Spiritualitas sebagai Localpoeic dari Komunitas Sastra di Daerah Tapal Kuda: Jember-Situbondo-Banyuwangi Jawa Timur
Abstract
Java Oosthoek, nama yang diberikan Belanda untuk
menyebut Ujung Timur Jawa, dalam sejarahnya,
didesain sebagai salah satu poros perekonomian
di Hindia Belanda. Pelabuhan Panarukan, dulu termasuk
dalam kekuasaan kerajaan Blambangan, kerap menjadi
rebutan kekuasaan dari pihak Bali, Belanda maupun
Majapahit, karena utamanya memiliki potensi ekonomi
yang besar. Setelah Belanda berkuasa di sana, pelabuhan
Panarukan termasuk dalam karesidenan Besuki yang
secara administratif membawahi afdeling seperti Jember
dan Bondowoso. Panarukan kemudian dijadikan
pelabuhan bertaraf internasional. Tempat berbagai
macam komoditas bahan mentah yang diekspor ke luar
untuk diolah menjadi barang jadi lalu dijual kembali
ke tanah jajahan. Jember, bahkan dulu, memiliki komoditas tembakau unggul bernama NaoOgst, yang
diekspor ke Bremen, Jerman untuk dijadikan cerutu
berkualitas dunia.
Potensi ekonomi Java Oosthoek sampai sekarang
tentu didukung oleh sumber daya alam yang melimpah.
Potensi sumber daya alam ini jika tidak dikelola dengan
demokratis maka tak dapat dipungkiri mampu memicu
konflik. Maka dari itu muncul berbagai wacana kultural
untuk, istilahnya, “mengamankan” akses terhadapnya.
Manajemen Belanda di Java Oosthoek, karena politik
kekuasaan yang beralih, kemudian berubah menjadi
Tapal Kuda. Istilah politik yang digunakan untuk
menamai daerah kekuatan politik-kultural Islam
di zaman Orde Baru. Di zaman Orde baru, daerah
Tapal Kuda masuk dalam peta kekuatan politik yang
cukup kuat. Dalam kekuatan politik tersebut, muncul
berbagai wacana kultural yang menjadi pondasi
atau penopangnya. Seperti spiritualitas, lokalitas,
tradisionalitas ataupun mitos yang banyak di bahas dalam buku ini. Wacana lokalitas menjadi pembenar
atas pengelolaan sumber daya oleh warga lokal, yang
disertai dengan mitos, tradisi maupun spiritualitas.
Wacana/kuasa Islam juga semakin kuat karena
terinstitusionalisasi melalui pesantren-pesantren.
Lalu, di mana letak atau peran individu kreatf
seperti penulis sastra? Mereka bisa berperan
mereproduksi wacana kultural, artinya melestarikan
status quo atau mengambil jarak dengan merefleksikan
dan memaknainya kembali. Dalam buku ini dijelaskan
bagaimana para penulis muda berada dalam situasi
tegangan kultural. Di satu sisi mereka tidak mengalami
hidup di zaman Belanda, yang serba terkungkung, di
sisi lain mereka terseret dalam cita-cita modern akan
kebebasan. Tidak pernah terperangkap tapi ingin bebas.
Dalam ruang tegangan ini, memungkinkan muncul
identitas ketiga, seperti post-Islam, post-tradisi, JawaMadura,
yang
merupakan
usaha
untuk
keluar
dari
tegangan,
atau
sekedar
bermain-main
di perbatasan
tegangan
tersebut.
Collections
- LSP-Books [897]