dc.description.abstract | Tuberkulosis merupakan penyakit menular yang masih menjadi
permasalahan di dunia karena menyebabkan kematian terbesar. Meskipun
pengobatan yang efektif sudah tersedia, jumlah kasus tuberkulosis semakin
meningkat dan banyak kasus yang tidak berhasil disembuhkan. Menurut WHO,
pada tahun 2011 terdapat 8,7 juta orang didiagnosis tuberkulosis dan 1,4 juta
meninggal karena tuberkulosis. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013
menunjukkan prevalensi tuberkulosis di Indonesia adalah 0,4 %.
Tuberkulosis paru merupakan penyakit infeksi kronik dan menular yang
disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis yang menyerang paru. Tuberkulosis
paru merupakan penyakit yang berdampak bukan hanya pada kesehatan fisik,
tetapi juga pada keadaan psikis (mental) dan sosialnya. Secara fisik, pasien akan
mengalami batuk berdahak lama, dapat disertai batuk darah, sesak nafas, penurunan
berat badan, berkeringat malam, dan demam meriang. Dampak psikis dan sosial
dirasakan pasien akibat adanya stigma terkait tuberkulosis dan perubahan sikap orang
di sekitarnya. Dampak akibat tuberkulosis paru dapat mempengaruhi berbagai aspek
kehidupan dan menyebabkan penurunan kualitas hidup pasien.
Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi faktor-faktor yang
mempengaruhi kualitas hidup pasien tuberkulosis paru di poli rawat jalan Rumah
Sakit Paru Jember. Desain penelitian menggunakan analitik korelasi pendekatan
cross-sectional dengan teknik simple random sampling, yang melibatkan 52 pasien
sebagai sampel penelitian. Data dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner
karakteristik responden, kuesioner kualitas hidup Short Form 36 (SF 36), kuesioner
depresi dari Kessler Psychological Distress Scale (K 10), serta kuesioner dukungan
sosial yang diadopsi dan dimodifikasi dari Wantiyah (2010). Analisis data
x
menggunakan korelasi Pearson product moment, Contingency coefficient, Somers’d,
Spearman’s rho, dan regresi logistik berganda.
Hasil penelitian menunjukkan mayoritas pasien tuberkulosis paru berjenis
kelamin laki-laki, dengan rata-rata usia 40,60 tahun dan tingkat pendidikan paling
banyak tamat SD. Lebih dari separuh pasien memiliki pekerjaan dengan tingkat
pendapatan sebagian besar di bawah UMK Kabupaten Jember (kurang dari Rp.
1.460.000 per bulan). Rata-rata lama pengobatan adalah 3,94 bulan dan sebagian
besar pasien tidak memiliki penyakit penyerta kronik. Rata-rata skor depresi
adalah 21,21 (tergolong depresi ringan) dan lebih dari separuh pasien memiliki
dukungan sosial yang adekuat. Rata-rata skor kualitas hidup pasien adalah 63,85
yang tergolong dalam kategori kualitas hidup yang baik. Hasil analisis bivariat
menunjukkan jenis kelamin, status pekerjaan, pendapatan, dan penyakit penyerta
kronik tidak berhubungan secara sinifikan dengan kualitas hidup. Terdapat hubungan
yang signifikan antara usia (p = 0,049), tingkat pendidikan (p = 0,042), lama
pengobatan (p = 0,000), depresi (p = 0,000), dan dukungan sosial (p = 0,000)
dengan kualitas hidup (p < α, α = 0,05). Analisis multivariat menghasilkan
pemodelan multivariat dari kualitas hidup yaitu:
g (kualitashidup) = -5,593 + (-0,256) (usia) + 4,999 (lamapengobatan) + 0,073
(depresi) + 4,111 (dukungansosial)
Variabel lama pengobatan adalah faktor yang paling dominan mempengaruhi
kualitas hidup dengan nilai OR sebesar 46,829 (p = 0,012).
Kesimpulan dalam penelitian ini adalah variabel lama pengobatan merupakan
faktor yang paling dominan mempengaruhi kualitas hidup pasien tuberkulosis paru.
Hasil tersebut menunjukkan bahwa pengobatan yang lebih lama dapat menyebabkan
semakin baiknya kualitas hidup pasien. Berdasarkan hasil penelitian tersebut,
diharapkan ke depannya perawat mampu memberikan asuhan keperawatan yang
sifatnya komprehensif dan menyeluruh meliputi promotif, preventif, kuratif, dan
rehabilitatif, untuk mencapai kesembuhan yang optimal dan meningkatkan kualitas
hidup pasien. Perawat dapat meningkatkan kualitas hidup pasien dengan memberikan
pendidikan kesehatan tentang kepatuhan pengobatan atau terapi kognitif behavior. | en_US |