PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN TINDAK PIDANA INSES
Abstract
Secara umum Inses adalah hubungan seksual antara keluarga yang masih
memiliki hubungan sedarah. Sebagai perkosaan, inses adalah salah satu bentuk
tindakan kekerasan seksual yang paling dikutuk karena menyebabkan penderitaan
yang luar biasa bagi korbannya. Persoalannya, inses masih terus dianggap tabu
untuk diungkap dan dibicarakan. Jika tabu ini terus terpelihara, maka sama saja
kita melindungi pelaku kejahatan dan membiarkan penderitaan korban terus
tercipta. Larangan inses telah di atur secara tegas di dalam Pasal 294 KUHP, akan
tetapi berdasarkan data yang dikumpulkan oleh Komnas PA dan KPAI jumlah
kekerasan seksual terhadap anak dari tahun ke tahun terus meningkat termasuk
jumlah anak sebagai korban tindak pidana inses. Selama ini pandangan yang ada
menyebutkan bahwa pada saat pelaku kejahatan telah diperiksa, diadili dan
dijatuhi hukuman pidana, pada saat itulah perlindungan terhadap korban telah
diberikan, padahal pendapat demikian tidak sepenuhnya benar. Berdasarkan
uraian tersebut, penulis tertarik untuk membahasnya dalam skripsi dengan
judul ”PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN
TINDAK PIDANA INSES” dengan rumusan masalah: pertama, Apakah hukum
pidana positif telah menjamin perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban
tindak pidana inses?. Kedua, Apakah bentuk perlindungan hukum yang tepat
terhadap anak sebagai korban tindak pidana inses?.
Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah untuk menganalisis perlindungan
hukum terhadap anak sebagai korban tindak pidana inses dalam hukum pidana
positif dan untuk menganalisis bentuk perlindungan hukum yang tepat terhadap
anak sebagai korban tindak pidana inses.
Metode Penelitian meliputi tipe penelitian yang bersifat yuridis normatif, dengan
pendekatan undang-undang (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual
approach). Sumber bahan hukum yang digunakan meliputi bahan hukum primer dan
bahan hukum sekunder dengan menggunakan analisa bahan hukum sebagai langkah
terakhir.
Kesimpulannya bahwa hukum pidana positif Indonesia pada dasarnya
telah menjamin perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban tindak pidana
inses, hal ini dapat dilihat di dalam KUHP, UUPA, UU PKDRT dan UUPSK
xii
akantetapi perlindungan yang ada dalam KUHP masih bersifat in abstracto,
sedangkan UUPA, UU PKDRT dan UUPSK pada dasarnya telah mengamanatkan
perlindungan secara in concreto dan langsung terhadap korban akan tetapi dalam
implementasinya masih sulit untuk diwujudkan, hal ini dikarenakan adanya
perbedaan dalam peraturan perundang-undangan tersebut terkait dengan
perlindungan terhadap anak sebagai korban tindak pidana inses dan adanya
keterbatasan pengetahuan aparat penegak hukum kita yang masih sering
menggunakan KUHP dalam menindak pelaku sehingga perlindungan terhadap
anak sebagai korban tindak pidana inses tidak dapat dilakukan secara adil dan
merata karena hak-hak anak sebagai korban kejahatan tidak dipenuhi, selain itu
mengingat anak sebagai korban tindak pidana inses memiliki karakter khusus
yakni adanya hubungan yang erat dengan pelaku serta tingkat ketergantungan
korban yang tinggi terhadap pelaku maka terhadap anak sebagai korban tindak
pidana inses hendaknya diberikan bentuk perlindungan hukum berupa pemberian
ganti rugi dalam bentuk kompensasi dan diberi bantuan (assistance) dalam bentuk
pelayanan/bantuan medis dan konseling, bantuan hukum dan pemberian informasi
sebab anak-anak sebagai korban tindak pidana inses biasanya akan mengalami
trauma yang berkepanjangan sehingga bantuan-bantuan tersebut sangat
dibutuhkan demi masa depan anak itu sendiri. Seyogjanya dibuat pasal-pasal
khusus dalam suatu peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak
pidana inses sehingga ada perbedaan antara tindak pidana inses dengan tindak
pidana perkosaan maupun pencabulan, sebaiknya perumus undang-undang juga
tidak mengabaikan hukum positif dan juga hukum internasional yang terkait
dengan perlindungan korban khususnya tindak pidana inses sehingga nantinya
tidak ada ketidaksesuaian antara peraturan perundang-undangan yang baru dengan
yang lama, selain itu seyogjanya pembuat undang-undang tidak mengabaikan hakhak
korban dalam menyususn suatu peraturan perundang-undangan khususnya
korban anak karena anak juga memiliki kedudukan yang sama di dalam hukum
sehingga perlindungan tidak hanya terbatas pada calon korban akan tetepi
terhadap korban aktual juga.
Collections
- UT-Faculty of Law [6214]