh warga lokal, yang disertai dengan mitos, tradisi maupun spiritualitas. Wacana/kuasa Islam juga semakin kuat karena terinstitusionalisasi melalui pesantren-pesantren. Lalu, di mana letak atau peran individu kreatf seperti penulis sastra? Mereka bisa berperan mereproduksi wacana kultural, artinya melestarikan status quo atau mengambil jarak dengan merefleksikan dan memaknainya kembali. Dalam buku ini dijelaskan bagaimana para penulis muda berada dalam situasi tegangan kultural. Di satu sisi mereka tidak mengalami hidup di zaman Belanda, yang serba terkungkung, di sisi lain mereka terseret dalam cita-cita modern akan kebebasan. Tidak pernah terperangkap tapi ingin bebas. Dalam ruang tegangan ini, memungkinkan muncul identitas ketiga, seperti post-Islam, post-tradisi, JawaMadura, yang merupakan usaha untuk keluar dari tegangan, atau sekedar bermain-main di perbatasan tegangan tersebut.en_US
dc.language.isoiden_US
dc.subjectSpiritualitasen_US
dc.subjectLocalpoeicen_US
dc.subjectKomunitas Sastraen_US
dc.subjectDaerah Tapal Kudaen_US
dc.titleSpiritualitas sebagai Localpoeic dari Komunitas Sastra di Daerah Tapal Kuda: Jember-Situbondo-Banyuwangi Jawa Timuren_US
dc.typeBooken_US


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record