dc.description.abstract | Putusnya perkawinan karena perceraian menurut pasal 149 Kompilasi
Hukum Islam ada akibat hukum tersendiri bagi si suami yaitu dengan munculnya
kewajiban setelah menjatuhkan talak terhadap istrinya, antara lain dengan
memberikan muth’ah untuk menggembirakan bekas istri, memberikan nafkah
selama masa „iddah, melunasi mas kawin, dan membayar nafkah untuk
anakanaknya. Selain itu ketentuan pembiayaan sesudah bercerai dalam Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan diatur dalam Pasal 41 huruf
(b) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berbunyi
“Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan
yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi
kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya
tersebut”. Namun pada masa ini banyak suami yang menceraikan istrinya,
kemudian lalai terhadap kewajiban untuk memberikan nafkah kepada bekas anakanaknya.
Berdasarkan uraian diatas maka penulis tertarik untuk membahas
permasalahan tersebut dalam judul KEWAJIBAN ORANG TUA
MENAFKAHI ANAK PASCA PERCERAIAN (Putusan Nomor: 688/
Pdt.G/2014/PA.JB)
Rumusan masalah yang akan dibahas ialah, apakah orang tua yang sudah
bercerai masih mempunyai kewajiban menafkahi anak-anaknya, dan apa ratio
decidendi dalam mengabulkan permohonan rekonvensi Putusan Nomor
688/Pdt.G/2014/PAJB telah sesuai dengan Hukum Islam.
Tujuan dari penyusunan skripsi ini adalah untuk mengetahui dan dan
memahami kewajiban orang tua menafkahi anak pasca perceraian; untuk
mengetahui dan memahami dasar pertimbangan hakim (ratio decidendi) dalam
mengabulkan permohonan rekonvensi Putusan Nomor 688/Pdt.G/2014/PA.JB.
Penulisan skripsi ini menggunakan metode dengan tipe yuridis normatif.
Dengan pendekatan masalah yang digunakan penulis adalah dengan menggunakan
Pendekatan Undang-Undang dan Pendekatan Konseptual. Bahan hukum yang
digunakan adalah bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan non
xiii
hukum. Selanjutnya menarik kesimpulan dalam bentuk argumentasi. Setelah
putusnya suatu perkawinan, maka akan membawa akibat hukum untuk kedua
belah pihak serta terhadap anak-anaknya. Bagi suami menjadi suatu kewajiban,
bagi mantan istri dan anak-anaknya menjadi suatu hak. Orang tua yang sudah
bercerai masih mempunyai kewajiban menafkahi anak-anaknya, hal ini diatur di
Pasal 149 huruf (d) KHI. Jenis kewajiban tersebut meliputi: tanggung jawab atas
semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak, bilamana bapak
dalam kenyataan tidak dapat memberi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat
menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut; kewajiban memelihara dan
mendidik anak-anaknya; merawat dan mengembangkan harta anaknya yang
belum dewasa. Ratio Decidendi dalam mengabulkan permohonan rekonvensi
Putusan Nomor 688/Pdt.G/2014/PA.JB telah sesuai dengan hukum Islam. Adapun
hukum Islam yang digunakan adalah dengan cara ijtihad dan hukum positif yaitu:
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Pasal
105 huruf (a) KHI, Pasal 105 huruf (c) KHI, Pasal 149 huruf (a) KHI, Pasal 149
huruf (b) KHI, Pasal 149 huruf (d) KHI, Pasal 160 KHI. Sehingga hakim dalam
memutus perkara ini telah memperhatikan fakta yang ada di persidangan. Terkait
itu hakim telah melindungi hak-hak mantan istri dan anak tentang nafkah iddah,
mut‟ah, hak asuh ketiga anak, dan nafkah anak.
Bekas istri yang menuntut hak-haknya kepada bekas suami selama
perceraian hendaknya menuntut secara wajar dan tidak menuntut hak-hak tersebut
secara berlebihan. Suami yang menceraikan istrinya, berkewajiban memberi istri
dan anak-anaknya tersebut berupa hak-hak yang harus ia terima secara layak
sesuai undang-undang yang berlaku ataupun yang menjadi kewajiban bekas suami
kepada istri dan anak-anaknya yang ia ceraikan. Majelis Hakim dalam memutus
perkara gugatan nafkah istri haruslah sesuai dengan dasar hukum yang tepat dan
berdasar atas fakta hukum yang nyata demi terciptanya suatu putusan yang adil. | en_US |